Eps. 8 Berbagi Beban

1416 Words
Berlian baru pulang kerja di sore hari, memperlihatkan wajah lelahnya. Dia membuka pintu rumah barunya dan masuk ke dalam, merasa sedikit lega bisa beristirahat. Namun, rasa lelahnya tidak hanya karena pekerjaan, tapi juga karena jarak rumah barunya yang semakin jauh dari tempat kerja. Berlian meletakkan tasnya di sofa dan berjalan ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Saat menunggu tehnya siap, dia duduk di sofa dan memejamkan mata, merasa pikirannya masih dipenuhi dengan masalah yang belum selesai. Masalah keuangan, masalah pekerjaan, dan masalah pribadi yang masih menghantuinya. Berlian menghela napas dan membuka mata, berharap bisa menemukan solusi untuk semua masalahnya. Untuk sesaat rasanya dia merasakan ruangan di rumah ini menjadi sempit dan menghimpit dirinya yang membuatnya mbutuhkan ruangan terbuka dan luas untuk melepas beban masalahnya. “Apa aku sebaiknya bawa teh ini ke depan saja dan minum di sana? Sepertinya udara segar di sekitar sini cukup membantu,” gumamnya mendadak terpikirkan sebuah ide. Berlian membawa teh hangat ke teras dan duduk di sana, menikmati udara segar yang menyegarkan. Terasnya dihiasi dengan tanaman hijau yang rimbun dan bunga-bunga yang cantik, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Suara burung yang berkicau dan angin yang lembut membuat Berlian merasa rileks. Dia duduk di kursi santai, menikmati teh hangatnya sambil menatap keindahan alam sekitar. Teras ini menjadi tempat favorit Berlian untuk melepaskan stres dan menikmati waktu santai. Dengan teh hangat di tangannya, Berlian merasa nyaman dan damai. Tiba-tiba, sebuah suara menyapa Berlian dari arah jalan. “Halo, selamat sore!” sapa suara itu. Berlian menoleh ke arah suara dan melihat Mahesa, tetangga barunya, berdiri di teras dengan sepatu boot basah menutupi kakinya, menghadap ke teras Berlian. Mahesa tersenyum dan mengangkat tangan sebagai sapaan. Berlian membalas sapaannya dengan senyum dan mengundang Mahesa untuk duduk bersama di teras, namukln ditolak. Berlian kemudian bertanya, “Baru selesai bekerja, Mahesa?” Mahesa tersenyum dan mengangguk. “Ya, aku baru saja selesai memanen kubis di kebun,” balasnya sambil menunjukkan sekeranjang kubis yang terlihat segar dan hijau. Berlian terkesan dengan hasil kerja Mahesa. “Wah, kubisnya terlihat sangat segar! Kamu pasti punya keahlian dalam berkebun,” balasnya kagum. Mahesa tersenyum bangga. “Aku memang suka berkebun dan memelihara tanaman. Ini adalah salah satu sumber penghasilan aku.” Mahesa kembali menunjukkan kubisnya dengan bangga. Berlian mengangguk dan merasa tertarik dengan hobi Mahesa yang sebenarnya bertolak belakang dengan pekerjaan asli pria itu sebagai seorang polisi dan juga membuatnya penasaran bagaimana pria itu mempunyai keahlian berkebun seperti ini? “Aku ingin belajar tentang berkebun suatu hari nanti,” ujar Berlian dengan antusias. Mahesa kemudian menawarkan, “Aku bisa memberikan beberapa kubis ini untuk kamu, Berlian. Mungkin bisa digunakan sebagai bahan masak di rumah.” Berlian tersenyum tipis menerima kubis itu. Sayuran itu bisa dimasak oleh Hayu nantinya. “Terima kasih, Mahesa. Ibuku pasti akan senang nanti menerimanya.” Mahesa menambahkan, “Selain itu, aku juga bisa mengajari kamu cara berkebun di waktu senggang. Mungkin kamu bisa menanam kubis sendiri di rumah.” Berlian merasa senang dengan tawaran Mahesa dan mengangguk setuju. “Aku akan senang belajar dari kamu, Mahesa.” Melihat reaksi positif berlian, Mahesa kemudian menceritakan, “Sebenarnya, di rumah aku ada banyak hasil panen, bukan hanya kubis saja. Aku juga menanam sayuran lain seperti wortel, buncis, dan kacang panjang.” Berlian tertarik dengan variasi sayuran yang ditanam Mahesa. “Wah, itu sangat menarik! Kamu memang sesuatu! Kamu tahu aku suka kacang panjang, rasanya sangat lezat,” balas Berlian dengan antusias. Mahesa merasa perkataan Berlian barusan mengandung banyak arti yang membuatnya tertarik. Dia ingin meneliti lebih dalam makna dari perkataan tersebut, apakah memang wanita itu mengetahui sesuatu tentang dirinya? 'Salahkah bila aku merasa Berlian tahu sesuatu tentang diriku?' Mahesa merasa penasaran sekali dan dia memikirkan cara untuk mengorek informasi itu. Salah satu cara yang dia pikirkan adalah dengan mengundang Berlian masuk ke rumahnya untuk mengambil hasil panen lain. 'Bagaimana kalau aku mengundang dia untuk mengambil beberapa hasil panen lain di rumah?' pikir Mahesa. Dengan cara ini, dia bisa lebih dekat dengan Berlian dan mungkin bisa mengetahui apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan. Mahesa mengikis jarak dan mengundang Berlian untuk masuk ke rumahnya. “Berlian, hasil panen itu masih segar. Bagaimana kalau aku tunjukkan pada kamu? Mungkin kamu ingin mengambilnya juga?” tawar Mahesa dengan ramah. Berlian mengangguk dan menerima undangan Mahesa. "Ya, kacang panjang memang salah satu favorit aku juga. Aku punya beberapa resep masakan yang menggunakan kacang panjang sebagai bahan utama. Nggak apa bila aku juga mengambil sayuran itu dari rumah kamu?” balas Berlian untuk meyakinkan dirinya sekali lagi. “Ya, tentu. Bila kamu mau mampir ke rumah kecilku, aku malah merasa senang.” Mahesa menampilkan wajah biasa tanpa rasa penasaran yang disembunyikan dibalik senyum ramahnya. Berlian kemudian keluar dari rumah dan mengikuti Mahesa masuk ke rumah pria itu. Mereka berjalan melewati teras dan masuk ke dalam rumah yang terlihat rapi dan nyaman. Mahesa membawa Berlian ke bagian belakang rumah, di mana terdapat sebuah kebun kecil yang penuh dengan sayuran segar. “Di sini, Berlian. Aku punya beberapa kacang panjang segar,” ucapnya sambil menunjuk ke arah tanaman kacang panjang. Berlian mengangguk, kemudian mengambil beberapa kacang panjang yang sudah dipanen oleh Mahesa. “Tidakkah aku terlihat seperti habis merampok seseorang dengan membawa banyak sayuran seperti ini?” celotehnya. Berlian sudah mengambil sedikit kacang panjang namun Mahesa menambahkan lagi dengan sayuran lainnya sampai memenuhi keranjang sayur yang dibawa Berlian. Mereka berdua kemudian terlibat percakapan santai sambil duduk di kursi panjang dari kayu yang ada di sana. Mahesa membaca situasi dan mencoba bertanya pada Berlian, “Berlian, bolehkah aku tanya sedikit padamu? Siapa aku di masa lalu?” Berlian terkejut dengan pertanyaan Mahesa, ada rasa tidak nyaman yang mendadak menelisik masuk, tapi dia tidak menunjukkan rasa tidak nyaman itu. “Aku ... aku nggak yakin kamu akan siap mendengar masa lalu kamu dari aku.” Berlian berkata dengan nada santai. Mahesa mengangguk juga syok mendengar jawaban itu. Ada sesuatu dalam perkataan itu yang membuatnya semakin penasaran dengan masa lalunya. Setidaknya dia tahu seperti apa masa lalunya apakah dia hidup dalam masa lalu yang kelam atau bagaimana? Hanya membayangkan saja dirinya sudah dilingkupi perasaan takut yang kini mendekapnya erat. “Apa kamu bisa memberitahuku identitasku di masa lalu mungkin dimulai dari pekerjaanku. Apa kamu tahu profesiku apa?” Berlian terdiam sejenak mengamati wajah polos Mahesa. Haruskah dia menceritakan hal itu padanya bila pria itu sebenarnya adalah buronan? Buronan di instansinya sendiri, juga merupakan target utamanya. Melihat wajah Mahesa yang berbeda kali ini dengan Mahesa yang dulu membuatnya berpikir ulang untuk memberitahukan hal itu padanya secara jujur, bisakah pria itu menerima kenyataan pahit? Rasanya tidak! Tidak sampai dia berhasil mendapatkan informasi dari pria itu terlebih dulu mengenai penipuan itu! Mungkin juga sekarang adalah saat yang tepat baginya untuk mengorek informasi dari Mahesa meskipun pria itu saat ini sedang amnesia. “Kamu ... aku pernah melihatmu di acara pemakaman ayahku. Aku belum lama mengenalmu. Mungkin bila ayahku masih hidup dia pasti tahu siapa kamu yang sebenarnya,” balas Berlian hanya menjelaskan sepotong dan ingin melihat reaksi Mahesa. “Pemakaman? Ayah mu meninggal dan aku ada di acara pemakamannya?” pekik Mahesa terkejut dan tidak tahu kenapa dirinya ada di sana. “Bisakah kamu jelaskan lebih detail lagi padaku apa saja yang terkait dengan hal itu mungkin aku akan menemukan sebuah petunjuk dalam ingatanku.” Berlian menggelengkan kepala.“Maaf, aku nggak tahu harus cerita apa lagi padamu di tengah suasana berduka seperti ini. Ayahku pergi meninggalkan luka dan juga misteri yang harus aku pecahkan sendiri.” Wajah Berlian yang tadinya terlihat biasa sekarang tertekuk dalam kesedihan. Mahesa ingin bertanya lebih lanjut dan menggali lebih dalam informasi itu, namun ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi. Rasanya dia tidak tega melihat Berlian kembali merasakan kesedihan yang terpendam itu karena dirinya. 'Mungkin di lain waktu aku bisa bertanya lagi padanya, tapi tidak kali ini. Aku harus sabar dan telaten menunggu dia memberikan jawaban yang jelas mengenai identitasku.' “Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung masa lalu hingga membuat kamu larut dalam kesedihan lagi,” ucap Mahesa menyesal karena telah menyinggung Berlian. “Oh, nggak apa-apa.” Berlian tersenyum getir di depan Mahesa. Pertanyaan singkat tadi membuka lagi luka baru Berlian yang masih basah dan masih menganga lebar. Padahal luka itu baru saja menghilang sejenak dari hidupnya. Namun kini kembali datang mengiris hatinya dan mencabiknya dengan kejam. Kenapa disadari, Berlian yang tertunduk kini matanya basah monyet kembali masalah yang sangat berat dan masih menghantuinya ini. Terdengar suara isak tangis lembut setelahnya. Mahesa sempat bingung mendengar suara isak tangis tersebut. “Berlian, ada apa denganmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD