8 – Kamala tanpa Cahaya

1551 Words
Untuk sejenak, ruang tamu dilingkupi keheningan. Tapi, bukan berarti bisa menahan amarah Kamil, juga rasa kecewa mendalam di sorot mata yang Farhan berikan. Pernikahan tinggal selangkah lagi, tapi tingkah-polah Daniel menghancurkan segalanya. Namun yang paling disyukurkan, kelakuan busuk terbongkar lebih cepat. Lebih baik menanggung malu sebelum menikah, daripada dikhianati dan bercerai setelah menikah.“Kami meminta maaf sebesar-besarnya pada keluarga Hasan. Kelakuan putra kami tidak bisa ditoleransi lagi. Dia bagai mencoreng arang di wajah kami, juga di wajah kalian. Melakukan perzinaann di belakang sangat fatal, sementara semua orang sudah tahu kalau Daniel punya calon istri yang sebentar lagi akan dinikahi.” “Saya sebagai kepala keluarga merasa gagal. Anak yang didik sebaik mungkin dari kecil sampai besar, tidak bisa mengendalikan hawa nafsuu dan tidak ubah dari perilaku binatangg. Saya benar-benar ... tidak punya muka lagi di depan keluarga ini. Keluarga kami dipandang dan disegani orang lain, tapi ternyata tidak menjamin bisa menjaga kehormatan.” “Hari ini ... sekali lagi kami tulus minta maaf dan mengembalikan Asha yang baru kami pinang beberapa bulan lalu. Adapun acara dan undangan yang disebar, kami sekeluarga yang akan menanggungnya. Termasuk mengganti rugi berapapun biaya yang kalian sebutkan. Kiranya mungkin lewat ini kami bisa menebus maaf dan sedikit mengurangi rasa malu yang ditanggung keluarga.” Kamil tidak bisa menahan diri. Ia bangkit, mengayunkan tangan ke arah pintu. “Keluar!” usirnya dengan nada rendah. Matanya menyorot dingin pada Irzaldi Hutama, politikus terpandang yang kini ramai dibicarakan karena kebejatann anaknya. “Kami tidak butuh uang kalian. Mulai hari ini, jangan pernah muncul di hadapan kami! Jangan pernah menampakkan diri di depan adik saya! Tidak ada yang bisa menebus sakit hati yang dia alami. Uang kalian tidak sebanding dengan perbuatan anak kalian!” Farhan tidak mencegah Kamil. Ia mempersilakan anak sulungnya melampiaskan kemarahan, asal jangan sampai berbuat kekerasan. Farhan bukan memikirkan pihak yang akan jadi korban, tapi ia memikirkan anaknya. Besar resiko yang ditanggung misal Daniel babak belur oleh Kamil. Terakhir kali mereka sekeluarga berhasil menghentikan Kamil yang akan mencari Daniel. Walaupun sedikit kesulitan karena Kamil mengamuk. “Setelah ini anggap dua keluarga tidak pernah mengenal. Kami tidak terima penebusan dalam bentuk apa pun! Kami tidak terima putra bejatt Anda menampakkan batang hidungnya di sini. Kamala tidak butuh maaf dan sejenisnya. Dia butuh kalian menghilang dari pandangan kami.” Kemudian Kamil menuju Irzaldi, menarik tangan dan menyeretnya paksa. Sementara Latifa tidak bisa bersuara, karena sejak tadi tergugu dalam tangis. Abyan bahkan kehilangan orientasi, tertunduk dalam karena dari pihak merekalah sumber kekacauan. Sedang Daniel sang biang onar, belum memunculkan batang hidung sejak berita kemarin beredar dan ramai diperbincangkan. Untuk meredam pertanyaan dari berbagai pihak, keluarga Hutama mau tidak mau turun tangan. Lagipula ini tidak bisa diselamatkan lagi. Lamaran Daniel menyita segala atensi, ditambah siapa orang tua Daniel, jelas pernikahan mereka paling ditunggu tahun ini. Tapi ternyata, seramai lamaran, seramai itu juga skandal yang muncul. Daniel yang berbuat, Daniel yang mempermalukan dirinya sendiri. Sebelum pintu rumah benar-benar tertutup untuk keluarga Hutama, Farhan akhirnya angkat bicara. Ia tidak sebringas Kamil, tapi kemarahan mereka setara. Hanya saja Farhan membungkus rapi dengan ketenangan. “Memang sudah jalannya begini. Anak saya disadarkan dengan kejadian yang benar-benar akan membekas di benaknya, bahkan sampai mati sekalipun. Saya tidak ingin banyak, cukup mendoakan semoga Daniel dan pernikahannya baik-baik saja. Jadilah suami serta ayah yang baik buat istri dan anaknya kelak. Jodohnya memang bukan anak saya. Karena kalau akhirnya bersamapun, mereka tidak akan cocok satu sama lain.” Setelah itu semuanya benar-benar diputus. Lembaran bersama keluarga Hutama, ditutup bahkan kalau bisa dimusnahkan detik itu juga. Hubungan yang dimulai dengan baik, berakhir sangat buruk. Tersisa puing-puing kegagalan dan duka yang mendalam yang dirasakan oleh Kamala beserta keluarga. Perempuan yang batal menyandang status sebagai istri itu kini seolah kehilangan rona. Tatapannya kosong ke satu titik, dengan kepala bersandar di bahu sang tante. Tidak ada kata yang keluar, tidak ada suara ringisan sedikitpun, hanya tali air mata yang gugur di pipi. Menandakan sakit hati dan kecewa yang diderita teramat dalam. Memporak-poranda kehidupan. “La,” panggil Kamil lembut. Pelan ia mengusap puncak kepala sang adik, mencoba mengambil alih perhatian, namun gagal karena Kamala tidak tergerak sama sekali. “Menangis saja. Kalau perlu melampiaskan, hancurkan barang-barang di rumah ini. Kamu juga bebas memukul Abang, asal semua emosimu tersalurkan.” Tante Mia tidak sanggup mendengar. Beliau terisak sambil memeluk erat Kamala, meratap betapa malang nasib keponakannya. Ramai rumah karena akan ada resepsi, berganti dengan ramai karena duka. Tenda serta bunga-bunga masih menggantung dan melambai, belum dilepas karena pihak WO tahu keluarga calon mempelai sedang tidak bisa diganggu. “Kamu mau Abang apa, dek? Patahkan kaki dan tangan dia atau bunuh dia? Abang tidak keberatan masuk penjara, asal semua terbalaskan. Memang tidak ada yang bisa menyelamatkan hatimu yang hancur, tapi setidaknya Abang bisa membalas rasa sakit yang kamu alami. Abang rela lakukan apa saja buat Mala.” Kata-kata Kamil berhasil memancing, Kamala mulai menatap sendu padanya kemudian menggelengkan kepala. Atas respon itu, Kamil merasa sedikit lega. Ia sampai mendongakkan kepala, tidak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Semua tersapu dalam sekejab, menjelang hari yang tidak pernah disangka-sangka. Seperti badai melanda di penghujung musim semi. Bunga-bunga kebahagiaan berjatuhan, menyisakan puing-puing yang berantakan. Dari awal Kamala sudah salah berprasangka. Banyak kecocokan di antara mereka, bahkan berpikir semesta seolah mendungkungnya, ternyata bukan dari bagian turut merestui ikatan yang akan terjalin di antara mereka. Semesta hanya bercanda, dia memberi ketenangan, sebelum meniupkan badai kencang yang menghancurkan. *** Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu, termasuk Paramitha, Pradana dan Airlangga. Mereka bertukar pikir tentang keadaan Kamala. Perempuan malang itu, tidak bisa pulih lagi. Kondisinya dua hari belakangan hanya melamun, menangis, lalu pingsan. Sebagai papa, Farhan sangat khawatir. Sebagai abang, Kamil sangat kalut. Kejadian yang dialami sangat mengguncang baik fisik maupun fisikis Kamala. Kecil kemungkinan ia akan pulih dalam waktu dekat. Ditambah lingkungan tempat mereka tinggal, tempat di mana semuanya terjadi. Tempat di mana hampir semua orang tahu, gadis yang bernama Kamala menyandang status batal menikah. “Kalau Mala ikut kami gimana, Mas?” tanya Tante Mia, setelah cukup lama diam. “Di sana, semuanya baru. Mala bisa menenangkan pikiran dengan suasana yang asing. Tidak ada orang yang mengenalinya. Tidak ada orang yang tahu kegagalan yang baru saja dialaminya. Selama apa pun dia mau tinggal, aku tidak keberatan. Dia sama kayak anakku sendiri.” “Aku yang tidak bisa. Mala ... putriku satu-satunya. Berat kalau kami tinggal berjauhan. Lebih baik aku yang mengajukan pensiun lebih awal, lalu kami pindah dari sini. Di sini sudah tidak cukup bagus buat dia.” “Kamil setuju, Pa. Besok Kamil akan diskusikan ke kepala divisi, apa ada peluang buat pindah ke kantor cabang yang lain. Intinya Kamil akan urus dengan cepat. Untuk rumah di sini sementara dikosongi dulu. Jangan dijual, Pa, karena banyak kenangan masa kecil kami bersama mama di sini.” “Tidak, Mil. Sampai kapanpun Papa tidak akan menjualnya.” “Mas, rumah di Surabaya tidak ada yang menempati,” timpal Joko, adik kedua Farhan. “Bagaimana kalau tinggal di sana? Untuk memulai semuanya, di sana cukup baik. Mala juga bisa mencari kerja setelah dia baik-baik saja. Aku punya banyak kenalan sebelum dipindah tugas.” Kamil dan Farhan saling pandang. Mereka belum bisa memutuskan, karena harus mendengar pendapat dari Kamala dulu. Mau bagaimanapun, Kamala yang berperan penting. Kalau gadis itu bersedia, Farhan dan Kamil segera menurutinya. Kamala di keluarga ini bagai mutiara langka dan berharga. Makanya mereka akan mengusahakan apa pun demi membahagiakan gadis itu, termasuk menyembuhkan kondisinya yang sekarang. “Kenapa harus pindah? Apa tidak ada cara lain lagi?” Airlangga turut bersuara. Jujur, murungnya Kamala menular ke semua orang. Airlangga bahkan merasa sebagian semangatnya berkurang. Ia melihat Kamala yang tidak berdaya, seketika dilingkupi emosi. Betapa besar keinginan untuk memberi Daniel pelajaran, tapi ia bukan sosok bertangan dingin. Ia cukup tenang dalam mengendalikan berbagai hal. “Apa Mala ... tidak bisa di sini saja? Maksudnya, kalian boleh pergi asal tidak pindah.” “Lo sadar sama apa yang lo ucapin?” Airlangga menghela napas. Kamil yang emosi jelas bukan lawan bicara yang tepat sekarang. “Gue lihat Mala dulu. Maaf buat pertanyaan tadi.” Setelah mengangguk sekali pada para tetua, Airlangga langsung bangkit kemudian menuju sebuah kamar. *** Kamala mengerjapkan mata saat merasa kepalanya diusap. Kemudian ia mengubah posisi dan tatapan mereka langsung bertemu. Dalam temaram cahaya kamar, Kamala bisa melihat sudut bibir Airlangga melengkung ke atas. “Abang ganggu Mala?” Pertanyaan dibalut nada lembut itu mendapat respon gelengan dari Kamala. Ia kembali memejamkan mata, setelah mengembuskan napas pelan. Tubuhnya terasa begitu lemas, belum lagi nyeri di kepala juga sesak di dadaa. Hanya saja Kamala ... tidak mengatakan. Ia bungkam, tidak ingin apa-apa. “Di sini masih mendung. Abang harap pasca hujan, akan kembali cerah bahkan ada pelangi. Abang tahu kamu kuat, La. Kamu tahu mana yang pantas ditangisi dalam jangka waktu yang lama, mana yang tidak. Dari kejadian ini, kamu terselamatkan dari pernikahan yang berpotensi menyakitimu.” Dalam diam Kamala menangis. Ia mendengarkan, ia bahkan meresapi, makanya sampai air mata turut serta. Ia juga menggeliat pelan ke arah Airlangga, seolah mencari tempat berlindung untuk tubuh ringkihnya. “Kamu dibuat sakit sekarang, biar nanti tinggal menikmati bahagia. Abang cuma mau bilang, Abang sayang kamu. Di jejeran Om Farhan dan Kamil, ada Abang yang bisa kamu andalkan. Jadi, semoga cepat pulih lahir dan batin, Mala-nya Abang.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD