Lucy akhirnya bersuara lagi, kali ini lebih tenang, tapi dengan nada tajam.
“Kalau aku bisa ketemu langsung dengan ayahmu dan kedua cecunguk itu, aku akan bilang satu hal, mereka pengecut. Pengecut yang menaruh beban keluarga di pundakmu, sementara mereka bersembunyi di balik nama besar dan kekuasaan orang lain.”
Amelia menunduk. Ada air yang menggenang di matanya, tapi ia menahannya agar tidak jatuh. “Aku tahu. Tapi aku tidak punya pilihan, Luc. Ini satu-satunya cara untuk memastikan nenek tidak kehilangan tempat tinggal. Aku rela.”
Lucy menatapnya lama, wajahnya melunak. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Amelia yang dingin. “Aku tidak akan diam saja, Mel. Entah bagaimana caranya, aku akan cari jalan keluar untukmu. Kau terlalu berharga untuk dikorbankan demi orang-orang yang bahkan tidak layak disebut keluarga.”
Amelia terdiam, lalu akhirnya tersenyum tipis. “Aku beruntung punya kamu.”
Lucy menatapnya balik, kali ini dengan senyum penuh tekad. “Dan aku beruntung kamu masih kuat berdiri sampai sekarang. Tapi percaya padaku, Mel—aku tidak akan biarkan mereka menang selamanya.”
Amelia duduk sambil meremas jemari tangannya di atas meja. Di depannya, Lucy menopang dagu dengan ekspresi kesal yang tidak bisa ditutupi. Namun, dia juga sedang berpikir keras.
“Kenapa kamu tidak minta bantuan saja pada bosku?” suara Lucy terdengar penuh keyakinan, seperti orang yang baru saja menemukan celah dalam tembok kokoh.
Amelia langsung mendesah berat, menggeleng cepat sambil menatap sahabatnya dengan mata memohon. “Lucy, jangan aneh-aneh.”
Lucy memiringkan kepalanya, kedua alisnya terangkat tinggi. “Kenapa tidak bisa? Mel, kamu tidak dengar aku bilang siapa? Matteo Hayes. Bosku. Kalau ada orang yang bisa narik kamu keluar dari neraka yang namanya keluarga Davis, itu dia orangnya. Coba saja datangi dia—”
“Lucy.” Amelia memotong tegas, meski suaranya parau. Ia menunduk, menatap sendok di tangannya yang bergetar. “Pernikahanku dengan Kenneth besok. Aku tidak ingin membuat banyak sensasi. Biar saja aku turuti permintaan ayahku.”
Lucy terdiam sepersekian detik, lalu mendengus frustrasi. Ia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. “Aduh, Mel…”
Amelia tersenyum getir, senyum yang lebih mirip luka yang dipoles. “Aku tidak bisa ke mana-mana lagi. Semua udah diatur. Aku hanya perlu menjalani… walau rasanya seperti menyerahkan diriku sendiri ke kandang singa.”
Lucy menepuk meja pelan, matanya berkilat marah. “Gila! Jadi kamu beneran mau biarin dirimu jadi tumbal cuma demi kepentingan ayahmu? Demi nenekmu? Aku tahu kamu sayang sama beliau, tapi ini… ini konyol, Mel!”
Amelia menarik napas panjang, menahan rasa pedih di dadanya. “Aku tidak punya pilihan lain. Nenekku satu-satunya keluarga yang selalu ada buatku. Aku tidak bisa biarin beliau jadi korban.”
Seketika mata Lucy memerah. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap sahabatnya dengan emosi yang bergejolak. “Laki-laki itu… Ayahmu itu, bahkan tidak pantas disebut ayah! Menjual putrinya sendiri demi ambisi. Harusnya dia jual saja si Monica. Dia kan sama jahatnya dengan si kornet. Mereka bakal jadi pasangan paling serasi dalam hal kejahatannya.”
Amelia menunduk lagi, menyembunyikan senyum kecil mendengar kata-kata Lucy. Ya, kalau mengikuti maunya, memang lebih cocok si br3ngsek itu dengan Monica. Tapi mau bagaimana lagi?
“Aku tidak bisa terima ini, Mel. Kenapa harus kamu? Kenapa harus sahabatku?”
Amelia hanya diam, wajahnya memucat. Ia meraih segelas air dan meneguknya pelan, seakan ingin menelan sekaligus segala pahit yang menyesakkan.
Lucy menatapnya lama, lalu bersuara lebih lembut, meski amarahnya masih terasa. “Mel… Aku tidak sanggup lihat kamu kayak gini. Pasrah. Diam. Padahal kamu orang paling pintar dan paling keras kepala yang aku kenal sejak kuliah. Tapi sekarang… kamu duduk di sini kayak burung dengan sayap patah.”
Amelia menutup matanya sejenak, lalu berbisik. “Mungkin memang itu takdirku, Luc. Aku tidak punya pilihan lain.”
Lucy langsung meraih tangan Amelia, menggenggamnya erat. “Takdir bisa diubah. Aku tidak akan berhenti sampai aku temuin cara buat nyelametin kamu. Ingat kata-kataku.”
Amelia hanya bisa menatap sahabatnya dengan mata sendu, separuh hati berharap, separuh hati pasrah. “Jangan repot-repot, Luc. Kamu bisa kena masalah besar.”
Lucy mengangkat dagu, senyumnya getir namun penuh tekad. “Masalah lebih besar daripada kamu dikawinin sama laki-laki br3ngsek itu? Please. Aku lebih rela perang sama setengah dunia daripada harus lihat kamu sama si kornet.”
Keheningan melingkupi mereka. Pelayan datang membawa pesanan—dua piring pasta dan kopi panas—tapi suasana di meja itu terasa jauh dari santai. Amelia menyentuh garpu, namun selera makannya lenyap.
Lucy menatapnya, matanya berkilat tajam.
“Aku janji, Mel,” katanya lirih tapi penuh kepastian. “Aku nggak akan biarin ini berakhir kayak yang ayahmu mau. Kalau perlu, aku sendiri yang tarik kamu keluar dari altar itu.”
***
The Hayes Enterprises.
Di tengah tumpukan dokumen belum bergerak di mejanya, Matteo tenggelam dengan angka-angka yang tercetak di dokumen di hadapannya.
Asistennya, Liam, melintasi ruangan, dan menyodorkan sebuah amplop tebal berwarna krem dilengkapi pita.
“Ini undangan yang masuk ke meja saya pagi tadi, Sir. Dari keluarga Jackson” ujar Liam, nada suaranya datar, tapi Matteo menangkap sedikit ketidaksukaan di ujungnya.
Matteo, yang tengah sibuk memeriksa dokumen laporan keuangan, hanya mengangkat sebelah alis.
“Keluarga Jackson?” gumamnya tanpa melihat. Tangannya yang bebas mengambil amplop itu. “Sejak kapan mereka kirim undangan ke sini? Kita bahkan tidak ada urusan bisnis.”
Liam mengangkat bahu. “Entahlah, Sir. Tapi… rumor bilang, mereka sedang mempersiapkan pendekatan dengan beberapa keluarga. Mungkin The Hayes masuk daftar setelah Anda menggantikan posisi pimpinan,”
Matteo sudah separuh berpikir untuk langsung membuangnya ke tempat sampah. Keluarga Jackson jelas tidak lebih dari duri di mata keluarga Hayes. Mereka hanya fokus mengejar keuntungan dan bahkan melakukan beberapa aktivitas ilegal di Chicago. Mereka tidak pernah menyembunyikan sikap tamak dan licik—sebuah keserakahan yang tidak malu-malu lagi.
Namun, jemarinya tetap menyobek segel emas di belakang amplop itu. Sekadar memenuhi rasa ingin tahu…
Mereka mengundangnya. Sepertinya keluarga Jackson ingin memamerkan pernikahan itu ke publik dan menjadikan pesta nanti ajang untuk melakukan pendekatan ke target potensial mereka.
Begitu lipatan kertas dibuka, matanya langsung disergap pemandangan yang membuat napasnya tercekat.
Sebuah foto.
Warna emas yang membingkai gambar itu tampak terlalu mewah untuk mengalihkan perhatiannya dari dua sosok di tengah. Seorang pria dengan senyum percaya diri yang dingin—Kenneth Jackson—berdiri di sisi seorang perempuan muda. Perempuan itu tersenyum anggun, tatapan matanya terarah ke kamera… dan Matteo langsung mengenalinya.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
Dia gadis itu, yang tidak pernah pergi dari pikirannya sejak malam itu.
Tidak ada keraguan. Itu adalah gadis yang beberapa minggu terakhir menghantui mimpinya—senyum polos yang pernah ia lihat di bawah cahaya temaram, mata yang berkilat di tengah malam. Tapi di foto ini… ia mengenakan gaun putih yang membuatnya terlihat seperti dewi Yunani yang melambangkan cinta. Bibirnya melengkung lembut, seakan seluruh dunia berada dalam genggamannya.
Di bawah foto itu, tertulis dengan huruf timbul,
"Dengan hormat, keluarga besar Jackson dan keluarga besar Davis mengundang Anda untuk menghadiri pernikahan putri mereka, Amelia Rose Davis, dengan Tuan Kenneth Jackson."
Jadi namanya Amelia.
Amelia Rose Davis.
Matteo menatap kata-kata itu lama sekali. Suara di ruangan seolah menghilang.
Liam yang berdiri di hadapannya menunggu reaksi. “Saya bisa menolaknya langsung, kalau Anda mau,” ujarnya hati-hati.
Matteo tidak menjawab. Ia meraih foto itu, menekannya di antara jarinya seperti takut gambar itu akan menghilang. Ada ketegangan yang merayap di rahangnya.
“Tidak perlu,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun mengandung sesuatu yang berbahaya. “Kirimkan konfirmasi kehadiran saya.”
Liam menatapnya, jelas bingung. “Tuan Hayes… Anda tahu mereka bukan rekan bisnis kita, kan?”
Matteo menoleh, tatapannya tajam seperti pisau. “Saya tahu. Justru karena itu, saya harus hadir. Sepertinya keluarga Jackson ingin semua pengusaha baik kawan maupun lawan turut menyaksikan pernikahan ini.”
Ia bersandar di kursinya, namun pandangan matanya tak lepas dari foto Amelia. Ada campuran rasa penasaran, kemarahan, dan… sesuatu yang tak mau ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
Senyum anggun di foto itu seolah mengejeknya.
Dan untuk alasan yang bahkan ia sendiri belum bisa jelaskan, Matteo tahu satu hal pasti—pernikahan itu tidak akan berjalan semudah yang keluarga Jackson dan keluarga Davis rencanakan.
Matteo menatap foto itu lama sekali, seperti mencoba menembus kertasnya. Senyum Amelia di gambar itu terlihat sempurna—terlalu sempurna. Gaun formal berpotongan sederhana, rambutnya disanggul rapi, mata memandang ke arah kamera dengan anggun, dan tangan halusnya bertaut di lengan Kenneth Jackson.
Namun yang Matteo lihat bukan itu. Yang dia lihat adalah bayangan Amelia di bawah cahaya lampu remang malam itu—mata yang berkilat menantang, pipi yang memerah, dan jemari yang sedikit gemetar saat menyentuhnya.
Tangannya mengepal di atas undangan. Terlalu cepat. Pernikahan ini terlalu cepat. Tidak mungkin sesederhana "kebetulan" atau "jodoh keluarga".
Ia menyandarkan tubuh ke kursinya, napasnya panjang.
Kilasan malam itu menyeruak—kilau kain di bahunya, aroma samar parfum manisnya yang menusuk ingatan, dan... bercak merah itu.
"Kau sengaja memilihku malam itu?" gumamnya lirih, entah bertanya pada dirinya sendiri atau pada bayangan Amelia di pikirannya.
Asistennya, Liam, yang masih berdiri di depannya menatapnya heran.
“Sir? Anda baik-baik saja? Anda kelihatan... aneh.”
Matteo mengangkat kepalanya, memaksakan wajahnya netral. “Bawa kopi. Yang kuat.”
Liam segera menghilang di balik pintu, tapi Matteo tetap terpaku pada foto itu.
Matteo memejamkan mata, menautkan jari-jari di depan bibirnya.
Ia menemukannya, tapi akan menikah dengan pria lain.
Kepolosan Amelia malam itu sekarang terlihat seperti lapisan tipis di atas sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah tanya, mengapa Amelia menggodanya malam itu?
Jika Amelia benar-benar sengaja… maka pertanyaannya adalah kenapa. Dan mengapa, setelah itu, ia akan menikah dengan pria br3ngsek itu? Kenneth Jackson bukan sosok pria ideal untuk wanita baik-baik.
Matteo menghela napas pendek, matanya kembali terbuka, menatap senyum di foto yang kini terasa seperti tantangan pribadi.
“Baiklah, Amelia, kalau kau pikir aku akan duduk diam setelah mengetahui ini, kau salah besar.”