Khawatir

1022 Words
Ia justru melempar tawa mentah kini, seakan kesal. "Aku belum maafin dia? Bukannya kebalik? Dia yang selama ini selalu menghindar dari aku. Sampe di hari meninggalnya Bapak atau 40 harinya Bapak pun dia enggak dateng. Sekedar ngasih donasi uang buat biaya ini dan itu juga enggak ada. Orang mana yang enggak marah kalau adiknya malah justru mutusin hubungan keluarga tanpa sebab? Dan kamu tahu saat aku bertemu dia di restoran ketika bersama pasangannya itu? Dia malah melengos muka seakan tidak kenal. Heh, dasar... mentang-mentang sudah kaya sekarang. Jadi... wajar kan yang selama ini kulakukan? Wajar kalo aku sekarang bersikap dingin sama dia?" tanyanya. Aku tersenyum lirih, aku mencoba memahami perasaan Mas Indra. Aku paham betul sikap yang Mas Indra lakukan pada adik keduanya itu. Aku hanya bisa mengusap lembut punggungnya saat itu, coba menenangkan. "Bahkan kemarin pun... apa kamu lihat dia juga memunculkan batang hidungnya di acara pernikahan kita? Dia terlalu sibuk dengan perusahannya yang sudah maju itu, lalu dia melupakan keluarganya yang memiliki ikatan darah dengannya." ucapnya lagi. Aku menghargai pendapat Mas Indra, akan tetapi... "Apa kamu masih menyalahkan meninggalnya Bapak karena dia?" tanyaku hati-hati. "Enggak gitu Lis, masalahnya kan emang dia sejak awal kesal sama aku karena masalah waktu itu. Jadi dia ngambek, enggak hubungin aku lagi sama keluarga. Tahu deh. Pusing." ucapnya kesal. Jujur ini baru pertama kali aku melihat Mas Indra sebegitu marahnya, ketika berbicara denganku dulu dia selalu sopan, lembut dan marah. Akan tetapi berbeda jika topik kami beralih membicarakan Mas Rian. "Tapi Mas, gimanapun... kalian kan saudara kandung. Kakak pertama malah, waktu pertunangan kita juga dia dateng kan? Meskipun hanya sekedar duduk-duduk aja dan itu juga udah lama banget. Yah kalo pernikahan kamu enggak mau dateng, gak masalah. Intinya pas pertunangan kamu hadir. Meski hanya sekedar nyetor muka aja kesananya, makan-makan sama minum. Udah gitu langsung pulang." ucapku. Mas Indra hanya terdiam kala itu. Ia kembali menatapku seraya berkata. "Terserah deh." Beberapa saat kemudian aku yang selesai mengepel seisi rumah dan teras depan pun duduk di sofa depan, beristirahat melepas lelah. Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda ada chat. Ternyata dari Rhena. "Gimana malam pertamanya? Lancar dong? Terus efeknya gimana? Moncer kan hahaha.. biasanya apapun yang gue kasih selalu manjur." Aku tertawa mentah. Dengan geregetan kubalas chatnya. "Manjur dari hongkong! Malam pertamanya ditunda! Untuk waktu yang tidak ditentukan T-T" balasku. Belum berapa menit sudah ada balasan darinya. "Loh kok bisa?!" balasnya. "Bisa lah. Mas Indra lagi sakit, kecapean kayaknya. Yaudah deh lingerinya aku lipet lagi dan taruh ke lemari." balasku. "Hahaha yang sabar ya Bu, nanti juga kesampean kok. Paling cuma berapa hari, sakit apa sih emang?" balas Rhena lagi. "Sakit diare sama muntah-muntah. Muntaber kayaknya, kurang tahu juga. Belum ke dokter." balasku. "Oh gws ya. Jangan lupa masakin dia yang enak-enak. Biasanya orang sakit makannya banyak." balasnya Aku tertawa dan geleng-geleng saat membacanya. Mas Indra mendekat kepadaku. Duduk di sofa sebelahku. "Loh? Kamu bukannya tidur Mas? Kesini banyak angin loh. Masuk angin lagi nanti." ucapku. "Habis makan masa disuruh tidur sih? Memang kamu mau aku berubah jadi sapi?" tanyanya. "Ya enggak, kamu kan lagi sakit. Harus banyak istirahat. Di kasur aja rebah-rebahan gitu deh, atau bersandar diatas kasur pakai bantal tinggi?" usulku. "Disana enggak ada kamu." ucapnya tersenyum lembut. Aku berasa salah dengar, di akhir pun aku tersipu dan mencubitnya. "Dasar nih, bisa aja gombalnya." ucapku gemas, ia merintih. Kita saling memandang ke depan disela angin yang berhembus tenang, memandang beberapa tanaman berbunga pemberian ibuku. Tiba-tiba Mas Indra berkata. "Maaf ya, tadi saya berkata kasar sama kamu. Harusnya saya enggak bersikap kayak gitu, apalagi kamu juga enggak ada hubungan apa-apa dengan ini." ucapnya. "Iya Mas enggak apa-apa. Aku ngerti kok, kamu emang masih terluka selepas meninggalnya Bapak." ucapku. "Oh iya Mas, kamu rencananya mau punya anak berapa?" tanyaku tersipu. Mendadak bibir Mas Indra mengerucut, pandangannya terlihat heran menatapku. Ia tertawa mentah. "Kok jadi anak sih bahasnya? Gak ada topik lain apa?" tanyanya. Aku menatapnya kecewa. Kenapa memangnya kalau bahas anak? Apakah itu tanda kalau dia tidak ingin memiliki anak denganku? "Udah bahas yang lain aja. Jangan tentang anak, kamu tahu sendiri kan, kalo punya anak banyak biaya yang harus dikeluarkan? Belum lagi kalo anaknya ada masalah dan diharuskan caesar. Sedangkan biaya caesar itu mahal, kamu juga pasti ngerti dong kalo gajiku perbulan enggak banyak? Ya bisa dikatakan lumayan kalo terlepas dari semua tagihan, sedangkan kita memiliki tagihan lumahan besar perbulannya." ucap Mas Indra. Aku hanya tersenyum tipis. "Belum lagi nanti biaya perlengkapannya, bajunya, susunya, bedaknya, minyaknya, sabunnya. Itu semua pakai uang kan?" tanyanya lagi. Aku masih melakukan hal sama, tersenyum tipis. Kenapa ya... belakangan aku merasa Mas Indra lebih suka bersikap acuh dan berpaling muka dari hal yang berkaitan dengan anak? Apakah mungkin... dia menikahiku bukan karena cinta? Atau apa mungkin dia... orang yang sangat menghindari melakukan hubungan seperti itu? Atau... Ah bicara apa aku. Padahal.. barusan Mas Indra meminta maaf atas sikapnya yang kasar... tapi kenapa sekarang, dia seperti mengulang hal yang sama? Hufft. Malam harinya kita saling tiduran dengan posisi berlawanan. Aku berposisi miring ke kanan dan Mas Indra miring ke kiri. Dia sepertinya sangat mengantuk hingga tidak ingin menghadap ke arahku, mungkin ia khawatir diserang olehku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya. Aku menghela nafas, kala kuingat dengan isi chat dari Rhena tadi siang. Mungkin memang bukan malam ini. Ah, kenapa juga aku seperti orang yang begitu mengharapkan? Lagipula kalau dipikir lagi, memang benar perkataan Mas Indra tadi. Kita kan masih banyak tagihan, belum akan siap jika ditambah biaya lainnya termasuk anak. Meskipun ibuku selalu mengatakan ingin menimang cucu dan aku pun sangat ingin memiliki anak. Akan tetapi... semua juga kan perlu perhitungan. Ah, iya... aku tidak boleh berpikir seperti ini. Aku harus berpikir positif! Tidak boleh menyangka yang tidak-tidak dengan Mas Indra. Tengah malamnya aku terbangun karena mendengar suara tangisan pria. Aku pun perlahan cari ke kanan dan kiri. Ternyata ada dibawah lantai sana, Mas Indra sedang tersungkur sujud melaksanakan shalat malam. Ya Allah.. Mas Indra sampai menangis seperti itu? Apa sebenarnya yang membuatnya menangis? Padahal tadi dia bersikap baik-baik saja, tidak seperti orang yang merasakan sedih. Apakah mungkin ini masalah terkait kemarin siang? Masalah anak itu? Duh... aku jadi merasa bersalah. Maafkan aku Mas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD