Bab - 22

1342 Words
Rendra keluar dari kamarnya sambil menggenggam erat foto dirinya dan Michelle, lalu melenggang keluar dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Laki-laki itu berjalan menuju ruang kerjanya, yang terletak tepat berada di samping kamar tidurnya. Kemudian Rendra mendudukkan dirinya di atas kursi kerjanya. Matanya menatap foto yang berada di atas meja kerjanya, kemudian ia mengusap-usapnya dengan lembut, seolah-olah jika wanita itu tepat berada di depannya, bukan hanya di dalam foto. "Maaf ya ... gara-gara aku, foto kamu jadi lecet gini." Rendra mengusap-usap foto wanita yang ada di dalam foto itu. "Kamu kapan pulang? Aku kangen, Chel." Rendra mengecup foto wanita itu, kemudian dia membawanya ke dalam dekapannya. Sambil membayangkan jika yang sedang ia dekap adalah orangnya yang asli, kekasihnya yang selalu tersenyum kepadanya, kekasihnya yang selalu membuat dirinya tertawa. Bukan hanya sekedar foto, bukan hanya sekedar gambar. Sepertinya rasa rindunya terhadap Michelle sudah membuat laki-laki itu menjadi sinting, menutup dirinya rapat-rapat dari siapapun, menutup hatinya dari wanita manapun. Rasa cinta dan kerinduannya terhadap Michelle sudah membuat Rendra benar-benar berubah. Setelah emosinya stabil, Rendra menatap pintu ruang kerjanya, berharap pintu itu akan terbuka lalu istrinya - Mawar - masuk, dan meminta maaf padanya. Tapi sayangnya nihil. Hingga detik, menit, sampai jam, pintu itu tak terbuka. Rendra jadi panik sendiri, mengingat sikapnya yang sudah sedikit keterlaluan pada istrinya. Ha, istri? Rendra? Menikah? Astaga! Pria itu sampai geleng-geleng kepala karena tak percaya, kini statusnya berubah. Hanya dalam kurun waktu satu bulan saja. Mirna sudah merubah status anaknya. Hebat bukan? Tentu saja! Lagi-lagi pikiran Rendra tertuju pada Mawar. Menerka-nerka, apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu? Pasalnya, dia tak mendengar suara apapun dari luar sana. Akhirnya mau tak mau, Rendra pun mengalah. Dia keluar dari ruang kerjanya, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Bersikap se-cool mungkin. Dia berhasil keluar, lalu mondar-mandir di ruang tamu. Matanya menatap ke arah dapur, takut-takut jika Mawar memang ada di situ. Tapi matanya tak melihat kehadiran gadis itu. Lalu kakinya berjalan menuju kamar tidurnya. Ia putar kenop pintunya, lalu kepalanya menyumbul ke dalam. Menengok ke kanan dan kiri, seperti orang yang hendak menyeberang. Tapi dia juga tak menemukan keberadaan Mawar. Panik, laki-laki itu sedikit panik saat tak mendapati Mawar berada di apartemennya. Kemana perginya gadis itu? Sial! Rendra benar-benar khawatir! Masalahnya Rendra tau, jika Mawar belum terlalu hafal dengan lingkungan apartemennya. Bagaimana jika Mawar hilang? Ada yang menghipnotis gadis itu? Atau, atau, dan atau. Pikiran Rendra dipenuhi oleh bayangan negatif. Bukan karena dia sudah mencintai wanita itu, bukan! Ia terlalu takut, jika terjadi sesuatu pada Mawar, maka mamanya - Mirna, pasti tidak akan tinggal diam. Dan juga, dia ingat dengan janji dirinya pada Desri, mertuanya. Rendra mondar-mandir, sudah seperti setrikaan saja, sambil menggigit kuku-kuku jarinya. Itulah yang Rendra lakukan, saat dirinya sedang dilanda kegugupan dan kekhawatiran. Pintu kamarnya terbuka, matanya langsung melihat ke arah pintu itu. Matanya melihat Mawar, baru saja keluar dari sana. Dengan mengenakan hot pants, yang dipadukan dengan kaos berwarna biru navy. Dan rambutnya yang basah, ia lilit dengan menggunakan handuk. Dengan cepat, Rendra langsung mendekat ke arah wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. Tangannya mencengkram pundak wanita itu, dengan cukup kuat. "Lo abis dari mana?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Rendra. "Aku?" Mawar menunjuk dirinya sendiri. "Iya, Elo! Lo kira ada orang lain lagi apa?" keluh Rendra. "Lo abis dari mana? Gue nyariin Lo sampe ngubek-ngubek apartemen ini, tapi Lo ga ada!" lanjut Rendra. Mawar terdiam, mencerna setiap ucapan yang ia dengar dari Rendra. "Lo jangan seenaknya keluar! Lo itu masih baru di sini! Kalo Lo nyasar, terus ada yang hipnotis Lo, terus Lo kena tipu, terus -" "Aku abis mandi." "Eh? Apa?" "Aku abis mandi." Rendra terdiam. Belum mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mawar. "Mandi?" Kembali bertanya. "Iya." Mawar mengangguk. "Di mana?" "Di kamer kamu. Di sini nggak ada kamar mandi lain lagi, kan kecuali yang ada di kamer kamu, kan?" tanya Mawar. "Iya." Rendra mengangguk. Lalu mata Mawar menatap ke arah pundaknya, yang sedang dipegang oleh suaminya, Rendra. Lalu matanya kembali menatap suaminya. Dan memberi kode, agar tangannya ia singkirkan dari pundaknya. "Kenapa?" tanya Rendra tak mengerti. "Lepas." "A - apanya?" tanya laki-laki itu gugup. "Tangan kamu!" ucap Mawar sambil melirik ke arah pundaknya. Buru-buru Rendra melepaskan tangannya, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kemana saja, asal matanya tak melihat ke arah Mawar. Setelah itu Mawar berjalan ke dapur, lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Setelah itu wanita itu berjalan ke arah meja makan, mengambil beberapa lauk yang diberikan oleh mamanya. Mawar, wanita itu langsung melahap masakan yang diberikan mamanya. Ada sedikit rasa rindu pada saat ia menyaptapnya. Tak terasa ia meneteskan air matanya. Tapi buru-buru ia usap, takut dilihat oleh Rendra. Tapi sayangnya, laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya itu sudah melihatnya. Dia melihat, jika istrinya menangis. Dia tau kenapa istri bar-bar nya itu meneteskan air mata. Dia ... rindu terhadap mamanya, Desri. Rendra jadi bingung sendiri. Bagaimana caranya dia menghibur istrinya yang sedang galau itu. Akhirnya Rendra berjalan menuju meja makan, dan duduk di hadapan istrinya. "Gue mau makan," ucap laki-laki itu sambil melipat tangannya di atas meja. Mawar tak menggubris, dia tetap makan dan menghiraukan keberadaan suaminya. "Gue bilang, gue lapar. Lo ga denger?" Rendra berkata dengan nada yang sedikit meninggi. Mawar menghela napas. Dia menatap Rendra dengan malas. "Kan bisa ambil sendiri. Punya tangan sama kaki buat apa? Panjangan?" "Gue punya istri buat apa? Kalo pengen makan aja harus ngambil sendiri?" Mawar terdiam. Bagaimanapun juga kini dia sudah menikah. Dan melayani suaminya adalah kewajibannya. Oke, Mawar pun bangkit dari duduknya, mengambil piring lalu ia isi dengan nasi. Lalu kembali ke meja makan, dan menyendok beberapa lauk yang ia diberikan oleh mamanya. "Ini." Mawar meletakkan piring yang penuh dengan makanan ke hadapan Rendra. Lalu wanita itu kembali menyantap makanannya sambil sesekali menyeka air matanya yang terus keluar. "Jangan nangis! Kita masih bisa mengunjungi mamah ko," ucap Rendra sambil mengaduk-aduk nasinya, lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Mendengar perkataan Rendra, membuat air mata Mawar semakin deras. Ia tak bisa menahannya lagi. Dia tertunduk, sedetik kemudian dia terisak. Rendra gelagapan. Lho, lho, lho? Padahal dia mengatakan hal itu ingin menghibur istri bar-bar nya yang sedang merindukan mamanya. Tapi, kenapa air matanya semakin deras? Jujur saja, Rendra tak tau cara menenangkan Mawar yang masih terisak. Dia lupa bagaimana caranya menghibur seorang wanita yang sedang menangis. Tidak mungkin kan jika dirinya mendadak buka si Mbah? Kan ga lucu! Laki-laki itu berdiri, lalu berjalan menuju Mawar yang masih tertunduk dan terisak. Tangannya terulur, lalu membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Entah kenapa, dia menjadi iba pada wanita itu. Dia tau, jika ini pertama kalinya untuk Mawar pergi jauh dari mamanya. Berbeda dengan dirinya, yang sudah terbiasa hidup sendiri dan jauh dari orang tuanya. "Cup ... cup ... jangan nangis." Rendra mengusap-usap pucuk kepala Mawar. Sedangkan gadis itu menanamkan wajahnya pada perut Rendra. Karena pada saat itu posisi sedang duduk di kursi, sedangkan Rendra berdiri, sambil memeluk dirinya. "Hu-hu-hu." Tangis Mawar semakin menjadi. Bayangan antara dirinya dan Desri melintas. Rindu, sungguh rindu! Mereka, ibu dan anak itu sering menghabiskan waktu bersama-sama. Mereka tak pernah terpisahkan sejauh ini. Apa lagi dengan kurun waktu yang cukup lama. "Gue janji, satu bulan sekali kita akan pulang untuk mengunjungi mama. Sekarang kan di sana udah ada Mama Mirna yang nemenin Mama Desri," ucap Rendra sambil terus memeluk Mawar, dan tangannya sesekali mengelus-elus punggung istrinya. Mawar masih menangis dalam pelukan Rendra. Sumpah, demi apapun, ini pertama kalinya untuk dirinya - Mawar - menangis di hadapan laki-laki! Dan ... yanga lebih parahnya, dia menangis di dalam dekapan laki-laki itu! Tidak apa-apa, sesekali boleh bukan jika ia menangis di hadapan laki-laki? Toh, laki-laki itu bukan orang asing. Melainkan suaminya sendiri. Satu kata yang Mawar rasakan saat dirinya berada dalam dekapan Rendra. Nyaman. Iya, wanita itu merasakan nyaman. Rasa nyaman, aman, dan tenang. Ditambah aroma tubuh Rendra yang sangat khas, hingga membuat Mawar sedikit melupakan kesedihannya. "Boleh bukan, jika sekali-kali aku seperti ini?" batin Mawar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD