23. Proyek 8: Tebar Pesona

1412 Words
Sesi foto kali ini begitu ramai dan padat. Ada sekitar belasan gadis yang terlibat dalam pemotretan hari ini. Mereka semua adalah gadis-gadis dari Gladys Studio yang biasa dilibatkan menjadi penari atau pagar ayu dalam acara-acara pernikahan.  Mia bahkan dibuat kewalahan. Ia sampai harus membawa beberapa asisten tambahan untuk membantunya merias, padahal biasanya Chica saja cukup. Lio juga tidak jauh berbeda. Kru Klix yang dibawa hari ini hampir dua kali lipat jumlah biasanya. Namun, hal yang paling membuat pusing kepala Mia hari ini bukanlah banyaknya wajah yang harus didandani, melainkan berisiknya cicitan mulut mereka. Semua berlomba-lomba bicara, tersenyum genit, tertawa riuh, saling timpal-menimpali satu sama lain, hanya karena satu alasan. Kehadiran Lio di tengah-tengah mereka. "Mas, Mas, mau liat dong hasilnya!" "Widih! Keren gini!" "Cakep!" "Suka suka!" Beberapa gadis terlihat berkerumun di sekitar Lio, berlomba-lomba ingin melihat hasil jepretan pemuda itu. “Mas Lio belajar moto dari kapan sih?” tanya salah satu gadis yang tengah bergelayut manja di pundak Lio. “Seingat saya dari usia 14 atau 15," jawab Lio ramah. Sama sekali tidak terlihat terganggu dengan kerumunan gadis-gadis yang seolah begitu mengagumi sosoknya. “Wah, hebat ya! Pantes jago banget.” Tatapan penuh kekaguman memancar jelas dari mata para gadis itu. “Mas, katanya pernah belajar di luar negeri ya?” Lio mengangguk kecil. “Iya, sebentar.” “Asik enggak Mas di luar negeri?” “Asik atau enggak relatif ya," jawab Lio bijak. “Mas Lio pernah cobain jadi model enggak?” “Model apa?” Lio yang tengah menyiapkan set untuk sesi ketiga terlihat kebingungan dengan pertanyaan mereka.  “Model foto.” “Iya, Mas! Mas Lio kan ganteng banget. Kenapa enggak jadi foto model aja atau artis gitu?” Lio tersenyum geli kemudian menggeleng. “Saya kurang suka. Lebih senang di balik kamera seperti ini.” “Tapi pernah enggak jadi model?” Lio mengangguk kecil. “Pernah sih, karena terpaksa.” “Ih, pasti cakep banget hasilnya!” Sementara di sekeliling Lio begitu ramai, area-area lain tampak sepi. Semua perhatian tersedot hanya pada pemuda itu. Mia sejak tadi berusaha mengabaikan keributan itu. Berusaha tidak terganggu. Namun, ketika Chica dan Tita mulai kasak-kusuk di dekatnya, Mia jadi gerah. Kesabarannya terancam. “Mas Lio laris manis banget deh hari ini,” ujar Chica dengan nada sinis sambil menatap tidak suka pada kumpulan gadis remaja di sekeliling Lio. “Iya, ih!” timpal Tita geregetan. “Dari tadi enggak abis-abisnya ditempel sama anak-anak itu. Ada aja yang nyamperin dan ajak ngobrol.” Chica mengangguk gemas. “Enggak yang remaja karbitan, enggak yang udah pada gede, kegatelan semua liat Mas Lio.” “Tapi emang Mas Lio itu ganteng banget sih,” aku Tita jujur. Tiba-tiba Chica tersenyum geli. “Enggak ada calon pengantin yang jadi goyah gara-gara difoto sama orang seganteng Mas Lio aja udah bagus loh.” Tita langsung bergidik ngeri. “Kalo sampe ada sih parah namanya.” "Dari dulu enggak berubah," desis Mia sebal. Gerah telinganya mendengar kasak-kusuk di antara Chica dan Tita. "Apanya, Mbak?" tanya Chica waspada. "Kelakuannya." "Kelakuan Mas Lio?" tebak Tita. "Hm." Perlahan Chica mendekat, merapat semaksimal mungkin agar bisa bergosip dengan leluasa. "Maksudnya gimana, Mbak?" "Ya itu.” Mia mengedik sebal ke arah Lio. “Suka tebar pesona." "Bukannya Mas Lio biasa aja ya?” Dengan polosnya Chica membela Lio. Seolah lupa kalau bosnya ada dendam kesumat pada Lio. “Cewek-ceweknya yang nyamperin." "Sama ajalah!" Mia mendengkus sebal. "Mas Lio dari dulu suka jadi primadona gitu ya, Mbak?" tanya Tita penasaran. "Selalu.” Mia memutar bola matanya. “Di mana ada dia, pasti ada kerumunan cewek-cewek." Meski tidak bertanya apa-apa, mata Tita dan Chica jelas menampakkan keingintahuan yang besar. Berharap Mia akan bersedia memberikan bocoran pada mereka. "Waktu SMA, kalo pas ada event di sekolah, anak-anak cewek itu bisa lebih heboh ngeliatin dia yang lagi foto-foto dibanding orang yang lagi pada lomba." Chica manggut-manggut pelan sambil melirik takjub ke arah Lio. "Pas kuliah masih laris juga?" "Tambah laris malah," jawab Mia sebal. "Kayak ada perkumpulan pengagum dia pas kuliah. Ngeri isinya. Gahar-gahar." "Perkumpulan pengagum?” Tita mengernyit heran. “Fans club gitu maksud Mbak?" "Iya." "Kerjanya ngapain?" tanya Chica. "Memastikan kalo dia enggak pacaran sama cewek sembarangan. Membasmi cewek-cewek enggak layak yang coba deketin dia. Ngebully cewek-cewek yang suka sama dia tapi muka sama penampilannya enggak keren." "Ih, ngeri amat!" Refleks Tita bergidik. “Kok ada yang kayak gitu ya di dunia nyata? Kirain cuma di film-film doang loh.” "Emang ngeri, dan nyata. Tapi itu belum seberapa." "Mereka ngapain lagi?" tanya Chica semakin penasaran. "Tiap hari kerja mereka selalu ngintilin dia ke mana-mana. Dari mulai dateng, udah siap berbaris rapi di parkiran. Terus mengawal ke kelas. Mastiin dia duduk dikelilingi sama anak-anak kumpulan mereka. Pindah kelas dikawal. Ke kantin apalagi. Sepasukan ikut semua," ujar Mia mengenang masa-masa kuliahnya dulu. Tita meringis ngeri. "Mas Lio enggak risih digituin?" "Entah.” Mia mengangkat bahunya. “Keliatannya dia enjoy-enjoy aja." “Tapi kok anehnya mereka bisa tau kapan Mas Lio dateng, kapan Mas Lio ada kelas. Kok kalo dari cerita Mbak Mia, mereka kayak tau semua kegiatan Mas Lio,” gumam Tita bingung. “Ya mereka saling berbagi info soal kegiatan Lio di grup. Udah bener-bener kayak fanbase aja.” Chica sampai terpana mendengar cerita Mia dan tidak tahu mau berkomentar apa. "Mas Lio tau kalo pengagumnya pada ganas-ganas?" tanya Tita. "Kayaknya tau.” Meski tidak yakin, tetapi sepertinya begitulah dugaan Mia jika mengingat salah satu ucapan Lio dulu. “Makanya dia enggak mau pacaran karena takut cewek yang deket sama dia malah disiksa para fansnya." "Kenapa Mas Lio enggak marahin mereka dan larang mereka berbuat aneh-aneh ya?" tanya Chica gemas. Mia mengedik tidak peduli. "Enggak tau deh tuh." "Kayaknya Mas Lio punya bakat bikin cewek-cewek kegatelan jadi gahar deh," ujar Tita sambil mengamati tingkah para gadis yang semakin menjadi saja. Suara mereka semakin heboh. Pertanyaan mereka semakin agresif. Dan mereka tidak segan-segan lagi untuk bergelayut manja di lengan Lio. Mia dan Chica sontak ikut melihat ke arah pandang Tita. Tita menggeleng tidak percaya. "Coba tuh dengerin pertanyaan-pertanyaan mereka. Makin agresif aja." “Mas Lio udah punya pacar?” tanya salah satu gadis yang dengan beraninya tengah memegangi tangan Lio. “Belum.” Lio menjawab tenang. “Wah, lagi kosong!” Terdengar seruan senang dari beberapa gadis itu. “Mau daftar boleh, Mas?” Lio tersenyum sabar. “Daftar apa?” “Daftar jadi pacarnya Mas Lio.” “Kalian ada-ada aja.” Lio menggeleng geli. “Apa enggak terlalu tua saya ini buat kalian?” “Makin tua makin menggoda tau. Lagian Mas Lio itu bukan tua, tapi dewasa.” “Menantang buat digoda.” Mendengar ucapan dua gadis terakhir yang terdengar nakal dan centil parah, sontak Mia mendelik jengkel. Ada dorongan dalam dirinya yang menggoda Mia untuk menghampiri kedua gadis itu, menjambak rambut mereka, kemudian membenturkan keduanya. Namun, itu hanya dalam bayangan Mia saja. “Pasti kalo jadi pacarnya Mas Lio enak banget. Difoto-fotoin terus dan hasilnya cantik-cantik.” “Bangga juga, bisa dipamerin. Pacarnya ganteng abis.” “Mas, Mas. Mas Lio ada turunan bule ya?” “Memang kenapa?” tanya Lio. “Mukanya kayak blasteran.” “Bener ya, Mas?” “Iya.” Lio mengangguk kecil. “Ada sedikit.”  “Keturunan mana Mas?” “Jerman.” Dan dengan lancangnya salah satu gadis itu menjawil pipi Lio. “Ih, gemes! Enggak salah dibilang ganteng banget kan.” “Mas, udah pernah pacaran belum sih?” “Belum.” “Masa?!" "Bohong!" "Enggak percaya!" "Enggak mungkin banget cowok seganteng Mas Lio belum pernah pacaran." Teriakan-teriakan bernada tidak percaya, tetapi penuh harap-harap senang terdengar saling sahut. "Saya serius," ujar Lio sungguh-sungguh. "Tapi deket pernah?" Jawaban Lio membuat telinga Mia seketika bertambah awas. Belum pernah pacaran katanya? Jujurkan pemuda ini? "Pernah. Sekarang juga sedang dekat." Kini, telinga Mia semakin ditajamkan. Jantungnya juga berdegup tidak karuan demi menantikan jawaban Lio. "Sama siapa, Mas?" Lio menggeleng kemudian menjawab diplomatis. "Saya kasih tahu juga kalian kan tidak kenal." "Cantik enggak orangnya?" Sebelum menjawab, Lio terlihat celingukan beberapa saat, kemudian tatapannya berhenti di Mia. Perlahan Lio mengangguk sambil tersenyum samar. "Sangat cantik." Seketika jantung Mia menggila. Tatapan Lio seolah terkunci padanya. Senyum Lio seperti untuknya. Dan kata cantik itu seolah ditujukan untuknya. "Hebat?" "Tentu." Lio mengangguk bangga. "Keren?" "Jelas." Kembali Lio mengangguk. "Ih, siapa sih? Jadi penasaran." Pandangan Lio yang sempat teralih ke arah lain, kini kembali ke arah Mia. "Yang pasti dia itu seseorang yang sejak lama punya tempat istimewa di hati saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD