LAST

1798 Words
Hari ini aku sudah mengajak Denis untuk berkencan. Ini adalah kencan pertama dan terakhir kami. Cowok itu menjemputku di rumah, dia sempat heran karena ayahku nggak ada. Aku memang menyuruh ayah pergi. Kalaupun hari ini aku mati, aku sudah menyiapkan surat wasiat dalam bentuk email yang akan terkirim besok. Jika aku hidup, email itu akan aku batalkan pengirimannya. "Ayahmu kemana, Nisa?" tanyanya penasaran. "Ayah ke Jember, jenguk nenek yang sedang sakit!" jawabku sambil mencoba tersenyum agar Denis tidak curiga. "Oh, jadi kita mau kemana?" tanyanya lagi. "Kemana aja nggak masalah," jawabku. Denis hanya menganggukkan kepalanya lalu mulai membawaku keliling-keliling kota. Kali ini cowok itu membawa mobil. Karena ini hari minggu, kami mulai jalan-jalan sejak jam delapan pagi. Denis mengajakku pergi ke taman bermain, kami memainkan banyak wahana. Kami juga berenang dan main seluncuran. Kami juga makan siang bersama dan tertawa bersama. Aku sempat ketiduran karena kelelahan dan si Denis tidak menunjukkan tanda-tanda akan memulai aksinya padaku. Seandainya bisa, aku ingin melanjutkan ini dan berpura-pura tidak tahu dengan tujuannya, namun semua kisah harus memiliki akhir. Aku rasa inilah waktunya untuk mengakhiri semua sandiwara konyol antara predator dan mangsanya. Denis memarkirkan mobilnya di halaman dan kami berdua masuk ke dalam rumahnya. Dia kembali menanyakan, apakah aku ingin duduk di ruang tamu atau di kamarnya. Kali ini aku memberi jawaban yang berbeda dengan kemarin. "Mau duduk di sini atau di kamar?" tanyanya menawarkan. "Di kamarmu saja. Aku ingin kita berdua saja hari ini." Denis menatapku heran, tetapi tidak mengajukan pertanyaan apapun. Ia hanya mengangguk, mengiyakan permintaanku. Denis menggandeng tanganku saat kami mulai berjalan menuju kamarnya. Kami tiba di kamarnya dan aku pun mulai mengunci pintu. Denis menatapku dengan ekspresi yang membingungkan, antara heran dan juga senang. "Ada apa Nisa?" tanyanya dengan senyum palsunya. "Denis, mau aku beri satu rahasia?" Denis mengernyitkan kening. "Rahasia apa?" "I am watcher." Denis tertawa ngakak. "Apa itu? Jangan bercanda!" Aku hanya menatapnya dengan serius membuat Denis menghentikan tawanya. "Keahlian apa itu?" "I can see the death and future from other people." "Penglihatanku nggak pernah meleset sebelumnya, namun sejak kamu muncul semua penglihatanku menyimpang. Itu semua bukan karena kemampuanku yang memudar tapi karena aku bertemu pembunuhnya." Denis menatapku bingung, wajah tanpa dosanya membuatku merasa jijik. "Jadi penglihatan kau menikahiku itu juga benar?" Aku mual mendengar pernyataannya. "Itu penglihatan masa depan tapi aku rasa itu tidak akan pernah terwujud, Denis." "Kenapa?" tanya Denis penasaran. Ekspresi wajahnya berubah, sepertinya ia mulai serius. "Karena kita akan saling membunuh hari ini!" Aku mengeluarkan pisau yang aku sembunyikan di balik jaketku. Denis terkekeh ia mulai berjalan menuju dinding kamarnya, ia menekan tombol. Tanpa aku duga dinding itu terbuka. Aku membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di balik dinding itu berbagai macam jenis pisau segala ukuran terpampang di kedua mataku. Aku menelan ludah ketika Denis menyeringai menatapku. "Jadi, kamu mau mati dengan yang mana?" tanyanya sambil terkekeh. Aku rasa dia sudah merasa menang. "Aku tidak akan mati. Kamu yang akan mati!" Denis tertawa terbahak, ia mulai mengambil sebilah pisau yang kecil, ia menggoreskannya ke tangannya. Tangannya berdarah dan ia menjilatinya seolah itu adalah kream. Dia menatapku dengan senyuman dan berkata : "Kau akan selalu aku cintai." "Aku akan selalu mencintaimu, Nisa." Denis menyeringai dan mulai melangkah menuju ke arahku. Aku memperkuat genggaman tanganku pada pisau yang aku pegang, keringat telah membasahi punggungku. Entah kenapa aku merasa tanganku gemetar. Aku menelan ludah dan mulai berpikir kalau ini adalah hal yang harus aku lakukan untuk mempertahankan diri. Denis mengarahkan pisaunya ke jantungku, aku menghindar dan menepis pisaunya yang sedikit melukai lengan kiriku. Darah menetes pelan dari lenganku yang terluka. "Eh? Kamu bisa menghindar rupanya!" ejeknya. Denis tertawa lalu mulai menjilati darahku yang tercecer dari pisau miliknya. Aku merasakan sedikit rasa sakit dari lenganku yang terluka. Perih tetapi hatiku lebih sakit. Aku benar-benar jijik pada diriku karena telah mencintai seorang monster seperti Denis. Denis kembali menyerangku walau aku kembali bisa menghindari serangan darinya. Aku sudah melatih diri dengan Ferdi sebelumnya, jadi aku sedikit tahu titik-titik vital yang kemungkinan akan Denis serang. "Nisa, jika kamu menghindar terus. Kau tidak akan bisa menang!" Denis menatapku dengan tatapan mata bosan. Dia mulai jengah dengan pertarungan kami yang membosankan. Aku melebarkan kakiku dan mulai menarik napas, bersiap untuk menyerangnya. Aku maju, aku tendang kaki kirinya, aku putar tangan kirinya ke belakang kepalanya lalu aku pukul tengkuknya. Aku meloncat ke belakang setelah menusuk punggungnya dengan pisau. Denis ambruk sebentar lalu ia bangkit dengan tatapan marah. "Nisa, jangan merasa kasihan padaku. Menikam punggung tidak akan membunuhku." Aku menelan ludah ketika Denis mulai mencabut pisau di punggungnya sendiri. Ia bahkan bisa menjangkau pisau itu padahal aku kira ia tidak mampu meraihnya. Denis membuang pisau yang aku tancapkan, darah segar menetes dari lukanya. Ia berjalan menuju lemari di samping tempat tidurnya, cowok itu mengambil botol alkohol dan menyiram lukanya dengan alkohol itu. Aku merinding melihat apa yang ia lakukan tetapi Denis sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit. Denis membuang pisau ditangannya dan mengambil pisau yang baru. Ia melihatku dan melemparkan pisau ke arah kakiku. Aku menghindarinya namun ternyata ia sengaja melemparkan pisau itu. "Ambillah, akan sangat membosankan jika permainan ini nggak seimbang!" suruhnya. Aku mengambil pisau yang Denis lemparkan. Dia berlari menyerang dan menusuk kaki kananku. Aku merintih dan berusaha menendangnya dengan kaki kanan. Denis mundur lalu tersenyum puas. Cowok itu mengambil pisau lalu menatapku yang kesakitan. Aku ingin sekali mengambil pisau yang menancap di kakiku akan tetapi jika aku lakukan, aku akan mati kehabisan darah. "Kenapa Nisa? Kamu sudah menyerah?" Denis menyindirku yang berdiri dengan tidak sempurna. "Nggak akan! Aku masih sanggup melawanmu!" Denis tersenyum dan perlahan maju mendekatiku. Dia menarik tangan kananku dengan cepat lalu menikamnya dengan pisau kecil yang langsung menembus kulitku hingga hanya terlihat gagang pisau. Aku yang tidak siap hanya bisa mengerang kesakitan dengan terus meronta mencoba melepaskan diri. Aku hantamkan kepalaku ke wajahnya sekeras yang aku bisa. Denis merintih kesakitan karena hidungnya berdarah karena serangan dariku. Cowok itu mengusap luka yang keluar dari hidungnya sementara aku mencoba meraih pisauku yang terjatuh dengan tangan kiri. Aku mencoba berdiri semampuku sementara Denis menatapku dengan bosan. "Ayolah Nisa, ini akan sangat membosankan jika kamu terbunuh dengan mudah." Aku menarik paksa pisau di kakiku, darah merembes deras namun aku segera menyobek lengan bajuku dan mengikatkannya ke kaki kananku. Aku juga mengambil pisau di lenganku, dan menghentikan pendarahannya dengan lengan baju kiriku. Aku menahan sekuat tenaga rasa sakit yang aku rasakan. Aku memegang pisau di kedua tanganku, menghela napas panjang dan mulai berlari ke arah Denis untuk melakukan serangan balasan. Aku tendang Denis di bagian perut, cowok itu tidak melawan seolah ia memang bersiap menerima serangan. Denis terjatuh, aku tindih tubuhnya, aku tahan pergerakannya dengan tubuhku. Aku apit kedua lengannya dengan kakiku. Aku berikan bogeman mentah di pipi kanan dan kirinya membuat hidung cowok itu berdarah kembali. Aku bersiap menancapkan pisau di kedua tanganku ke jantungnya namun cowok itu menahan kedua tanganku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menghentikan perlawanannya namun ia dengan cepat menghempaskanku dengan mudah. Ia menarik tubuhnya dan berbalik menindihku. Aku mencoba melepaskan diri, namun cowok itu sudah mengunci pergerakanku. Dengan satu tangan ia mengunci kedua tanganku dan mulai menatapku dengan perasaan yang begitu mengerikan membuatku sangat ketakutan. Belum pernah aku rasakan ketakutan sebelum ini. "Nisa, apa kata terakhirmu?" Aku mengeliat, meronta dan mencoba melawannya untuk terakhir kalinya namun sia-sia. Namun entah mengapa tiba-tiba aku tertawa terbahak, membuat Denis memandangku dengan heran. "Ada apa? Apa kau sudah gila karena akan mati?" tanya Denis heran. "Jadi, beginikah rasanya?" "Rasanya? Kamu bicara apa?" "Membunuh orang." Denis tertawa, geli mendengar perkataanku. "Kamu belum pernah membunuh orang Nisa. Aku yang akan membunuhmu. Jadi, kaum tak akan tahu rasanya membunuh orang." "Benarkah? Lihat ke belakang!" Denis lengah. Saat ia menoleh ke belakang sudah ada Ferdi, yang sebenarnya sejak awal sudah berada di kamar sejak sebelum aku dan Denis masuk segera mengunci leher Denis. Denis yang tidak siap tak mampu melawan. Aku tikamkan pisauku di kedua pahanya membuat Denis merintih kesakitan. Aku berdiri lalu menatap cowok yang aku pacari dua hari lalu masih belum menunjukkan kesakitan. Apakah dia sudah mati rasa sehingga tikaman pisauku tak mampu membuatnya merasakan sakit? "Kita akhiri ini, Nisa." Ferdi memberiku instruksi. Aku mengambil pisau dari kumpulan pisau yang Denis tunjukkan padaku. Aku mengambil pisau terpanjang dan tertipis. Denis memandangku, entah itu tatapan kekalahan atau kepasrahan, yang jelas aku belum menemukan rasa takut dari tatapannya. Ferdi tiba-tiba mengencangkan kuncinya di leher Denis membuat cowok itu sedikit kekurangan udara. Ia nyaris pingsan namun Ferdi tidak membiarkannya. Ia melayangkan bogem mentah ke pipi kiri Denis, cowok itu jatuh tersungkur. Ferdi mengambil borgol yang memang sengaja ia siapkan. Cowok itu menyeret Denis ke tepian kasur dan memborgolkannya disana. "Nisa, jangan kotori tanganmu dengan darahnya, ayo kita pergi!" Aku menatap Ferdi heran. Rasanya tidak rela jika aku tidak menyaksikan kematian Denis dengan kedua mataku sendiri. "Aku sudah memasang bom dan juga merusak semua CCTV di rumah ini. Tidak akan ada yang tahu kalau kita yang membunuhnya!" "Bom?" Aku kaget setengah mati, tak menyangka sama sekali. "Darimana kamu mendapatkan bom, Fer?" "Ada banyak tutorial membuat bom di internet. Jangan merasa heran, merakit bom itu suatu keahlian yang bisa dipelajari." Ferdi menarikku keluar dari kamar setelah mengunci pintu. Ia sempat melirik Denis yang hanya menatapnya dari tepi kasur. Tangannya terkunci dan jika bom yang Ferdi pasang meledak, aku yakin dia akan mati. Kami telah menjauh dari rumah itu dan 10 menit kemudian terdengar ledakan yang luar biasa berasal dari rumah Denis. Ferdi menggendongku yang berjalan tertatih, ia membawaku ke rumah sakit. Entah kenapa, hari itu Ferdi terlihat seperti pahlawan. *** Dua minggu setelah peristiwa itu, aku kembali masuk sekolah. Denis Aditya dipastikan menjadi korban ledakan bom di rumahnya sendiri. Semua pengawalnya ditemukan pingsan di luar rumahnya. Karena itu hanya jenis bom panci, maka area jangkauan ledakannya pendek dan hanya menewaskan satu orang, yaitu Denis. Tak ada penyelidikan lebih lanjut, entah kenapa tiba-tiba kasus itu ditutup. Luka-lukaku sudah sembuh dan ayahku tidak tahu apa-apa soal aku dan Denis. Aku berbohong pada beliau. Aku bilang aku kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Ayah sebenarnya sedikit tidak percaya namun karena melihatku dan Ferdi yang sangat berusaha menutupi sesuatu ayah tidak membahasnya lebih lanjut. Sejak kejadian itu aku dan Ferdi semakin dekat, tetapi kami masih sebatas teman. Aku masih menjadi diriku. Walau begitu, aku tidak pernah lagi melihat kematian atau masa depan orang lain sejak kematian Denis. Akhirnya, hidup yang damai bisa aku rasakan juga. Meski begitu, menjadi seorang wather, tidak pernah aku sesali. *** Other side Seorang guru memasuki sebuah ruangan kelas, tak lama kemudian seorang cowok masuk menyusulnya. Semua mata memperhatikan cowok itu. Wajahnya yang tampan menarik perhatian para cewek di kelas itu. Cowok itu tersenyum ramah ketika sang guru mempersilahkan dia untuk memperkenalkan diri. "Hai, namaku Raditya, kalian bisa memanggilku Radit. Saya murid pindahan, salam kenal. Let's be friend!,” katanya dengan senyum penuh arti. TAMAT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD