MISSING-16

1298 Words
Mengandung konten dewasa Kebijaksanaan pembaca disarankan. Missing Update! ~ happy reading ~ Lelaki itu memintaku untuk mengikutinya keluar dari ruangan dan aku menurutinya. Angin segar menyentuh kulitku begitu kami sudah berhasil keluar dari ruang sesak yang penuh dengan pasangan yang berapi-api itu. Dia terus berjalan hingga kami kini berada di belakang bangunan di mana rerumputan liar menyambut kedatangan kami. Rumputnya terlalu panjang, bahkan menyembunyikan mayat di sana rasanya tidak akan ada yang tahu. Tempat yang bagus untuk menyembunyikan bangkai busuk. "Lama tidak berjumpa," katanya sesaat setelah kami berhenti dan saling menatap selama beberapa detik. "Kamu sama sekali belum berubah," lanjutnya lalu tersenyum miring. "Diamlah!" suruhku. "Wow, sifat kasarmu pun masih sama," decaknya. "Bukankah sekarang posisimu bukan sebagai pembeli tetapi penjual? Aku mengkodemu dan kamu memberikan tarifmu. Kamu tidak lupa soal itu bukan?" sindirku. Dagunya mengeras, terlihat mulai memanas. "Sepertinya aku terbawa suasana hingga melalukan itu, tapi walaupun kamu ingin menggunakan jasaku, apa kamu sanggup membayarku?" tantangnya. "Sepuluh ribu? Aku tidak punya uang sebesar itu, tapi kalau sepuluh juta dalam pecahan uang seratus ribuan, aku punya banyak," sahutku yang membuatnya menatapku dengan tatapan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. "Wow, santai! Kita bahkan belum memulai apapun," ucapku. Dia menarik napas lalu menggembuskannya perlahan-lahan. Tak lama kemudian ekspresi wajahnya pun kembali normal. Sepertinya dia memaksakan dirinya agar tidak terpancing ucapan provokasi dariku. Sayang sekali, padahal akan jauh lebih menarik jika dia marah. "Kamu sama sekali bukan dirimu dengan berpakaian begitu, siapa kali ini yang kamu incar?" tanyanya seolah tahu bahwa aku memiliki maksud yang lain dengan berada di tempat ini. Aku tersenyum jail. "Aku ingin bercinta denganmu," jawabku yang membuatnya mendecih pelan. "Jangan bercanda, kamu tahu, kamu bukan seleraku," sanggahnya. Aku tergelak pelan. "Tobi," panggilku lembut. "Hentikan! Aku bukan Tobi!" sangkalnya. "Tobi, kamu telah melupakan aku?" tanyaku dengan sorot mata memelas. Dia menelan ludah, kurasa cepat atau lambat dia akan luluh. Aku berjalan mendekatinya. Dia diam, menatapku dalam. Aku terus maju hingga kini kami saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Aku kalungkan kedua tanganku di lehernya. "Tobi," panggilku tepat di daun telinganya hingga desahan napasku bisa dia rasakan. "Aku mencintaimu," ucapku lembut. Dia bergetar, kesadarannya mulai menipis. "Tidak! Kamu bukan yang aku cintai! Bukan! Dia bukan kamu!" elaknya yang membuatku sungguh merasa kasihan. Chup. Aku mengecup pipinya dengan mata terpejam. Dia meremang, menikmati ciumanku dengan menutup matanya juga. Aku yang telah membuka mataku menyeringai licik melihat betapa mudahnya menipu dirinya yang sudah pernah aku tipu. Dia memelukku erat, tangannya bahkan mendekap erat pinggangku hingga tubuh kami saling terhimpit tanpa jarak. Aku yakin, bagian dadaku yang tidak mengenakan bra mengenai dadanya. Aku harap, adik kecilnya tidak akan menegang. Dia mulai mengendus bagian leherku lalu mulai menciuminya dengan brutal. Aku mengelus-ngelus bagian kepalanya membuatnya semakin menikmati apa yang tengah dia lakukan. Dia pun melepas cumbuannya di kepalaku lalu tersenyum. Bola matanya menyiratkan betapa dia telah terlena dan masuk dalam buaianku. Dia pun mendekat lalu melumat bibirku. Aku biarkan saja dia. Tak kubalas ciuman itu hanya mendiamkan saja. Dia begitu menggebu, terlihat dari deru napasnya yang memburu. Dia menempelkan tubuhku di dinding dan mulai menjamah bagian tubuhku yang lain. Tanganku yang ada di lehernya mulai menurun, mengambil sesuatu yang aku selipkan di sela sepatuku. Tangannya merayap, membuka bajuku dan menghisap buah dadaku. Aku tersenyum, ketika berhasil mengambil suntikan. Aku pun membuka tutup suntikan itu. Dalam sekian detik, aku tancapkan suntikan itu di lehernya. Dia sempat mengaduh tetapi aku segera membungkam mulutnya dengan bibirku. Setelahnya dia mulai terjatuh, meregang nyawa. Matanya melotot, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin berteriak tetapi tak mampu. Tubuhnya mengejang hebat. Satu tangannya menempel di d**a kirinya. Sedangkan tangan yang lain terulur seolah ingin meminta bantuanku. "Ke-kenapa?" tanyanya dengan terbata. "Pa-padahal a-aku men-ci-cintai-mu," ucapnya lalu menutup matanya. Aku menyeringai puas saat menyaksikan dia tewas. Insulin, itu adalah hormon yang aku suntikan padanya. Dalam dosis tinggi, insulin bisa membunuh manusia dalam sekian detik. Terutama, untuk seseorang yang memiliki kadar gula yang tinggi. Aku berjongkok, mengamati dirinya. "Kamu mencintaiku huh? Aku tidak! Lagipula, kamu mencintainya, bukan aku," ucapku lalu berdiri. Aku meninggalkan tubuh itu setelah memastikan tidak tertinggal jejak satupun semisal sehelai rambut, jejak kakiku atau sidik jari. Aku pun mulai melihat baju pinjaman dari Lupna, memastikan tidak ada noda yang tertinggal. Aku pun pergi dan melihat seorang lelaki yang setengah mabuk berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Aku bisa memanfaatnya sebagai alibiku. "Hai," sapaku. Dia terkekeh dengan tubuh yang berdiri tegak saja tidak mampu. Aku memapahnya ke pinggir. Aku dorong tubuhnya dan mulai melepas kacamata culunnya lalu menciuminya. Dia membalas ciumanku, terlebih lelaki ini ternyata tampan walau penampilannya tampak kuno. Saat aku rogoh saku celananya, dompetnya sangat tebal. Uangnya pasti banyak bukan? "Hei," katanya saat bibir kami berhenti tertaut. "Siapa namamu?" tanyanya dengan setengah sadar. "Betty," jawabku. "Kalau kamu?" "Aku Aldi," jawabnya sambil tersenyum. "Aku rasa, aku telah jatuh cinta padamu! Kamu cantik!" katanya memuji. Aku tersenyum. "Jika begitu, kamu bisa menemuiku di luar, bukan di sini," kataku. "Di mana?" tanyanya. Aku pun membisikkan alamatku, berikut nama kampus dan jurusanku. Dia tersenyum senang, pun ketika aku mengambil semua uang di dompetnya, dia tidak protes. "Bayaranku," ucapku sambil menunjukkan uang yang aku ambil. "Akan aku berikan semua, asal kamu hanya menjadi milikku!" katanya. "Itu bisa diatur," kataku lalu mengecup bibirnya. Aku menoleh menatap Lupna yang sedang melihatku b******u dengan lelaki culun. Dia mendecih pelan tetapi aku abaikan. "Baiklah, Aldi! Aku rasa, ini saatnya aku pulang," pamitku. "Harus secepat ini?" tanyanya dengan nada kecewa. "Kita sudah cukup lama bersama," jawabku sambil tersenyum jail. "Hentikan godaanmu! Ayo pulang!" ajak Lupna. Aku hanya mengangguk dan mencium sekali lagi lelaki itu sebelum berpisah. "Kamu sudah punya pelanggan ternyata?" sindir Lupna. Aku menyeringai kecil. "Ya, aku rasa, aku telah jatuh cinta padanya," ucapku. Lupna mendadak berhenti lalu menatapku dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu, tidak melakukan sesuatu yang buruk bukan?" tanyanya. Aku merentangkan kedua tanganku. "See? Pakaian yang aku pinjam darimu hanya kusut karena b******u dengan lelaki yang aku cinta. Apa salahnya? Memangnya hal buruk apa yang aku lakukan?" tanyaku dengan wajah polos. Alis Lupna tertaut menyerupai satu garis. "Baiklah," katanya mendesah. "Aku akan mengawasi Aldi. Jika terjadi hal buruk padanya, itu salahmu," ancamnya. Aku tersenyum. "Tenang, kamu akan sering melihatnya," janjiku. "Apa?" tanya Lupna kaget. "Dia pacarku sekarang, aku akan mencumbunya di rumah! Jadi, kamu bisa memastikan, dia masih hidup atau tidak," godaku. Lupna mengepalkan tinjunya. "Dia lelaki baik," ucapnya penuh penekanan. Aku terbahak membuat Lupna semakin marah. "Apa jangan-jangan kamu mencintainya?" godaku. Wajah Lupna semakin memerah, sepertinya tebakanku benar. "Bagaimana ya…." gumamku. "Sayangnya, dia telah jatuh cinta padaku," ujarku lalu terkekeh pelan. Lupna nyaris kehilangan kendali seandainya madam dan dua lelaki yang selalu mengikutinya kemanapun tidak keluar. Kami pun kembali naik ke dalam mobil. Lupna tampak sangat kesal tetapi dia tidak melakukan apapun. Sepanjang perjalanan pulang, dia hanya mendiamkan aku. Aku juga tidak berharap untuk berbicara banyak dengannya. Di dalam mobil, madam menanyakan apa aku akan bergabung dengannya atau tidak. Aku bilang, aku akan memikirkannya. Lupna beraksi, dia menentang keras. Karena itu dengan jail kukatakan, aku hanya akan datang dua atau tiga kali. Bagaimanapun mangsaku ada di sana dan aku belum mendapatkan informasi. Sebaliknya, aku mendapatkan umpan yang menyenangkan. Tiba di rumah, Lupna masih marah. Fina yang melihat gelagatnya sempat bertanya tetapi Lupna abaikan. "Apa yang kamu lakukan padanya?" tanya Fina dengan geram. Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak melakukan apapun," jawabku sambil tersenyum. "Kalau kamu tidak melalukan apapun, bagaimana bisa Lupna semarah itu?" tanyanya tidak percaya. "Mungkin, dia marah karena aku merampas lelaki yang dia cintai, Aldi," jawabku santai. Fina tampak terbeliak. Sedetik kemudian dia telah menarik bajuku dengan kasar. "Dia kakak tiri Lupna, sebaiknya kamu tidak berulah! Atau aku sendiri yang akan membunuhmu!" ancamnya. Aku menepis tangan Fina dari bajuku. "Kamu membuat baju ini melar," ucapku. "Kalau Lupna protes, kamu yang harus menggantinya!" imbuhku. Fina melipat bibirnya, emosinya sudah naik hingga ke ubun-ubun. Hanya tinggal menunggu waktu agar meledak. Aku mengambil ujung rambut Fina lalu meniupnya kasar. "Kamu mau membunuhku?" decakku meremehkan. "Apa kamu sanggup?" tanyaku. Fina mengepalkan kedua tangannya. Aku mendekat lalu mencengkram dagu Fina dengan kuat. "Jangan mengancamku, Fina! Jangan buat aku melanggar janjiku pada Betty!" ucapku lalu menghempaskan tubuh gadis itu dengan kasar. Aku pun kembali ke kamar, menutup kasar pintunya dan merebahkan tubuhku di kasur. "Mengapa kamu tampak kesal?" Suara lembut itu membuatku membuka mata lalu bangkit dan duduk. Aku tatap dia dengan senyuman, "Tidak apa. Aku hanya lelah, Betty."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD