"Apa benar apa yang kamu katakan?"
Deswita menatap Salsa tidak percaya. Wanita tua yang tidak rela disebut tua itu terlihat sekali sangat tidak menyukai Salsa. Yah, sifat telitinya mengatakan bahwa gadis ini hanya mengejar harta Dani semata.
Tapi siang ini, Salsa membuat pengakuan yang sukses menggemparkan seluruh isi rumah.
"Saya berani bersumpah, Oma!"
"Jangan panggil saya oma! Saya bukan nenek kamu!" ujar Deswita dengan nada tidak suka.
"Tapi kan sebentar lagi jadi oma saya!"
"Maksa!"
"Bu, udah!" Aisha menepuk lembut ibu mertuanya itu.
"Ibu kesal, Aisha! Bagaimana mungkin dia bilang Raila hanya menjadi tunangan bayarannya Dani?"
Aisha terdiam. Ia nampak berpikir. Ia juga tak yakin jika Raila sejahat itu. Membohongi orang tua hanya demi uang? Rasanya tidak mungkin.
"Salsa, bagaimana kamu bisa menuduh Raila seperti itu?" tanya Aisha. Jujur saja, pengakuan Salsa terasa mengada-ada. Sebagai ibu, Aisha bisa melihat dengan jelas jika Raila dan Dani saling menyukai.
"Saya tidak menuduh, Tan! Mereka benar-benar mengadakan perjanjian. Kalau Tante tidak percaya, saya bisa buktikan."
"Bukti? Bukti apa maksud kamu?"
"Tante, Oma, selama ini Raila dan Dani hanya menipu kalian. Dani hanya ingin membuktikan pada kalian bahwa dia sudah berhasil melupakan lukanya tentang Salvira. Lalu, setelah itu Dani dan Raila sulit menyudahi perjanjian itu karena mengkhawatirkan Oma."
"Jangan panggil saya oma!"
"Eh iya, calon oma maksud saya."
"Maksa!" Deswita mendelik kesal.
"Bu, udah!" Aisha mengelus lembut lengan mertuanya.
"Apa yang bisa kamu buktikan?" tanya Aisha kemudian.
"Saya pacar Dani yang sesungguhnya."
Kening Aisha berkerut. Menatap Salsa dari atas hingga ke bawah. Rasanya sedikit aneh jika Dani menyukai Salsa yang glamour dan fashionable. Sebab yang ia tahu, tipe gadis yang disukai Dani adalah yang sederhana. Yah, contohnya saja Salvira. Gadis yang sukses membuat putranya patah hati dua kali hingga enggan menjalin hubungan lagi dengan siapa pun. Dan sekarang, saat melihat Raila, Aisha yakin, putranya memang menyukai gadis itu.
"Jangan ngawur kamu! Ah, atau kamu suka sama cucu saya, lantas ditolak. Iya kan?" Deswita tak tahan rupanya. Ia amat kesal dengan Salsa.
"Terserah kalau Oma tidak percaya. Yang jelas saya-lah pasangan Dani sesungguhnya."
"Jangan panggil saya oma! Ngeyel kamu, ya?"
"Eh iya, calon oma maksud saya!"
"Jangan maksa lagi! Saya makin tidak suka sama kamu!"
"Dani suka sama saya kok, Calon Oma. Lihat saja ini!" Salsa memamerkan foto dirinya dan Dani saat kencan bareng dengan Raila dan Satria.
Penasaran, Deswita merebut ponsel Salsa. Memang di foto itu ada Salsa dan Dani yang nampak duduk berhadapan. Tapi pandangan Dani malah mengarah ke samping Salsa. Deswita mengerutkan kening. Mendekatkan ponsel itu agar bisa terlihat lebih jelas.
"Aisha, tolong kacamata Ibu!"
"Baik, Bu!" Aisha segera mengambilkan kacamata mertuanya itu.
Deswita menyelidiki foto itu.
"Halah, apaan! Lihat! Kalian memang berhadapan, tapi mata Dani malah fokus ke seseorang di samping kamu. Ini pasti Raila. Saya kenal semua bajunya!"
Aisha yang juga penasaran, segera mendekat.
"Iya juga sih. Ini Raila. Hanya saja, wajahnya tertutup badan kamu, Salsa."
"Masa sih, Tan?" Salsa mengambil ponselnya.
Sial! Ucapan Deswita ada benarnya juga. Dani malah nampak fokus ke Raila yang duduk di samping Salsa saat itu.
"Ini pasti hanya kebetulan! Dani menyukai saya, kok!" Salsa keukeuh dengan pendapatnya.
"Terus kamu mau apa? Minta Dani dan Raila batal menikah? Tidak bisa! Saya sudah merencakan pernikahan mereka. Mana mungkin dibatalkan lagi!"
"Pokoknya Tante dan Oma akan menyesal setelah tahu kebenarannya," jawab Salsa, lalu gadis itu pergi ke luar dengan marah.
Aisha dan Deswita saling melempar pandangan.
"Apa ini mungkin? Benarkah Raila sejahat itu? Menipu kita hanya karena uang?" ucap Dewsita pelan seakan berbicara pada dirinya sendiri.
"Tapi aku kenal Dani, Bu. Aku tahu kapan putraku jatuh cinta. Aku hanya melihat semua itu saat bersama Salvira dan yang sekarang dengan Raila."
"Itu juga yang aku lihat. Cara menatap Dani ke Raila, mengingatkan aku pada Salvira. Aku sangat senang akhirnya Dani bisa jatuh cinta lagi setelah sekian lama. Tapi, apa yang dikatakan Salsa sedikit membuat goyah."
"Maksud Ibu?"
"Kamu ingat saat malam pertunangan mereka?"
Aisha mengangguk-angguk mengerti.
"Ya, aku ingat. Anak itu dengan lantang melakukan penolakan."
"Kau benar. Tapi apa mungkin ya?"
"Entahlah, Bu. Kalau dari sisi apa pun, mereka berdua saling mencintai."
"Ya, itu juga yang aku lihat."
Keduanya diam dalam kebingungan.
Lalu Deswita tiba-tiba tersenyum lebar.
"Aku tahu caranya."
"Cara apa?"
"Agar mengetahui mereka bersandiwara atau tidak."
"Bagaimana caranya, Bu?"
"Kita suruh mereka menikah bulan depan. Bagaimana?"
"Maksud Ibu, jika mereka menolak, maka Salsa benar. Begitu?"
"Ya, dan jika mereka menyambut baik, aku sangat yakin bahwa si Salsa-lah yang berbohong."
"Oke, aku setuju. Kapan kita akan mengundang Dani dan Raila kemari?"
"Ajak mereka makan bersama nanti malam."
"Baiklah, semoga saja Salsa bohong."
"Ya, aku berharap juga begitu."
***
Raila dan Dani masih diam dengan kecanggungan mereka. Ah, lebih tepatnya canggung bercampur rasa takut.
"Bos, gimana kalau Salsa benar-benar mengadukan kita?"
Dani diam, lalu tiba-tiba ia menyeringai dan mendekati Raila lagi, "Ngadu yang tadi?"
"Bos mau ngapain?!" Raila panik dan langsung menjauh.
"Sekalian diadukan ke Oma, mending kita terusin yuk?"
Bugh!
Raila memukul Dani dengan guling di depannya.
"Aduh, kenapa memukul saya?"
"Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan! Maksud saya, gimana kalau Salsa ngadu tentang hubungan kita."
"Ck, ah, kamu benar! Kenapa saya tidak memikirkan itu ya?" jawab Dani sambil menepuk jidatnya.
"Makanya Bos, otaknya cuci dulu! m***m banget sih!"
"Kita nikah beneran aja, gimana?" tanya Dani sambil bersemangat.
"Saya tidak mau!"
"Lho, kenapa? Tadi waktu saya cium dan peluk kamu, kamu gak nolak kan?"
Raila mengerjap, "Itu... aish, pokoknya saya tidak mau!"
"Karena Satria?"
"Salah satunya!"
"Kamu cinta dia? Si jelek itu? Apa bagusnya dia?!" Dani mencibir dengan nada kesal.
"Dia punya cinta."
Dani diam, lalu berdehem beberapa kali. Sial, kalau yang ini Dani belum yakin.
"Eh kamu jangan bodoh, cinta tidak akan bisa membeli beras, cinta juga gak laku buat beli baju. Buat apa nyari cinta kalau hidup kamu nanti pas-pasan sama si jelek Satria itu."
"Oh, jadi Bos pikir cinta gak penting? Anda salah besar! Buat saya, cinta menjadi syarat utama!"
Glek.
Dani menelan ludah dengan susah payah. Kenapa harus ada cinta sih?
"Eh, denger ya, La. Maksud saya, cinta tuh gak bakalan buat kamu makan enak dengan kenyang. Bayangin aja, saat kamu lapar dan minta uang ke suami kamu, masa dijawab 'Kamu lapar ya? Sini beli pake cinta', gak bisa kan? Tetep aja butuh uang!"
Dani memberi penjelasan panjang lebar tanpa jeda.
"Udah ah, ngobrol sama yang beda prinsip gak akan ada kelarnya," jawab Raila lalu bangkit hendak ke kamar mandi.
"Ah, mau kemana kamu?"
"Ke mana aja, terserah saya!"
"Hei! Kamu kan belum sembuh total! Jangan pergi jauh!"
Dani mengikuti Raila di belakang.
"Bos mau ikut saya?"
"Iya," jawab Dani mantap.
Raila nampak berpikir, "Baiklah. Ayo ikut saja!"
Dani benar-benar mengekor di belakang Raila. Gadis itu hanya mendengus kesal.
Dani tidak sadar jika mereka sudah berada di depan pintu toilet.
Raila berbalik, "Mau ikut juga?"
"Mau ngapain?"
"Bisa lihat ini apa?" tanya Raila sambil menunjuk pintu toilet di depannya.
Dani mengerjap lalu menggeleng cepat. Ia berusaha keras mencuci otak mesumnya yang dengan tanpa ijin malah membayangkan Raila di dalam toilet sana. Aish!
"Y-ya sudah, saya tunggu kamu di luar!"
Raila hanya menggeleng saat melihat Dani buru-buru menjauh.
Dani duduk di sofa. Bibirnya melengkungkan senyuman. Raila benar-benar membuatnya gila. Ini semacam obat n*****a yang mengakibatkan ketergantungan parah. Ah, entahlah! Dani tidak tahu namanya. Perasaannya campur aduk.
Ponselnya bergetar. Segera Dani membukanya.
Oma : Malam ini kalian makan di rumah Oma, ada hal penting yang harus dibicarakan.