bc

Second Marriage

book_age18+
62
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
HE
fated
independent
heir/heiress
bxg
scary
city
harem
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

"Apa yang kamu inginkan!!" kata seorang wanita cantik yang memiliki tubuh proposional. "Seorang anak!! Aku inginkan anak darimu, dari pernikahan kita!!" Wanita itu menggeleng. "Marco ada banyak cara untuk mendapatkan anak, tanpa harus aku hamil!! Sungguh, kita sudah membahas ini cukup lama dan kamu setuju dengan apa yang kita sepakati dulu." Marco Fanderick pun menggeleng kecil. Memang, dia mengakui ada banyak cara untuk mendapatkan anak tanpa harus membuat Tamara Queensha Aldebaran hamil. Tapi apa salah seorang suami seperti Marco menuntun sang istri untuk hamil? ***

chap-preview
Free preview
Ep-01
Pamela Fanderick menatap sebuah rumah kecil di depannya dengan hati cemas. Pasalnya, pembantu rumahnya meminta Pamela untuk datang ke alamat yang pembantu itu berikan. Banyak sekali pikiran negatif yang menyerang pikiran Pamela. Ia berpikir jika pembantu itu berbohong dan ingin menculiknya, memanfaatkan putranya yang kaya hanya karena sebuah uang. Celingukan melihat sekeliling Pamela pun memutuskan untuk kembali. Ia takut jika pembantu itu berbohong padanya, atau mungkin pembantu itu tengah memberikan alasan palsu padanya. "Ibu Pamela … " panggilan itu membuat Pamela menoleh. Ia menatap pembantu yang memberikan alamat pada Pamela tersenyum sumringah. Bahkan pembantu itu juga langsung menghampiri Pamela. "Saya pikir Ibu gak datang." ujarnya. Pamela menghela nafasnya. "Saya pasti datang, asal kamu tidak berbohong pada saya, Bibi." Pembantu itu tersenyum malu. "Sudah berapa lama saya bekerja dengan Ibu, masa iya saya tega untuk berbohong pada Ibu." Semua bisa berubah karena uang, apapun akan banyak orang lakukan untuk mendapatkan uang. Termasuk menculik Pamela yang tahu dia bukanlah orang tua sembarangan. Pembantu itu meminta Pamela untuk masuk ke rumah ya yang kecil. Dia juga sudah menyiapkan cemilan dan juga teh hangat untuk Pamela. Bahkan di ruang tamu yang ukurannya tidak seberapa ini, Pamela bisa melihat satu gadis cantik tengah menundukkan kepalanya ketika Pamela melihatnya. Rumah ini bisa dikatakan jauh dari kota, tidak bisa dikatakan ini termasuk desa. Karena masih dekat dengan beberapa pusat perbelanjaan yang ada. "Ibu … saya mau ngenalin seseorang sama Ibu." kata pembantu itu. Pamela mengangguk, ia melirik gadis itu dengan pelan. "Siapa?" Pembantu itu menepuk bahu gadis di sampingnya dengan pelan. "Namanya Aleyah Lavelle." Pembantu itu menjelaskan jika Aleyah tinggal bersama dengan ibunya yang sudah tua. Aleyah sebagai tulang punggung, ayahnya meninggal, dan kakaknya harus masuk penjara akibat membunuh orang. Ia bekerja di salah satu salon di dekat rumahnya. Gajinya memang tidak seberapa, tapi tidak membuat Aleyah menyerah. Meskipun latar belakangnya buruk, pembantu itu yakin jika Aleyah adalah gadis yang baik dan penurut. Pamela langsung mengerutkan keningnya bingung. Dia menarik tangan pembantu itu untuk menjauh dari Aleyah. "Ini maksudnya apa? Kamu ngenalin saya ke dia untuk apa?" Buru-buru pembantu itu meminta maaf atas sikapnya yang lancang. Ia tidak sengaja mendengar ucapan Pamela dan juga Dion Fenderick sang suami tentang cucu. Mereka berdua menginginkan cucu dari anak semata wayangnya Marco Fenderick. Sedangkan pernikahan Marco dan juga istrinya Tamara Queensha Aldebaran sampai sekarang tidak memiliki anak. Lebih tepatnya Tamara tidak ingin hamil, dia tidak ingin bentuk tubuhnya membesar, kulitnya kendor, dan juga memiliki payudara yang tidak kencang lagi. Itu sebabnya Tamara selalu berpikir jika memiliki anak tidak harus hamil. Pamela melihat pelipisnya pusing, dia memang menginginkan cucu. Bukan berarti harus mengorbankan orang lain kan? Bahkan Pamela sudah berpikir jika dia akan mengadopsi salah satu bayi diganti asuhan yang baru lahir. Atau mungkin mencari anak yang sesuai kriteria keluarga untuk dijadikan ahli waris mereka. Dan sekarang dia harus dipusingkan dengan pembantunya karena gadis yang Pamela sendiri tidak kenal. "Bu, Aleyah ini gadis baik loh. Kalau gak baik saya juga gak mau ngenalin Aleyah sama Ibu." kata pembantu itu meyakinkan. "Bi, tapi saya gak bisa mengambil keputusan ini sendiri. Saya harus tanya dulu sama suami dan juga anak saya." Kalau masalah itu Pamela tidak perlu khawatir. Dia akan menunggu, atau mungkin merahasiakan identitas Marco yang sebenarnya. Setidaknya sampai bayi yang diinginkan lahir dan semuanya selesai. Lagian, jika Pamela mau dia bisa membayar Pamela untuk satu bayi. Kehidupan Aleyah bukanlah kehidupan orang kaya, dia rumah saja masih ngontrak dan yang jelas Aleyah membutuhkan banyak uang untuk hidup. Ditambah ibu Aleyah juga memiliki penyakit asma. Yang kapan saja bisa kambuh jika penyakit itu ingin, gaji pegawai salon juga tidak banyak meskipun ramai setiap hari. Pamela semakin pusing, dia kembali ke ruang tamu dan duduk di hadapan gadis itu. Pembantu itu juga langsung menarik dagu Aleyah untuk menunjukkan wajah gadis itu yang terlihat cantik dan lugu. "Leya ini Ibu Pamela, majikan Bibi." ucap pembantu itu mengenalkan diri. Aleyah tersenyum, dia langsung menjalani Pamela dengan sopan sambil mengenalkan diri. "Saya Aleyah Lavelle, Ibu." ucapnya. Dari suaranya saja, Pamela memiliki nilai jika gadis itu benar-benar baik. "Saya Pamela," tersenyum kecil sambil melirik pembantunya. Pamela pun mendengus panjang. "Kamu kerja dimana, Aleyah?" Gadis itu menjelaskan jika dia bekerja di salon pinggiran kota. Tempatnya tidak jauh dari tempat tinggalnya kali ini, meskipun jauh dari kota besar, tapi salon tempat dia bekerja cukup ramai. Gajinya memang tidak banyak, hanya saja cukup untuk makan dan juga tabungan. Pamela mengangguk kecil, dirinya semakin goyah. Sekarang dia malah memiliki pemikiran jika dia ingin menikahkan Marco dengan gadis ini hanya untuk anak. Tapi apakah Pamela berdosa dalam hal ini? Menggeleng kecil, Pamela meminta izin untuk pulang lebih dulu. Suaminya sudah menelpon, apalagi Pamela tidak bilang apapun ketika dia ingin pergi. Pamela juga meminta pembantu rumahnya untuk cepat kembali. Dia tidak ingin menambah masalah ketika dirumah tidak ada siapapun. "Saya akan berkunjung kembali jika saya ingin bertemu dengan kamu, Aleyah." kata Pamela. Gadis itu tersenyum kecil. "Iya. Terimakasih." Harusnya yang mengucap terimakasih adalah Pamela, tapi kenapa gadis itu? "Baiklah. Saya harus pergi, terimakasih untuk waktunya." pamit Pamela dan berlalu. *** Setelah bertemu dengan Pamela, Aleyah pun memutuskan untuk pulang. Martabak yang ia bawa bahkan sampai dingin, ia pulang kerja jam empat sore karena hari ini salon tutup lebih awal karena pemiliknya ada jadwal keluar kota. Sehingga tutup lebih awal, dan menitipkan kunci ke Aleyah untuk besok. Belum lagi bibi Parmi yang meminta Aleyah untuk datang ke rumahnya. Aleyah pikir ia akan mendapatkan pekerjaan yang menguntungkan. Atau bisa dibilang bekerja menjadi pembantu pun jika gajinya besar juga tidak masalah untuk Aleyah. Asal biaya obat, makan, dan juga kontrakan terpenuhi. Di rumah ini yang bekerja hanya satu orang, kadang Aleyah harus meninggalkan banyak hutang hanya untuk makan. Melepas jaket rajut yang dia pakai, Aleyah pun mendesah. Ia tidak tahu untuk apa bibi Parmi memanggilnya tadi, tapi ia berharap jika ibu tadi datang membawa kabar gembira untuk Aleyah. Marni yang keluar dari kamar pun terkejut, melihat Aleyah yang sudah pulang dan tidak memanggil namanya. Biasanya Aleyah akan memanggil ibunya dan memberitahu ibunya jika putri kesayangannya telah pulang. Tapi sekarang … Minimal saja Aleyah sedang lelah. Pikir Marni. "Kamu sudah pulang, Nduk." kata Marni. Aleyah yang awalnya menutup matanya pun langsung membuka lebar. Dia pun menatap Marni yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. "Aku pikir Ibu tidur tadi." Marni menggeleng. "Mau magrib, mana mungkin Ibu tidur," Marni menatap kotak putih di depannya dengan heran. "Ini apa? Kamu tumben banget jam segini udah pulang? Biasanya pulang malem." ujarnya. Memang, jam kerja Aleyah itu sampai jam enam sore jika hari biasa. Dan memiliki hari libur setiap hari selasa, selebihnya buka dari jam delapan pagi hingga jam enam sore. Pemilik salon selalu meminta ontime, bahkan ada juga pegawai salon yang memilih tinggal disana. Lebih tepatnya, salon itu menyediakan banyak kamar jika ada karyawannya yang tidak ingin pulang. Karena jarak rumah mereka yang jauh, males bolak balik, belum lagi kendala ketika mereka pergi ke tempat kerja. Berhubung rumah dan juga tempat kerja Aleyah itu dekat, dia lebih memilih pulang pergi. Belum lagi ibunya yang di rumah juga seorang diri membuat Aleyah tidak tega. "Mbak Sinta tadi ada acara sama mas Agung, Bu. Makanya pulang cepet, ini aja Mbak Sinta nitip kunci salon ke aku karena besok dia gak pulang." jelas Aleyah. "Oalah, ada apa to? Ada acara apa kok sore banget berangkatnya." Adiknya akan menikah tiga hari lagi. Dan yang jelas Aleyah memiliki kewajiban dan juga tanggung jawab besar untuk salon tempatnya bekerja. Kunci ini bukan semata untuk bergaya atau berkuasa. Dia memiliki tanggung jawab atas pembukuan harian, barang dan juga uang. Jika saja Aleyah salah sedikit saja, sudah dipastikan kalau dia akan kena marah bosnya. "Hati-hati ya, Nduk. Bawa kunci itu gak gampang, apalagi itu kunci punya orang." "Padahal, Leyah udah bilang kalau Leyah gak mau. Tapi mbak Sinta maksa terus Bu." "Berarti mbak Sinta percaya sama kamu. Kamu harus menjaga kunci itu dengan baik, Ibu gak mau terjadi sesuatu sama kamu." Aleyah mengangguk kecil, dia meminta Marni untuk menikmati martabaknya dengan pelan. Aleyah juga meminta maaf pada Marni karena martabak ini sudah dingin. Jika saja bibi Parmi tidak memanggilnya, sudah dipastikan ibunya bisa menikmati martabak itu dengan hangat. Do campur nasi hangat yang masih mengepul, plus saos pedas dan juga acar. "Gak papa, Nduk. Itu bibimu kenapa manggil?" Marni mulai curiga. Pasalnya bibinya itu selalu saja mencarikan calon suami untuk Aleyah. Apalagi calon suaminya selalu ora genah menurut Marni. Bagaimana ora genah jika, bibinya itu mencarikan calon suami Aleyah tukang ojek, penjual nasi goreng. Sebenarnya Marni tidak memiliki kriteria calon mantu untuk dirinya. Yang penting dia mau menerima Aleyah dan juga menjaganya sudah lebih dari cukup. Bahkan jika Aleyah sudah bahagia bersama dengan suaminya, meskipun Marni meninggal pun tidak akan masalah, yang penting putrinya bahagia. Tapi masalahnya tukang ojek itu bersikap kasar, dia pernah melihat Aleyah di bentak dan nyaris dipukul. Tentu saja Marni tidak ingin anaknya disakiti. Dia menjaganya selama ini, merawatnya dengan baik. Lalu ada satu pria datang untuk menyakiti fisik dan batinnya? Bertaruh nyawa pun Marni mau demi Aleyah. Sedangkan tukang nasi goreng itu malah mengerikan. Setiap dia mau jualan, dia selalu menggunakan obat-obat terlarang, mabuk dan juga masih banyak lagi. Mau jadi apa kalau Aleyah menikah dengan orang seperti itu? Bukannya berubah menjadi baik, Marni takut jika Aleyah akan mengikuti jejak suami yang tidak sejalan dengannya. Dia hanya memikirkan masa depan anaknya saja tidak lebih. "Gak tau deh, Bu. Bibi suka gak jelas, mending kita makan martabak aja Bu keburu dingin banget jadi gak enak." ucap Aleyah dan membuat Marni mengangguk kecil. *** Selesai makan, Pamela langsung menemui Dion di ruang TV. Wanita itu menatap sekeliling tempat ini, memastikan jika tidak ada orang lain selain mereka berdua. Termasuk Marco. "Pi … Mami pengen ngomong sesuai sama Papi." ucap Pamela. Dion yang tertarik dengan ucapan Pamela pun mengajak wanita itu untuk pergi ke kamar. Perbincangan ini sangat sensitif, jika ada yang mendengarnya akan menjadi salah paham. Apalagi raut wajah Pamela yang terlihat jelas semuanya. "Mau bicara apa?" tanya Dion, sesampainya di kamar. Pamela menjelaskan jika siang tadi, Pamela bertemu ke rumah bibi. Disana bibi mempertemukan Pamela dengan salah satu gadis yang sangat cantik. Bibi menjelaskan pada Pamela tentang pernikahan kedua demi mendapatkan anak. Lagian, selama ini Tamara menantunya tidak ingin hamil. Tidak ingin melahirkan, dan meminta Marco untuk mengadopsi anak demi keturunan mereka. Dan Pamela yang tidak mempermasalahkan hal itu akhirnya menyetujui apa yang Tamara inginkan. Tapi, setelah bertemu dengan bini dan gadis tadi membuat Pamela berpikir dua kali. Dia berpikir jika dia akan menikahkan gadis itu dengan Marco demi sebuah anak. Pamela pikir … "Kamu ingin Marco menikah kembali, apa kamu sudah gila Pamela!!" desis Dion yang tidak setuju dengan ucapan Pamela. "Pamela mungkin niat kamu baik, tapi ini pernikahan bukan untuk sebuah permainan. Aku tidak setuju dengan ide gila kamu!!" "Dion ini demi pewaris kita. Sekarang pikirkan, kita mengadopsi anak dari panti asuhan. Iya kalau anak itu baik, iya kalau anak itu memiliki keturunan yang baik juga? Bagaimana jika anak itu buruk? Atau mungkin bagaimana jika dia dewasa nanti mereka akan menyakiti kita dan mengundang keluarganya yang buruk ke rumah kita? Bukankah kita harus memikirkan hal kedepannya?" Pamela menatap Dion yang diam saja di sampingnya. Sebisa mungkin Pamela harus membuat Dion yakin dan setuju dengan apa yang Pamela inginkan. "Papi … cucu adalah keinginan kita selama ini. Kita menginginkan darah daging dari Marco bukan dari orang lain. Jika yang masuk keluarga kita adalah anak yang tidak memiliki sifat baik, lalu bagaimana dengan kita?" ujarnya. "Kita akan mengajarinya." Sifat itu bawaan dari lahir. Mau berusaha sekeras apapun tidak akan merubah takdir. Jika Dion mau, dia harus setuju dengan apa yang Pamela inginkan. Jika tidak, jangan harap Pamela mau makan atau apapun di rumah ini. Bahkan Pamela tidak akan keluar kamar, hanya sekedar melakukan apapun yang biasanya dia inginkan. "Pamela jangan keras kepala!!" kata Dion memastikan. "Aku tidak peduli. Aku akan melakukan apapun yang aku inginkan untuk mendapatkan cucu. Darah daging Marco bukan orang lain!!" Dion mendesah, dia pun memutuskan membaringkan badannya untuk tidur. Lebih baik dia istirahat dibanding harus berhadapan dengan Pamela yang masih saja keras kepala dengan apa yang dia inginkan. Ini hanya karena anak, sedangkan menurut Dion ada banyak sekali anak yang bisa dia ambil dan dia besarnya dengan kasih sayang yang sama. Bahkan menurut Dion, anak panti adalah anak yang paling beruntung jika bisa hidup dengan mereka. "Tetap saja bukan darah daging Marco. Aku ingin anak itu darah daging Marco sendiri. Jika tidak, aku tidak ingin makan apapun!!" ancam Pamela hingga membuat Dion pasrah. To be continued

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.3K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
3.8K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.3K
bc

CINTA ARJUNA

read
13.2K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.5K
bc

Ayah Sahabatku

read
24.2K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
22.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook