Pesta Konglomerat

1042 Words
Keesokan harinya, Arcene berdiri di depan cermin di kamarnya, memandang bayangannya sendiri dengan perasaan aneh. Gaun yang dia kenakan begitu indah, terbuat dari kain sutra berwarna biru tua dengan kilauan halus yang memantulkan cahaya. Potongan gaun itu menonjolkan keanggunannya tanpa terlihat berlebihan namun terlihat seksi karena Arcene memiliki bentuk tubuh bak gitar spanyol yang berlekuk indah. Ia merapikan rambutnya yang ditata sederhana namun elegan, lalu mengenakan sepasang anting berlian yang juga diberikan Slania. Arcene hampir tidak mengenali dirinya sendiri. “Aku masih tak percaya ada orang yang memberikan ini cuma-cuma pada orang asing. Apakah semua konglomerat seperti itu? Ck ck ck … mereka benar-benar tak pernah memikirkan biaya hidup sepertinya,” gumam Arcene. * * Ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan kafe, Arcene menghela napas panjang sebelum melangkah keluar. Dia sengaja menutup kafenya malam itu karena dia tak ingin dua pegawainya tahu tentang penampilannya yang berubah drastis malam ini.” Ia tidak tahu apa yang menantinya di pesta itu, tetapi dia memutuskan untuk menjalani semuanya dengan kepala tegak. Baginya, ini pengalaman baru baginya sekaligus cukup menantang di tengah hidupnya yang selama ini cukup flat. * * Setibanya di tempat pesta, Arcene mulai memakai topengnya dan ketika keluar dari mobil mewah itu—dia disambut oleh pemandangan yang luar biasa. Sebuah mansion besar berdiri megah, diterangi oleh lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya hangat. Para tamu yang datang tampak seperti para bangsawan, mengenakan pakaian terbaik mereka. Arcene melangkah masuk dengan hati-hati setelah memberikan undangan pada penerima tamu. Ketika akhirnya dia masuk, Arcene merasa canggung di antara para tamu yang bercakap-cakap dengan aksen elegan. Namun, dia mencoba menyembunyikan kegugupannya, mengingat pesan Slania untuk tidak terlalu mencolok. Di dalam ruangan, suasana pesta semakin ramai. Musik klasik mengalun lembut, sementara para pelayan mondar-mandir membawa nampan berisi minuman dan makanan mewah. Arcene merasa seperti memasuki dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sederhana yang biasa dia jalani. Namun, dia tidak punya banyak waktu untuk merenung karena seorang pria muda dengan senyuman ramah mendekatinya. “Selamat malam, Nona,” sapa salah seorang pemuda. “Boleh aku mengenalmu?” Arcene tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Maaf, ada yang menungguku di sana.” Arcene berusaha tak terlibat percakapan apa pun dengan tamu lainnya. Dia masih sangat gugup dan tak berani berinteraksi dengan para konglomerat itu. Pemuda itu mengangguk, matanya memancarkan ketertarikan. “Selamat datang, kalau begitu. Semoga kau menikmati malam ini.” Arcene mengucapkan terima kasih sebelum pria itu melanjutkan perjalanannya. Ia merasa lega bahwa pertemuan singkat itu berjalan lancar, tetapi dia tahu bahwa malam ini masih panjang. Dalam hatinya, Arcene bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menantinya di balik pesta mewah ini? * * Gaun biru elegan yang Arcene kenakan terasa seperti tameng tipis yang hampir tidak cukup melindunginya dari pandangan tajam dan sikap sombong para tamu kaya di pesta itu. Meskipun penampilannya sempurna berkat gaun mewah dan perhiasan berlian yang disediakan oleh pengundang misteriusnya, Arcene tetap merasa kecil di tengah dunia konglomerat ini. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke aula utama. Sebuah lampu gantung besar menggantung di tengah ruangan, berkilauan seperti ribuan berlian. Musik klasik mengalun lembut di udara, menyatu dengan suara percakapan para tamu yang terdengar santai namun penuh kehati-hatian. Setiap langkah yang Arcene ambil terasa berat. Ia sadar bahwa ini bukan dunianya. Ia hanyalah seorang wanita biasa yang tiba di sini karena undangan tak terduga. Untuk menyembunyikan identitas aslinya, ia memutuskan menggunakan nama samaran, seperti yang telah disarankan oleh pria misterius yang memberinya tiket masuk ke pesta ini. “Selamat malam,” seorang pelayan menyapanya dengan senyum ramah, menawarkan segelas sampanye di atas nampan perak. “Terima kasih,” jawab Arcene pelan, mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, mencoba menemukan sudut yang tidak terlalu mencolok. Pandangannya menyapu sekeliling, mengamati para tamu yang tampak bercahaya dalam busana mewah mereka. Wanita-wanita dengan gaun mahal dan pria-pria dalam setelan jas yang sempurna tampak berbicara dengan nada rendah, seolah-olah setiap kata mereka adalah rahasia penting. Dia kemudian menyesap wine agar sedikit rileks dan tampil percaya diri. Arcene merasa asing. Setiap gerakan, setiap senyuman, setiap tatapan mata di ruangan ini tampak seperti sandiwara yang telah dilatih dengan cermat. Ia tahu bahwa jika tidak berhati-hati, dia bisa saja menjadi pusat perhatian—sesuatu yang paling dia hindari malam ini. “Selamat malam, Nona, kenapa menyendiri di sini?” suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di sebelahnya. Arcene menoleh dan melihat seorang pria berbadan tinggi dan tegap dengan senyum miring yang penuh pesona. Matanya di balik topeng itu berwarna biru terang, dan rambutnya yang berwarna gelap tertata rapi. Ia membawa aura percaya diri yang khas dari seseorang yang terbiasa berada di pusat perhatian. “Selamat malam,” Arcene menjawab, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. “Aku hanya tak terlalu suka keramaian seperti ini. Sebuah keharusan yang tak bisa kutolak.” Pria itu tertawa pelan. “Aku Light.” pria itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Arcene ragu sejenak sebelum akhirnya menjabat tangannya. “Hai.” Arcene tak menyebutkan namanya. “Siapa namamu?” tanya pria itu. “Celine,” sahut Arcene berbohong. Nama samaran itu meluncur dari bibirnya dengan lancar, meskipun dia merasa sedikit bersalah karena berbohong. Namun, ini adalah langkah yang perlu untuk melindungi dirinya agar tak terlibat masalah jika dia hanyalah seorang penyusup di pesta itu. “Celine,” Light mengulangi nama itu dengan nada memuji. “Nama yang indah untuk seorang wanita yang luar biasa.” Arcene tersenyum kecil, tidak yakin bagaimana menanggapi pujian itu. “Terima kasih.” Arcene menyesap kembali wine-nya sampai habis untuk menghilangkan kegugupannya. “Kau datang sendiri?” Arcene mengangguk dan mengambil kembali wine dari nampan pelayan yang lewat di depan mereka. “Mau menikmati malam ini bersamaku? Pesta keluarga Delacroix selalu menjadi acara yang tak terlupakan,” ujar Light sambil menyeruput wine-nya. Arcene tidak bisa menolak tawaran itu dan mengangguk, dia juga butuh pendamping di pesta itu agar tak canggung. Ia mengikuti Light yang mulai menggandengnya dan berjalan menuju salah satu sudut ruangan, di mana kelompok kecil tamu sedang berbincang. Namun, Arcene berusaha menghindari mereka dengan mengajak Light berdansa saja. Dia tak ingin mereka menanyai siapa nama keluarganya karena itu akan membongkar penyamarannya. Arcene hanya ingin menikmati malam ini dengan menjadi partner dansa Light, salah seorang konglomerat muda dan tampan di pesta itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD