Marriage Of Two Worlds 1

1892 Words
Barbara bersiul sepanjang jalan pulang ke rumah. Matanya memandang beberapa bodyguard yang membungkukkan badannya saat dia lewat. Barbara mendesis, dia paling tidak sudi jika mereka seperti itu. Ingat di sini Barbara hanya anak seorang Rajendra bukan dari pemilik dunia, kenapa orang-orang bodoh seperti mereka malah merendahkan dirinya seperti itu? Terkadang Barbara berpikir, apakah bekerja dengan orang kaya harus menghormati seperti itu? Oke! Ingatan Barbara jika suatu saat nanti menjadi orang kaya, semoga saja dia tidak lupa daratan akibat menghamburkan uangnya kelak. Barbara masuk kedalam rumah, sampai di dalam rumah keningnya berkerut melihat orang tuanya berkumpul. Namun Barbara tidak peduli, dia tetep berjalan santai meninggalkan ruang tamu tapi langkahnya berhenti saat suara Ayahnya memanggil namanya.  "Barbara?" Barbara menghentikan langkahnya, membalikan badannya lalu menatap sang Ayah. "Kenapa?"  "Papa mau bicara?!" "Bicara saja,"  "Kamu bisa duduk bergabung bersama kami?" Ujar Rajendra. "Di sini saja. Aku sudah terlalu malas untuk berjalan ke sana." Rajendra yang melihat kelakuan Putri keduanya hanya bisa menghela nafas. Sadie, sang istri mencoba mengelus bahu suaminya supaya tak terbawa emosi dengan sifat anak mereka.  "Barbara, bisakah Papa meminta tolong padamu? Sekali ini saja."  "Minta tolong apa?" Perasaan Barbara jadi tidak enak melihat Ayah, Ibu dan Saudaranya yang menatapnya dengan penuh harapan.  "Bianca Hamil dan Papa bingung harus gimana." "Loh, tinggal nikahkan saja, Pa. Kenapa harus ribut segala, bukankah Bianca sudah memiliki calon suami kan si ... emm siapa sih namanya? Aku lupa." Barbara tidak melihat perubahan raut wajah ketiga orang yang ada di depannya.  "Masalahnya Bianca Hamil anak pria lain, Bar."  Barbara menganggukkan kepalanya, "Lalu kenapa tidak minta tanggung jawab saja? Apa pria itu tidak mau bertanggung jawab?"  Rajendra dan Sadie terdiam. Mereka bingung harus menjelaskan apa supaya Barbara mengerti maksud mereka. Bianca yang melihat orang tuanya kebingungan langsung menatap Saudaranya dengan pandangan permohonan. Barbara yang ditatap seperti itu mendengus, dia paling benci jika melihat Bianca seperti itu.  "Aku tahu kau tidak mungkin melakukan ini untukku, Bar. Tapi aku mohon, bisakah kau menggantikanku di pernikahan satu Minggu lagi?" harap Bianca. "Fuck! Apa yang kau bicarakan bodoh? Apa kau sudah tidak waras mengatakan hal itu padaku?" Barbara berteriak, membuat mereka Bianca bungkam. Entah keturunan dari siapa Barbara, sungguh sangat berbeda sekali dengan Bianca. Mereka Saudara tapi semua tingkah dan perilakunya bisa di bedakan. Sebenarnya Bianca melakukan ini karena dia merasa takut berhubungan dengan Calon suaminya. Bianca tahu mungkin dia egois mengatakan jika dia hamil oleh pria lain sedangkan dia sama sekali belum pernah tersentuh oleh pria mana pun. Jangankan untuk bersentuhan berdekatan pun Bianca slalu memberikan jarak pada mereka. Bianca hanya merasa tidak nyaman dan sakit hati setelah bertemu dengan keluarga Calon suaminya. Mereka sombong dan angkuh, di saat dia di caci maki pun, Calon suaminya hanya diam bukan membelanya. Dan Bianca pun tak bisa membalasnya karena dia tidak seberani Barbara yang mengungkapkan perasaanya.  Bianca tidak sekuat Barbara, fisik mereka berbeda, maka dari itu dia meminta tolong pada kedua orang tuanya. Dia menceritakan semua perlakuan keluarga calon suaminya. Akhirnya mereka semua berpikir, bagaimana caranya untuk membatalkan perjodohan ini? Jika membatalkannya secara sepihak, pasti akan ada permusuhan antara keluarga mereka dan keluarga pria itu.  Barbara memang bisa di katakan bukan wanita sopan yang memiliki pendidikan tinggi. Jangan ingatan tentangan pendidikan karena baginya, setinggi mereka berpendidikan jika mendapat didikkan yang tak layak pasti akan menjadi manusia sepertinya. Bukan orang tuanya yang tidak pandai mendidik, hanya saja Barbara yang sudah keluar dari dalam zona amannya. Barbara gadis yang penuh dengan tantangan, maka dari itu dia akan mencobanya. Walaupun sulit, dia akan terus mencoba sampai jalan titik temu itu bisa di satukan. Saudara bukan berarti mereka punya kesamaan yang sesuai, kan?  "Permisi Tuan di luar ada keluarga Rochester." Seorang Art datang. Wajah Bianca seketika pucat, dia memeluk lengan ibunya dengan erat sedangkan Rajendra langsung menatap lantai dengan pandangan kosong.  "Tuan?" panggil Art tersebut. "Suruh mereka masuk." jawab Rajendra pasrah. "Baik, Tuan." Barbara hanya mengangkat bahunya acuh.  Barbara pergi berlalu meninggalkan keluarganya begitu saja. Urusannya masih banyak, tidak hanya mengurus keluarganya saja. Barbara merogok sakunya, dia mencoba menghidupkan ponselnya dan mati. Kenapa saat di butuhkan beda sialan itu mati? Barbara masuk ke dalam kamarnya, melempar tasnya begitu saja tak lupa dengan sepatunya. Kamarnya begitu berantakan bahkan baju, celana, tas, buku, cemilan semua miliknya bertebaran dimana-mana. Barbara mendudukkan dirinya di sofa, baju yang di pakainya sudah di lempar ke arah keranjang kotor miliknya. Hanya tertinggal Bra dan celana panjang yang menempel pada tubuhnya. Barbara menarik laci di sampingnya, meraih satu batang rokok di dalamnya lalu tak lama menyalakannya. Sebuah asap seketika memenuhi kamar. Barbara menjatuhkan tubuhnya di sofa, kakinya di angkat ke atas meja. Memikirkan perkataan Bianca barusan membuatnya memutar bola matanya. Keluarganya memang bisa di katakan orang berada tapi tak ada satu pun yang tahu jika Bianca memiliki seorang saudara. Bukan keinginan orang tuanya namun itu keinginan darinya. Barbara tidak menyukai jika hidupnya di ekspor oleh banyak publik, dia memilih mengasingkan diri dari kehidupan keluarganya. Maka dari itu semua orang hanya tahu jika anak dari seorang Rajendra Ajuman dan Sadie Ajuman itu hanya ada Bianca Cassandra Ajuman. Sungguh Barbara sama sekali tidak merasa iri dengan kehidupan yang dijalani oleh saudaranya. Bahkan dia merasa bebas dengan hidupnya yang sekarang. Perlu kalian ketahui jika Barbara pernah mendekam di penjara, hanya gara-gara dia menusuk seorang pria yang membuatnya geram. Barbara pasrah saja saat dia di tangkap di kediamannya, tidak ada bantahan sedikit pun darinya. Toh, memang dia melakukannya dengan kesadaran penuh. Bahkan saat di penjara dia banyak mengenal narapidana, mereka melakukan banyak hal, bahkan sudah merencanakan jika keluar dari penjara mereka akan melakukan reuni. Barbara sungguh tak sabar menunggu teman-temannya keluar tapi mungkin dia harus bersabar karena mereka bukan penjahat sepertinya.  Jika kalian bertanya, apakah Barbara tak merasa kasihan dengan orang tuanya? Jawabannya, Kenapa harus kasihan? Selama Barbara melakukan kesalahan, dia tidak sama sekali membawa nama-nama orang terdekatnya. Apapun yang terjadi padanya, dia menanggung bebannya sendiri tanpa menyulitkan orang di sekitarnya. Dan satu lagi Barbara pun sempat memakai Narkoba tapi setelah memakai beberapa bulan dia berusaha melepaskan. Jika memang ingin bahagia, jangan melampiaskan kesedihanmu pada suatu barang yang bisa saja membuatmu rugi. Karena Barbara pun merasa di rugikan setelah memakai benda haram itu. Barbara masih tenang dalam damainya namun tiba-tiba telinganya mendengar sebuah suara keras menggelegar di rumahnya. Keningnya berkerut? Siapa yang berani berteriak di rumahnya? Penasaran, Barbara bangkit berdiri, ada apa dengan orang-orang di bawah sana? Barbara mengambil kaos miliknya yang transparan, mengambil satu kaleng Bir di dalam kulkas miliknya, membuka penutupnya lalu menenggaknya hingga tandas setengah. Setelah di rasa cukup, dia keluar kamar dengan rokok di tangan kanannya dan bir di tangan kirinya. Barbara turun ke bawah, mungkin orang yang pertama kali melihatnya pasti mereka akan berfikir jika dia memang gadis berandalan. Dan Barbara tidak peduli pada pandangan orang lain, baginya ucapan mereka sama kotornya dengan apa yang dia lakukan. Barbara sampai di tangga terakhir, telinganya yang bertindik anting-anting kecil bisa mendengar umpatan bahkan makian yang membuatnya cukup geram. Namun Barbara hanya menyimaknya saja tak ingin ikut campur, dia menyadarkan tubuhnya di pegangan tangga menatap satu persatu orang-orang yang ada di dalam rumahnya. Oh yah, Barbara itu seorang pencinta seni maka jangan heran jika tubuhnya di penuhi Tatto. Barbara menatap Bianca yang mengerut ketakutan di lengan Ibunya, keningnya mengerut. Bianca tidak akan ketakutan jika memang tidak ada penyebabnya. Dia melihat tatapan saudarinya yang terpaku pada satu pria yang menatap dingin padanya. Matanya memandang tajam Bianca seakan ingin membelah tubuh itu sampai berkeping-keping.  "Saya mohon maaf, Mr. Leroy. Tapi saya tidak mau membuat keluarga Anda malu dengan kelakuan Putri saya. Sekali lagi saya minta maaf." Ujar Rajendra meminta maaf, dia rasa lebih baik meminta maaf jika harus melihat putrinya terluka. Tidak peduli dengan harga dirinya, karena bagi Rajendra kebahagiaan putrinya yang di utamakan. "Maaf kau bilang? Satu Minggu lagi kita akan mengadakan pernikahan dan Putrimu membatalkan begitu saja? Mau di taruh dimana mukaku, Mr. Rajendra?!" teriak Mr. Leroy. "Saya minta maaf sekali lagi, Mr. Leroy." Sekali lagi Rajendra meminta maaf dengan menundukkan kepalanya. Ruangan langsung hening seketika, mereka terlihat sibuk dengan pikirin mereka sendiri. Barbara yang melihat itu hanya bersiul. Siulannya membuat semua mata memandang ke arahnya. Mungkin untuk tiga orang mereka tidak akan kaget namun untuk beberapa pasang mata yang lainnya langsung terlihat menatapnya dengan pandangan berbeda. "Dia ...." Ujar Mr. Leroy tanpa melanjutkan kalimatnya. Rajendra hanya bisa diam, dia sudah berjanji pada anaknya untuk tidak mengungkapkan jati diri putrinya itu.  "Saya? Saya cuman orang luar, tidak usah di pedulikan. Silakan lanjutkan tapi ingat jangan berteriak di rumah orang! Pakailah sopan santun sebagai mana seorang keluarga yang di hormati." Ujar Barbara dengan pandangan dinginnya, dia benar-benar tidak suka saat melihat Sang Ayah di perlakukan seperti itu. Siapapun mereka, dari mana asalnya mereka, dari keluarga kaya pun baginya jika sopan dan santun tidak di terapkan akan percuma. Rajendra dan Sadie bukan tidak bisa mendidik. Hanya saja mereka sudah berjanji pada Barbara untuk tidak ikut campur dalam urusan kehidupan putrinya. Jika mereka melanggar, kemungkinan terbesar mereka harus kehilangan putri mereka untuk kedua kalinya. Dulu Barbara pernah menghilang saat usianya 8 tahun. Bertahun mereka mencari namun tidak ada hasil. Mereka sudah menyerah namun saat itulah Tuhan mengabulkan permintaannya. Mereka bertemu dengan Barbara dengan kondisi gadis itu sudah tumbuh menjadi remaja umumnya. Hanya mungkin ada yang berbeda dari bagaimana Barbara bersikap.  Barbara melangkah pergi meninggalkan ruang tamu, dia berjalan ke arah dapur dimana beberapa Chef sedang menyiapkan sesuatu. Barbara duduk dibkursi Bar menatap mereka yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. "Apa Nona perlu sesuatu?" Tanya Bi Sarmin. "Bisa tolong buatkan saya cemilan seperti biasanya?" Pinta Barbara.  "Baik, Nona."  "Saya tunggu di belakang yah, Bi?"  "Baik, Nona." Barbara bangkit berdiri lalu melangkah pergi menuju halaman belakang.  Barbara mendudukkan dirinya di kursi malas, dia meraih kacamata hitam yang ada di sana lalu memakainya. Barbara menyandarkan tubuhnya, matanya menatap Awan di atas sana. Menarik nafas dengan perlahan, aromanya begitu menenangkan, angin menerpa wajahnya melambaikan rambutnya yang berwarna hijau. Perlahan Barbara menghembuskan nafas, rasanya begitu tenang hati dan perasaannya. "Nona ini cemilan yang anda minta." Bi Sarmin meletakan nampan di atas meja.  "Makasih, Bi." "Sama-sama, Nona." Bi Sarmi pergi dari sana. Namun langkahnya tertahan saat melihat seorang pria datang-yang notabennya Calon suami Nonanya yang pertama-.  "Tuan Aarav? Ada yang bisa bibi bantu?" tanya Bi Sarmin. "Saya mau bertemu dengan dia." Bi Sarmin gelagapan. Nona nya yang ini memiliki sifat yang tidak bisa di tebak namun dia jika di ganggu orang lain pasti akan mengamuk.  "Maaf, Tuan. Ada keperluan apa Tuan ingin bertemu dengan Nona Saya?"  "Apa ada masalah?" Bi Sarmin melipat bibirnya. "Bukan Tuan. Nona slalu berpesan pada saya untuk tidak ada yang mengganggunya di waktu senggang. Jadi, lebih baik Tuan kembali masuk ke dalam, keluarga Tuan pasti menunggu untuk makan siang bersama-sama."  "Saya tidak peduli."  "Tapi Tua-" "Tidak apa-apa,Bi. Masuk saja ke dalam."  "Baik, Nona." Bi Sarmin menunduk lalu pergi berlalu.  Barbara menghisap rokoknya lalu menghembuskannya secara perlahan. Telinganya bisa mendengar langkah kaki yang mendekat. Dia menunggu, ada gerangan apa pria ingin bertemu dengannya?  "Ada apa?"  "Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan padamu?"  "Sepenting apa?"  "Sangat penting!" Barbara menoleh, dia mendudukkan dirinya saling berhadapan. Barbara menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman yang memikat. "Jika kau ingin tahu tentang kehidupanku, lebih baik urungkan saja niatmu itu." Barbara bangkit berdiri, dia berjalan masuk meninggalkan pria itu. Melirik dari sudut matanya, dia menggeleng perlahan.  Barbara bukan gadis yang gampang untuk di dekati. Maka jangan coba-coba bermain dengannya, karena sekuat apapun orang itu mendekat, sekuat itu pula dia menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD