5 – Indomie Buatan Kamala, Juara!

1375 Words
Bersama Tante Paramitha, Tante Latifa dan para sepupu Daniel, Kamala fitting baju pengantin. Mereka ada di salah satu butik kenamaan Indonesia, Sana Samantha. Jangan tanya Daniel di mana, karena memang ini khusus perempuan. Sementara para pria, hari berikutnya. Berlaku untuk dua inti keluarga, termasuk Airlangga dan papanya. Sekarang Kamala di ruang ganti. Ia mengenakan gaun pengantin, dibantu oleh dua orang pegawai. Setelah resleting belakang ditarik, beberapa bagian dirapikan, mereka bilang ia sudah bisa keluar. Dengan senyum mengembang, Kamala menunggu tirai dibuka. Demi apa pun, tiba-tiba saja deg-degan. Tidak sabar memperlihatkan penampilannya pada orang-orang, terlebih pada Tante Latifa dan Tante Paramitha. Di luar ternyata mereka sibuk sendiri. Entah itu saling membahas sesuatu, atau sedang berlomba menilai motif satu ke motif lainnya. Kamala tertawa kecil menyaksikan itu. Sebelum ia memanggil, ia menarik napas pelan kemudian mengembuskan perlahan. Dirasa cukup, ia mulai bersuara, “Haloooo semuanyaaaaaaa ...” Dalam satu panggilan, kompak semua menoleh. Awalnya mereka pada belum ‘ngeh’, tapi saat Kamala menggoyang-goyangkan badan ke kiri dan kanan, sudut bibir Tante Latifa dan Tante Paramitha tertarik ke atas, begitu juga sepupu-sepupu Daniel. “Tante sampai pangling, La,” ujar Tante Paramitha, mengutarakan kekaguman. Beliau meletakkan majalah ke atas meja, kemudian bangkit mendekati Kamala. “Sebentar, Nak, Tante ambil foto dulu. Biar pulangnya dikasih lihat ke papamu, Om, terus Kamil sama Langga.” Tentu saja Kamala setuju. Ia memasang gaya centil, saat Tante Paramita mengarahkan ponsel. Tidak hanya sekali dua kali saja, tapi berkali-kali. Atas tindakannya itu, memancing tawa kecil dari Tante Latifa, bahkan Sana Samantha sendiri. “Yang ini calon pengantinnya aktif. Klien sebelumnya kayak enggak ada gairah, enggak ada komentar apa-apa, manut saja sama oma dan tantenya. Cowoknya juga sama. Mungkin perjodohan kali, ya. Jadi vibes sama yang ini beda banget.” “Serius, Tante? Gimana tuh jadinya?” tanya Kamala penasaran. “Enggak gimana-gimana. Tetap nikah. Tapi, ya, saya ngerasa mereka kayak ada kemistrinya. Pas buatin gaun sambil bayangin kedua mempelai, suasana hati saya bagus. Tidak pernah saya merasa sebaik itu saat membuat desain sampai merancangnya jadi gaun.” “Kalau saya gimana, Tante?” “Jujur ya, kayak yang kebanyakan.” “Yah, berarti enggak ngerasain kemistri di kami. Perasaan aku sama kakak cocok banget. Tante Sana aneh, ih! Masa yang nikah terpaksa, dibikin gaunnya sepenuh hati. Sementara kami yang saling mencintai, dibikin setengah hati.” Sana sontak tertawa, dia juga menggelengkan kepala. “Semua bikinan saya, dibuat sepenuh hati. Senang rasanya terlibat dalam suatu momen penting orang-orang. Cuma yang membedakan itu feeling. Ada yang senang, ada yang senang banget. Tapi, ya, harusnya kamu juga jangan mempercayai feeling saya.” “Lha, iya juga, ya?” Tante Latifa dibuat tergelak oleh calon menantunya. Dia sampai menusap sudut mata, berair karena banyak tertawa. “Yuk udah, sekarang fokusnya kembali ke awal. Bintang utama kita enggak lama lagi kelelahan tuh sama berat gaunnya.” Kamala langsung terharu karena perhatian dari Tante Latifa. Ia merentangkan tangan dari jauh, bertingkah seolah akan memeluk. Tante Latifa yang melihat itu dibuat tersenyum tipis. Beliau juga melangkah, tapi dekatnya cuma sama Tante Paramitha. Enggak dekat Kamala.  Dua orang dengan hampir usia sepantaran, memasang pengamatan tajam. Setiap sudut tidak luput dari penglihatan. Bahkan kini satu tangan Tante Paramitha menumpu di dagu, saking seriusnya dalam mengamati. “San, bagian dadaa dibesarin dikit. Kelihatan sesak banget di Mala.” “Ih, Tante tau banget!” seru Kamala heboh. “Emang tadi Mala ngerasa nggak nyaman bagian ini. Cuma karena banyakan ngomong, makanya jadi kelupaan.” “Untung Tante awas. Kalau nggak, bengek kamu pas resepsi, Nak.” Kamala langsung ngakak mendengar kata bengek. Ia mengacungkan dua jempol pada Tante Paramitha, tanda terima kasih atas bantuan beliau. Sementara Tante Latifa, mengangguk-angguk, menghela napas sebentar, lalu menatap Sana. “Yang pinggang sama lengannya kecilin sedikit. Itu kayaknya masih longgar.” Sana mengode pegawainya untuk dicatat. Sedang Kamala, mulai memeriksa gaun yang ia kenakan di bagian pinggang dan lengan. Mencubit kain sedikit, kemudian mengangguk-angguk mengerti saat menemukan masalahnya. “Mungkin dari saya cukup untuk fitting hari ini. Kamu gimana, Mith?” “Sama, Mbak. Cukup.” Tidak butuh lama, Kamala kembali masuk ke ruang ganti. Masih dibantu dua pegawai yang sama, ia melepaskan gaunnya. Begitu semua tanggal, napas lega Kamala tidak bisa disembunyikan. Ia mendesah panjang, bahunya juga terkulai ringan. “Makasih banyak, Mbak-mbak,” ucap Kamala. Kemudian ia mengepalkan kedua tangan, mengangkatnya bersamaan. “Semangat kerjanya! Nanti kita bakal ketemu lagi. Aku harap, kalian enggak bosen bantu aku selama di sini.” Dua pegawai bername tag Anita dan Tri itu saling pandang, tersenyum bersamaan. “Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati. Semangat juga buat Mbak-nya. Jaga kesehatan dan pola makan menjelang pernikahan.” “Mbak sebenarnya ini rahasia.” Kamala menempelkan telunjuk di bibir, ia juga berlagak menoleh ke sana-kemari, kemudian berjalan pelan mendekati. “Aku tipe orang yang, makan banyak tapi berat badan enggak naik. Beruntung banget, kan???” “Heeh, beruntung banget.” “Kami simpan rahasia ini baik-baik, Mbak.” “Ih, keren!” Kamala mengacungkan jempol, ia juga melompat cepat memeluk keduanya. “Makasih banget udah mau aku ajak ngobrol nggak jelas. Nanti harus datang ya ke resepsinya. Enggak boleh enggak.” “Pasti, Mbak. Lamarannya kemarin ‘kan viral, jadi yang lihat pada nggak sabar nunggu resepsi. Lagian cowok Mbak anak politikus ternama, pernikahannya nggak mungkin nggak heboh dan meriah.” Kamala tersipu malu. Ia menutup bibir dengan tangan, kemudian mengibas-ngibas. “Kakak emang norak. Dia bucin banget sama aku, jadi kasih surprise-nya agak berlebihan. Untungnya aku sayang, jadi aku terima, deh.” Anita dan Tri kembali saling pandang, kemudian sama tersenyum tipis. “Semoga lancar persiapan sampai hari-H-nya.” “Aamiin,” sahut Kamala. Setelah berucap terima kasih terakhir kalinya, ia benar-benar keluar. Kembali berkumpul sama Tante Latifa dan Tante Paramitha, yang kini mulai coba gaun juga. Sementara sepupu-sepupu Daniel satu per satu mulai duduk anteng, karena mereka sudah coba dan selesai kasih tau rombak bagian yang dibutuhkan. *** Sekarang rumah mulai ramai. Baik om dan tante yang tinggal di kota tetangga atau di luar pulau, mulai berdatangan. Kamala senang dengan keramaian, ia bahkan memanfaatkan keponakan-keponakan yang tidak seberapa itu untuk bantu memijit tangan dan kakinya, memakaikan masker, bahkan membeli hal remeh seperti camilan di mini market dekat rumah. Kamil sampai dibuat geleng-geleng kepala dengan tingkah adiknya. Lagipula, sejak kapan Kamil berhenti menggelengkan kepala karena Kamala? Sifatnya itu ada-ada saja. Makin terlihat manja, padahal mau nikah. “Mala, bikinin indomie telur dua. Buat Abang sama Langga.” “Ih, enggak lihat apa orang lagi kutekan?!” sambar Kamala sewot. Ia juga menjulurkan kedua telapan tangan di depan Kamil. “Entar kecoret-coret, Bang. Belum lagi kena uap. Rusak deh.” “Sebentar saja. Pulang dari kantor Abang lapar, lagi kangen indomie buatan Mala.” “Alesan aja itu! Makanan lain banyak, yang dimintai tolong juga banyak. Masa Mala yang pengen khusyuk perawatan disuruh?” “Enggak enak. Orang tua semua, lagian mereka sibuk ini-itu.” Kerucut bibir tidak terhindarkan. Mata Kamala juga melotot sepenuhnya, apalagi melihat Airlangga berjalan santai menuju mereka. Rasa kesal Kamala naik berkali-kali lipat, ia bahkan bangkit dari selonjoran, sambil berkacak pinggang. “Ngapain Abang ke sini?” todongnya pada Airlangga. “Enggak terima suruhan apa-apa, ya!” “Lho, tadi Kamil yang undang Abang buat makan indomie telur.” Kamil terkekeh-kekeh karena ketahuan. Jujur ia memang mengerjai Kamala, tapi mau gimana lagi, ia tidak bohong soal indomie bikinan Kamala yang enak. “Ya udah bikinin aja. Lagian kalau udah nikah, paling kamu diboyong suami dari rumah.” Helaan napas Kamala terdengar. Akhirnya ia mengalah karena kata ajaib yang Kamil ucapkan. Lagipula itu benar, Kamala pasti tidak tinggal di rumah lagi kalau resmi jadi istri Daniel. “Tunggu di sini! Nanti kalau kuteknya rusak, abang berdua tanggung jawab bikinin lagi. Sampai rapiiiii!” “Gampang,” sahut Kamil percaya diri. Kamala mengentakkan kaki menuju dapur. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil panci kemudian mengisi dengan air. Setelah diletakkan di kompor, ia menunggu mendidih sambil mengambil mie dan telur. “Sini Abang bantu,” tawar sebuah suara, saat Kamala sedikit kesulitan membuka bungkus mie. “Mumpung Kamil lagi mandi, sekarang Abang temani di sini.” Kamala berbalik dengan cepat, senyumnya mengembang lebar melihat Airlangga. “Abang memang terbaik,” pujinya dengan tepuk tangan heboh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD