Bab 1. Lega Michael
Michael tersenyum puas saat membaca saat membaca sebuah pesan singkat di layar ponselnya, dia resmi dinyatakan sebagai pemegang hak asuh Michelle, anak dari hubungan asmaranya dengan Nadia beberapa tahun lalu. Sebelumnya, meskipun pemegang hak asuh Michelle adalah Nadia, sebagai ibu kandung, tapi Michelle sudah dirawat Michael sejak usia dua tahun, dan kini anak itu sudah berusia enam tahun. Kini Michael bisa lebih bebas merawat Michelle tanpa terganggu dengan tuntutan dari pihak Nadia. Urusan ini sangat panjang dan melelahkan, karena pihak Nadia yang sempat menolak.
“Kamu aman sekarang, Mike. Nadia nggak bisa lagi menuntut kamu banyak hal. Michelle adalah anak kandungmu dan kamu berhak menentukan masa depannya,” ujar Putra, pengacara Michael. “Sudah saatnya mencari pasangan,” ujarnya kemudian.
Michael tertawa ringan.
“Ah, sudahi petualangan kamu, Mike. Usiamu sudah tidak muda lagi, tiga tahun lagi sudah kepala empat. Nggak ada alasan bersenang-senang dengan wanita-wanita yang hanya menggerogoti uangmu.”
“Itu soal yang nggak mudah.”
“Dipermudah saja. Kamu cari wanita yang baik-baik, nikahi. Soal cinta itu belakangan. Setidaknya ada yang bisa dipanggil mama oleh Michelle. Kasihan anak itu, bertahun-tahun nggak ada yang bisa dia panggil mama. Mamanya saja hanya peduli uangmu.”
“Aku nggak mau seperti ayahku, menikah, tapi banyak simpanan.”
“Tapi kamu nggak jauh beda dari ayahmu, tidak menikah, tapi punya anak.”
“Setidaknya aku masalahku nggak serumit ayahku, terutama terkait dengan mamaku.”
“Sudahlah, lebih baik kamu pikirkan lebih serius lagi soal mama untuk Michelle. Ingat mamamu selalu risau soal ini.”
Putra lalu membereskan tasnya dan pamit ke luar ruangan.
Tak lama Putra pergi, Michael menghubungi sekretarisnya. “Feni, siapkan dua perempuan untukku malam ini. Aku ingin di Maritim club.”
***
Kara selesai membacakan cerita menjelang tidur untuk Michelle.
“Sudah selesai, Kak?” delik Michelle saat Kara menutup buku ceritanya.
“Iya, sudah selesai.”
“Tapi aku belum mengantuk.”
“Jadi kamu mau aku bacakan cerita lain lagi?”
Michelle mengangguk.
Kara mengambil buku lainnya di atas meja kecil di samping tempat tidur, berjudul Alice the Wonderland.
“Nggak mau, Kak. Cerita itu bosan dan bikin ngantuk.”
“Ya, aku baca buku emang biar kamu ngantuk dan tidur.”
“Tapi aku nggak suka cerita ini.”
Kara tertawa menggeleng, mengembalikan buku itu ke atas meja kecil. “Bagaimana kalo kita ngobrol-ngobrol saja.”
“Tentang apa?”
“Apa ya?” Kara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. “Hm … kamu bisa cerita tentang sekolah kamu.”
“Ah, aku benci sekolah.”
“Ya, kamu bisa bicara tentang tentang teman yang kamu sukai di sekolah.”
Michelle terdiam, dia tidak memiliki teman favorit. “Bagaimana kalo tentang mami?” ujarnya memberi pendapat.
Kara mengangguk semangat, dia baru beberapa minggu bekerja sebagai baby sitter Michelle, dan yang dia tahu bahwa Michelle yang hanya memiliki papi tunggal.
Michelle menghela napas panjang, dan memulai. “Aku benci mami—”
Napas Kara tertahan, tapi dia tidak mau mencegah, memilih menyimak.
“Kata papi mami nggak peduli aku.” Michelle cemberut.
“Nggak apa-apa, yang penting papi kamu peduli kamu, dan aku peduli kamu.”
“Iyakah?”
Kara mengangguk tersenyum.
“Kak Kara janji nggak akan tinggalkan aku?”
Kara mengangguk mantap.
“Nggak seperti mbak Ira dulu, yang berhenti jaga aku karena menikah?”
Kara mengangguk lagi, dia juga tidak tahu kapan akan menikah, tidak punya pacar dan yakin tidak ada laki-laki yang menyukainya, karena dia hidup sebatang kara.
“Ya sudah, kamu nggak perlu cerita tentang mami kamu.”
“Iya. Hm … bacain yang Alice aja, Kak Kara.”
Kara lalu membacakan cerita Alice the Wonderland untuk Michelle. Baru satu halaman dibacakan, Michelle langsung tertidur.
Kara menghela napas lega karena akhirnya Michelle tidur juga. Dia beranjak dari tempat tidur, membereskan kamar Michelle dan merapikannya lalu ke luar.
Kara masih enggan masuk ke dalam kamarnya karena dia yang belum mengantuk dan merasa haus. Dia pergi ke dapur, mengambil segelas air dan meneguknya sampai habis. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dia tersenyum, Sania, teman satu kosnya menghubunginya.
Kara langsung memperbaiki posisi duduknya di kursi makan. “Halo.”
“Kara, aku pinjam baju putih kamu ya, besok aku ada wawancara kerja di perusahaan keuangan di Bintaro."
“Oh, ya, pakai saja.”
“Aku izin buka lemari baju kamu ya?”
“Iya, iya.”
“Gimana kerja kamu di sana?” tanya Sania di ujung sana.
“Haha, senang jagain anak yang nurut.”
“Ah, syukurlah. Hm … belum ketemu papinya?”
“Belum, aku harap nggak ketemu, kata mbak Heni yang jadi kepala rumah tangga di sini, pak Michael itu galak dan nggak sopan.”
“Tapi ganteng, ‘kan?”
“Astaga, haha. Ya ampun, Saniaaa. Iya, emang ganteng, keturunan Italia dan Amerika.”
“Wih kebayang deh kamu bisa ketemu cowok ganteng.”
“Tapi ada kumisnya, aku geli liat cowok yang ada kumisnya. Geli banget ngeliatnya. Hiii.”
Terdengar tawa di ujung sana. “Haha, bisaaa aja kamu. Ya udah, aku mau ambil baju kamu ya, aku pinjam dulu.”
“Iya, San. Aku doain wawancara kamu lancar."
"Ah, makasih, Kara."
Kara menutup ponselnya.
“Nggak suka laki-laki berkumis?”
Suara berat seorang pria mengejutkan Kara di belakang. dia menoleh, dan terkejut, seorang pria bertubuh tinggi tegap berdiri di belakangnya menatapnya garang dan bengis.
Kara berdiri dari duduknya, dan mundur ke belakang beberapa langkah, lalu pergi dengan cepat ke luar dapur, menuju kamarnya.
Bersambung