Bab - 12

2032 Words
Hari ini Mawar sudah rapih. Gadis cantik itu sudah memiliki janji untuk fitting baju untuk acara pernikahannya nanti. Dia akan pergi bersama Mirna, calon mertuanya. "Nak, udah siap? Tante Mirna udah dateng tuh." Desri mengetuk pintu kamar anaknya. "Iya, Ma. Bentar lagi Mawar keluar, ko." Mawar pun keluar. Gadis itu mengenakan jeans berwarna biru, yang dipadukan dengan kaos berwarna putih, dan tak lupa tote bag kesayangannya yang berwarna hitam. Mawar berjalan menuju ruang tamu, dimana Mirna sudah menunggu dirinya di sana. "Hai cantik!" sapa Mirna saat melihat Mawar sudah keluar dengan penampilan yang sudah rapih. Mawar tersenyum, lalu dia pun duduk di samping Desri. "Mir, Rendra nggak akan pulang?" tanya Desri pada calon besannya itu. Mirna tersenyum kecut. Dia pun merasa geram pada kelakuan anaknya itu. Bagaimana tidak? Di saat dirinya dan Mawar akan fitting baju, tapi laki-laki itu malah memilih untuk tetap di Jakarta. Dengan alasan pekerjaan. "Hah, anak itu nggak akan pulang!" kata Mirna dengan sedikit nyolot. "Lho, kenapa? Padahal hari ini kita mau fitting baju. Kalo nanti baju buat dia kebesaran atau kekecilan gimana?" tanya Desri khawatir. "Udah, jangan mikirin si Rendra. Terserah, mau baju dia kebesaran atau kekecilan, terserah dia." Kali ini Mirna sudah benar-benar bodo amat. Di dalam hatinya, Mirna sibuk mengutuk anaknya yang susah sekali untuk diatur. Meski sebenarnya wanita itu lebih tak enak pada Mawar dan Desri. "Udah siap? Mau berangkat sekarang?" tanya Mirna pada calon mantunya, dan dibalas anggukan oleh Mawar. Dua orang itu berjalan menuju mobil, yang sudah terparkir di halaman rumah Mawar. Sedangkan Desri, wanita itu tak bisa ikut dengan anaknya. Karena restoran tak bisa ia tinggalkan. Mobil pun melaju, membelah jalanan dengan kecepatan yang sedang. Mawar hanya duduk manis, sambil sesekali tengok kanan dan kiri, menikmati pemandangan yang ia lihat melalui kaca jendela. Ia buka sedikit kaca mobil, membiarkan rambutnya yang segelap malam tertiup angin. Matanya terpejam, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ia tak menyangka, jika beberapa minggu lagi statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Ingin sekali dia tertawa dengan kencang. Bagaimana tidak? Dia - Mawar, gadis cantik yang tak pernah tertarik akan sebuah pernikahan, justru dalam beberapa hari lagi dirinya akan menikah? Mawar? Menikah? Yang benar saja! Gadis cantik itu tak pernah tertarik akan sebuah pernikahan. Karena baginya, semua laki-laki itu sama, seperti ayahnya. Perpisahan yang terjadi di antara kedua orang tuanya, membuat Mawar sedikit trauma. Apalagi perpisahan yang terjadi di antara Desri dan Bima dipicu oleh kehadiran orang ketiga. "Mawar? Ayo turun, kita sudah sampai." Mirna menyentuh lembut punggung tangan Mawar. Gadis itu terkejut saat ia melihat keadaan sekitar. Ternyata mobil yang membawa mereka sudah sampai di sebuah tempat pembuatan gaun pengantin. Mirna dan Mawar turun dari mobil, lalu keduanya masuk ke dalam butik tersebut. Mata Mawar membulat saat melihat gaun pengantin yang yang berjejer dengan rapih, dan memanjakan mata. Mulut Mawar membulat, membentuk huruf O. Mirna - calon mertuanya, hanya tersenyum saat melihat Mawar yang terpesona pada gaun pengantin yang butik itu sediakan. Pada awalnya Mirna ingin merancang gaun pengantin khusus untuk Mawar, tapi ia urungkan niatnya. Mengingat pernikahan anaknya akan dilangsungkan bulan depan, pasti tidak akan selesai tepat waktu. Jadi pada akhirnya Mirna akan membeli gaun yang sudah jadi saja. "Ayo, Nak Mawar, dipilih gaunnya," ucap Mirna sambil merangkul pundak Mawar. "E - eh ... iya, Tante." "Ssst ...." Mirna meletakkan jari telunjuknya tepat di depan mulut Mawar. "Panggil mama ya mulai sekarang, jangan tante," imbuhnya. Mawar tersenyum kaku, lalu ia pun mengangguk. "Iya Tan - eh ... Mama maksudnya," ralat Mawar. "Nah, good girl!" Mirna mengusap-usap pucuk kepala Mawar. Pegawai wanita yang sedari tadi berdiri, menunggu perbincangan di antara Mawar dan Mirna selesai. "Silakan ke sebelah sini, Nyonya," ajak pegawai wanita itu sambil menunjuk jalan dengan tangannya. Ketiga orang itu pun berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih mewah lagi. Koleksi gaun pengantinnya pun tak main-main. Berbagai macam model gaun pernikahan tertata rapih pada sebuah manekin. Lagi-lagi Mawar dibuat kagum dengan koleksi gaun di butik itu. Matanya menjelajah setiap gaun yang dipajang oleh mereka. Bibirnya terus berdecak kagum, matanya dimanja oleh kain serba putih itu. "Ayo, kamu suka yang mana? Mawar?" tanya Mirna dengan sedikit canggung. "He-he-he, Mawar juga nggak tau, Tan. Eh ... Ma!" Mirna menatap ke arah Mawar. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Tapi wanita itu terlihat ragu untuk menyampaikannya. "Kenapa, Ma?" tanya Mawar duluan. "Boleh nggak kalo mama nggak manggil kamu Mawar?" Mawar mengerutkan keningnya, heran. "Maksud Mama?" "Boleh nggak mama nggak manggil kamu pake nama Mawar? Kayaknya kepanjangan gitu," jelas Mirna. Mawar mengangguk, mengerti. "Oo ... gitu." "Gimana? Boleh?" tanya Mirna. Mawar mengangguk, lalu tersenyum. "Iya, boleh ko, Ma." "Serius?" tanya Mirna tak percaya. "Iya, Ma." "Ya udah, mama manggil kamu Lita aja, ya? Gimana?" tanya Mirna. "Lita?" Mawar heran dengan panggilan baru yang diberikan oleh calon mertuanya. "Iya, Lita! Kan, Mawar Jelita." Kepala Mawar mengangguk, lalu mulutnya membulat seperti huruf O. Pertanda dia setuju dan suka dengan panggilan barunya. Setelah meributkan nama panggilan, Mawar pun memilih gaun yang akan ia kenakan di hari yang sakral nanti. Meski di dalam hatinya ada sedikit keterpaksaan, tapi mau bagaimana lagi? Menolak pun percuma, bukan? "Wah, kamu cantik banget, Sayang!" puji Mawar saat dirinya keluar dari ruang ganti. Mawar hanya tersenyum, lalu gadis itu pun keluar sambil sedikit mengangkat gaun bagian depan, agar ia lebih leluasa untuk melangkah. "Mempelai prianya, di mana?" tanya salah satu pegawai itu, menanyakan keberadaan Rendra. "Nggak ada! Tolong carikan untuk ukuran ini!" Mirna menyerahkan secarik kertas, di sana sudah tertulis ukuran untuk anaknya. "Tapi, lebih baik mempelai prianya yang mencoba langsung. Agar kami tau, bagian mana yang kurang pas nya." "Udah, biarin aja! Mau bajunya kegedean atau kekecilan, itu terserah dia!" ketus Mirna. Pegawai itu pun hanya mengangguk, lalu melenggang pergi, mencari pakaian untuk Rendra dengan bermodalkan secarik kertas yang diberikan oleh Mirna. Suara jepretan dari ponsel milik Mirna, membuat Mawar memalingkan wajah. Gadis itu menatap calon mertuanya yang sedang mengarahkan kamera ponselnya pada dirinya. "Mama, jangan gitu," rengek Mawar, meminta agar Mirna berhenti memotret dirinya. "Udah diem, jangan protes. Kita kirim foto ini ke Rendra, biar dia nyesel!" Ternyata, Mirna masih kesal pada putranya itu, Rendra. Padahal, dia sudah memberikan berbagai macam ancaman untuk putranya tapi tetap saja tak mempan. Akhirnya Mirna pun mengirimkan foto Mawar pada Rendra. Mirna : "Liat tuh, si Lita cantik banget, kan? Nyesel kan ga ikut fitting baju?" Rendra yang sedang fokus dengan tumpukan dokumen pun menghentikan kegiatannya. Laki-laki itu memeriksa ponselnya. Dia melihat, mamanya mengirimkan sebuah pesan padanya. Mata laki-laki itu menyipit, heran. "Lita? Bukannya dia itu si cewek bar-bar, ya?" gumam Rendra. "Apa jangan-jangan mama jodohin aku sama cewek lain lagi?" Rendra : "Mama nggak ada rencana buat jodohin Rendra sama cewek lain, kan?" Mirna : "Maksudnya?" Rendra : "Itu ... Lita, apa maksudnya? Siapa lagi Lita? Mukanya sih kayak si cewek bar-bar itu, tapi ko namanya ...." "Astaga! Anak tengil! Nama calon istrinya sendiri juga nggak tau? Huh! Mesti di sentil nih ginjalnya!" Mirna menggerutu sendiri. Mirna : "Heh, Lita itu calon istri kamu! Mawar Jelita! Karena mama kurang enak manggil dia Mawar, jadi mama manggilnya Lita! Pulang kamu! Kalo nggak, tau kan akibatnya?" Rendra menelan ludah dengan kasar. Sepertinya, ancaman mamanya kali ini benar-benar membuatnya menciut. Mau tak mau, sore nanti dia harus kembali ke Kuningan. Mengingat, tinggal dua minggu lagi dirinya akan melangsungkan pernikahannya. Sebenarnya Max sudah memberinya izin, agar Rendra fokus pada persiapan pernikahannya. Tapi, bujang tua itu malah menolak, dengan alasan pekerjaan lebih penting dari apapun. Waktu pun sudah menunjukkan pukul empat sore. Rendra sudah bersiap-siap untuk langsung pergi ke Kuningan. Perkara izin pada Max, bisa ia bicarakan melalui ponsel. Laki-laki itu langsung berjalan menuju basement, membuka pintu mobil lalu duduk di belakang kemudi. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi mobil, tangannya memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berat. Mengingat kegiatan hari ini dia cukup padat, dari pagi hingga sore ini. Dan lagi, dia harus pergi ke Kuningan agar dia terhindar dari kutukan mamanya. __________ Kicauan burung terdengar sangat merdu pagi itu. Mentari sudah kembali dari peraduannya, dan mulai bertugas untuk menyinari bumi ini. Mawar, gadis sedang membuka pintu. Ia hendak menyiram tanaman bunga miliknya. Menyiram tanaman sebelum pergi bekerja sudah menjadi kebiasaannya. Mata gadis itu melihat mobil asing yang terparkir di depan rumahnya. Heran, mobil siapakah itu? Akhirnya gadis itu pun berjalan menuju mobil itu, dan mengintip melalui kaca jendela mobil yang tampak gelap. Gadis itu pun mengetuk-ngetuk kaca jendela itu. Hingga membuat pemilik mobil itu pun perlahan-lahan membuka matanya. Melihat ke luar, langit sudah tampak terang, sepertinya malam sudah berganti menjadi pagi. Laki-laki itu pun melihat ke arah jendela, melihat ada seseorang yang sedang mengintip dirinya dari luar. Dia pun membuka jendela mobilnya perlahan-lahan, hingga membuat Mawar kaget. "Astaga!" pekik wanita itu. Tapi mata Mawar malah menyipit, saat dirinya melihat laki-laki yang tak asing baginya. "Kamu?" "Iya, ini gue? Kenapa? Seneng liat gue udah balik lagi?" Ya, laki-laki itu adalah Rendra. Pikiran Mawar menjadi kacau. Bagaimana si setan itu ada di depan rumahnya? Kapan laki-laki tengil itu kembali? "Udah dong liatinnya! Nanti wajah gue bolong!" seru Rendra, membuyarkan lamunan Mawar. "Ngapain kamu ke sini?" "Tentu aja, buat ngurus-ngurus pernikahan kita, dong. Lo lupa kalo bentar lagi kita mau kawin?" goda Rendra, sukses membuat Mawar dibuat kesal. "Pulang sana! Rumah aku nggak nerima tamu di waktu sepagi ini!" Mawar mengusir Rendra untuk pulang. Tapi sayangnya laki-laki itu tak memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan pergi. "Gue kan calon suami Lo! Masa nggak disuruh buat masuk, sih? Setidaknya ajak masuk kek! Terus ajak sarapan!" Rendra merengek seperti anak kecil. Sepertinya laki-laki itu lupa pada umurnya sendiri. Mawar menghela napas. Akhirnya ia mengalah, dia membiarkan Rendra masuk ke dalam rumahnya. Desri, yang saat itu sedang membuat sarapan dibuat terkejut oleh kehadiran Rendra yang tiba-tiba. "Lho, Nak Rendra? Kapan ke sini?" Desri pun langsung menghampiri Rendra, dan mempersilahkan laki-laki itu untuk duduk. "Iya Tante, tadi malem," kata Rendra sambil tersenyum. Mawar pergi ke dapur, membuat secangkir kopi untuk calon suaminya. Sedangkan Desri dan Rendra sedang berbincang-bincang di depan. "Ko tumben udah ke sini, Ren?" Desri membuka percakapan. "Iya, nggak enak juga sama mama yang ngurusin pernikahan aku, padahal aku yang nikah, bukan mama." Desri hanya mengangguk. "Terus, kerjaannya gimana?" "Oh, kalo itu Rendra udah dapet ijin dari atasan langsung, Tante," jelas Rendra. "O ... ko bisa?" Desri penasaran. "Iya, kebetulan atasan Rendra itu sahabat Rendra sendiri. Jadi ya ... gitu deh." Desri hanya mengangguk. Sedangkan Mawar, gadis itu malah akan kembali ke dalam setelah mengantarkan secangkir kopi untuk tamu tak diundang. "Mawar, sini dong! Kasian Rendra, dateng jauh-jauh dari Jakarta cuma pengen ketemu sama kamu." Desri memanggil anaknya. Dengan berat hati, Mawar kembali ke ruang tamu. Lalu duduk di samping mamanya. Setelah itu Desri pamit untuk kembali ke dapur, untuk melanjutkan kegiatan memasaknya. Padahal, aslinya wanita itu ingin menelpon sahabatnya, Mirna. Sedangkan di ruang tamu, keheningan terjadi di antara Rendra dan Mawar. Dua manusia itu sama-sama menutup rapat mulut mereka. Cukup lama, hingga akhirnya Mawar menyerah dan bertanya pada Rendra. "Kamu ngapain ke sini?" Rendra tersenyum. "Ya mau ketemu sama Lo, lha! Kasian, Lo pasti kangen liat muka gue yang tampan ini." Mawar membuang muka. Setelah beberapa minggu tak bertemu, ternyata sifat Rendra masih sama. Narsis, dan menyebalkan. "Heleh, siapa juga yang kangen sanay muka kamu yang udah kayak orang mati!" sindir Mawar dengan nada suara yang terdengar sangat kesal. "Lo ngatain gue kayak mayat? Gitu?" Mawar tak menjawab. Memang benar, Rendra itu tampan. Sayang seribu sayang, kulitnya yang terlalu putih sehingga membuatnya terlihat seperti mayat. Ponsel milik Rendra berdering. Ia melihat nama yang tertera di sana. Ternyata namanya yang menelpon dirinya. Lalu laki-laki itu pun menekan tombol berwarna hijau. "Halo, Ren?" "Iya, halo, Ma." "Kamu dimana?" "Ini aku lagi di rumah si bar-bar." "Bar-bar? Siapa?" Mirna tak tau. "Eh, itu ...." Rendra menghentikan ucapannya. Dia melihat ke arah Mawar, mulutnya bergerak menanyakan nama wanita itu. Tapi yang ditanya malah membuang muka. "Lagi di rumah Mawar?" tebak Mirna. "Nah, iya! Lagi di rumah Mawar!" "Mawar atau Lita?" Mirna kembali bertanya. "Eh?" Rendra gelagapan. Jujur saja, laki-laki itu lupa nama calon istrinya sendiri. Bukankah itu keterlaluan? Tentu saja! Setidaknya dia harus tau nama pasangannya, tidak seperti ini. Sepertinya, hati dan pikirannya sudah dibutakan oleh Michelle.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD