Selasa (09.50), 20 April 2021
---------------------
Rezka menghela napas lega karena akhirnya wanita cantik yang tadi bersembunyi di balik mejanya mau dibujuk kembali ke ruangan Juan. Tapi sekarang dia bingung harus melakukan apa karena wanita itu masih menangis pelan.
“Apa Anda haus? Saya akan ambilkan air minum untuk Anda.” Rezka hendak berbalik. Bukan sekedar mengambil minum, tapi juga melarikan diri dari situasi tidak nyaman ini. Mungkin dia bisa mencari kesempatan untuk menghubungi Juan dan memberitahu keberadaan wanita itu.
Namun belum sempat Rezka melangkah, wanita itu menahannya dengan menggenggam pergelangan tangannya. “Bisakah kau di sini saja? Aku butuh teman.” Jessie berkata di sela tangisnya.
“Eh, tapi saya—”
“Baiklah, pergi sana!” Jessie melepas dengan kasar tangan Rezka. “Kakakku saja tidak peduli padaku. Jadi kenapa kau yang orang asing harus peduli?” Jessie tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Dia berusaha menangis tanpa suara tapi tubuhnya tetap berguncang pelan.
Rezka sungguh tidak mengerti masalah apa yang menimpa wanita itu. Bahkan hubungan si wanita dengan Juan dia juga tidak tahu. Tapi mendengar nada pilunya membuat hati Rezka tergetar. Seolah dia bisa merasakan kesedihannya yang sangat dalam.
Ragu, Rezka duduk di sebelah wanita itu. “Apa—ada yang bisa saya bantu?”
Mendadak Jessie mendongak membalas tatapan Rezka. “Kenapa masih di sini? Pergi sana!”
Rezka meringis. “Sepertinya Anda tidak haus. Jadi saya akan di sini saja menemani Anda sampai Mr. Keegan datang.”
“Aku tidak butuh belas kasihan darimu. Jadi pergi saja,” ujar Jessie tajam, masih dengan mata basahnya.
Wanita memang membingungkan, gerutu Rezka dalam hati. Tadi tidak mau ditinggal tapi sekarang bersikeras menyuruh dirinya pergi.
“Kalau begitu sebaiknya saya kembali bekerja.” Rezka hendak berdiri namun urung mendengar ucapan wanita itu yang sarat akan kekecewaan.
“Hanya begitu saja bujukanmu lalu kau menyerah? Harusnya kau berusaha lebih keras agar aku luluh dan mengizinkanmu tetap di sini.”
“Hah?” Rezka melongo. Wanita di depannya ini waras atau tidak?
“Tidak bisa diandalkan,” gerutu Jessie.
“Jadi, Anda ingin saya temani di sini?” Kali ini nada suara Rezka terdengar kesal.
“Aku tidak minta seperti itu.”
Grrr!
Apa Juan akan langsung memecatnya kalau Rezka memukul kepala wanita itu? Seharusnya tidak karena Rezka hanya bermaksud memperbaiki kerusakan otak wanita itu.
Seraya mendesah, Rezka menyandarkan punggung di sofa panjang itu dengan kedua lengan dilipat di depan d**a. Otaknya berputar cepat mencari ide untuk bisa melarikan diri dari situasi tak nyaman yang tengah melingkupinya.
“Tidak perlu mendesah seperti itu. Bukan aku yang memaksamu tetap di sini. Kau sendiri yang mau.”
“Ya, terserah,” sahut Rezka malas.
KLEK.
Keduanya menoleh ke pintu. Tampak Juan dan Risma berjalan tergesa ke arah mereka. Rezka hendak berdiri namun lagi-lagi gerakannya terhenti karena Jessie memegang tangannya.
“Astaga, Jessie!” seru Juan menahan kesal. Dia mengabaikan jemari Jessie yang tengah menggenggam tangan Rezka. Juan yakin mereka bukannya memiliki hubungan khusus. Jessie hanya ingin ada orang lain di dekatnya saat Juan memarahinya. “Kenapa tingkahmu kekanakan sekali?!”
Risma melirik tangan Rezka yang berada dalam genggaman Jessie. Keningnya berkerut penuh tanya. Saat Rezka meliriknya, Risma memberi isyarat agar Rezka mengikutinya keluar namun Rezka hanya meringis seraya mengedikkan dagu ke arah tangannya.
“Kamu pikir Kakak bercanda saat mengatakan bahwa Kakak dimusuhi para penduduk? Kalau sampai ada yang tahu kau anggota keluarga Keegan yang tengah berkeliaran tanpa pengawasan, bisa saja ada yang memanfaatkan situasi dengan menyakitimu agar Kakak menyerah lalu pergi dari sini. Kau suka seperti itu, hah?!”
Air mata Jessie kembali bergulir tapi dia tetap membalas tatapan tajam Juan. “Untuk sekali ini saja, Kak. Aku ingin merayakan ulang tahunku bersama Kakak.”
Lama Juan menatap tajam sang adik. Beberapa saat kemudian, sorot mata Juan berubah lembut melihat permohonan tulus dalam mata Jessie. Sepertinya kali ini Juan harus mengalah. Lagipula dia tengah diliputi rasa bersalah terhadap sang adik. Kapan terakhir dirinya memberi hadiah ulang tahun untuk Jessie? Apa saat Jessie masih SMA? Tapi tiap tahun Juan tidak pernah absen memberi Kirana hadiah ulang tahun.
“Baiklah, Kakak akan mengizinkanmu tetap di sini. Tapi itu jika kita berhasil mendapat tempat menginap yang layak untukmu. Jika tidak, terpaksa Kakak akan membiusmu lalu mengirimmu pulang.”
Jessie menyeringai senang. “Jangan khawatir, Kak. Dia menawariku tinggal di tempatnya dan berjanji akan menjagaku.”
Rezka yang sebelumnya hanya menjadi pendengar terbelalak saat melihat telunjuk Jessie mengarah padanya. “Kapan—”
“Kakak harus menaikkan gajinya karena dia sudah sangat baik padaku,” Jessie tersenyum manis pada Rezka sementara Rezka menatapnya dengan raut bingung dan mulut ternganga.
“Tapi—”
“Wah, pasti menyenangkan punya teman wanita di rumah. Tampaknya kita sebaya. Kau bisa tidur di kamarku.” Risma menyela ucapan Juan seraya bertepuk tangan antusias.
Juan kembali hendak berucap. “Tapi rumah kalian—”
Mendadak Jessie berdiri namun tangannya masih menggenggam tangan Rezka, membuat pemuda itu turut berdiri. “Maksudnya, kalian—” dia menunjuk bergantian antara Rezka dan Risma.
“Dia adikku.”
“Adik?” Kening Jessie berkerut. Dia memperhatikan Rezka lebih seksama. “Kalau kita sebaya, jadi berapa usianya?” tatapan Jessie masih mengarah pada Rezka namun pertanyaan itu ditujukan pada Risma.
“Dia masih tujuh belas tahun.”
Mata Jessie melebar. Mendadak dia melepas tangan Rezka seolah tangan itu berubah panas. “Jadi, tadi aku menangis di depan anak kecil? Benar-benar memalukan!” seru Jessie kesal.
Padahal tadi dia sudah menetapkan Rezka sebagai lelaki imut dan manis yang akan didekatinya. Tapi usia pemuda itu merusak angan-angan Jessie. Pantang baginya memiliki kekasih lebih muda darinya.
Tanpa peringatan, Jessie menarik tasnya lalu menggamit lengan Risma. Dia mengabaikan panggilan Juan dan terus menarik Risma keluar pintu ruangan Juan.
***
“Aku tidak menyangka bahwa ada salah seorang penduduk Pulau ini yang bekerja untuk kakakku. Kak Juan bilang, dia dimusuhi para penduduk.” Jessie berkata seraya menata alat kosmetiknya di meja rias Risma.
“Jadi kau tidak tahu bahwa Rezka penduduk sini?” Risma yang sedang duduk di tengah ranjang bertanya.
“Sama sekali tidak.”
Kening Risma berkerut. Tadi Jessie sudah menjelaskan bahwa Rezka tidak pernah mengatakan seperti yang dibilang Jessie. Itu hanya akal-akalan Jessie saja. “Kukira kau berkata seperti itu karena tahu Rezka adalah penduduk sini.”
“Aku hanya asal bicara. Bahkan aku sudah siap bertindak nekat tidur di tempat Rezka walau dia termasuk salah seorang pekerja yang tinggal di mes.”
“Kalau itu benar-benar terjadi, dengan senang hati aku akan membantu Juan menyeret tubuhmu ke kapal untuk dipulangkan.”
Jessie nyengir lalu duduk di depan Risma. “Apa besok kau bekerja?”
“Hah?” wajah Risma merona malu. “Ehm, sebenarnya aku tidak bekerja.”
“Itu bagus sekali!” seru Jessie senang. “Besok kau bisa menemaniku jalan-jalan, kan? Aku ingin bersenang-senang selama seminggu ini karena minggu depan adalah hari ulang tahunku.”
“Benarkah?” Risma tertular sikap ceria Jessie. Senyumnya merekah. “Kalau begitu, akan kupastikan kau mendapat seminggu terindah dalam hidupmu.”
Refleks Jessie memeluk Risma erat. “Terima kasih.”
Risma membalas pelukan Jessie dengan canggung. “Padahal aku belum melakukan apapun.”
“Tapi aku sudah senang,” sahut Jessie seraya melepas pelukan.
Risma terkekeh tapi beberapa saat kemudian dia menguap. “Aku tidur duluan.”
“Ini baru pukul sembilan.”
“Tapi aku sudah mengantuk.” Risma meregangkan kedua lengannya. “Kalau kau ingin ditemani, ke teras depan saja. Biasanya Rezka masih belajar di sana.”
“Aku tidak mau ditemani anak kecil.”
Risma mengabaikan ucapan Jessie dan memilih berbaring di salah satu sisi ranjang membelakangi wanita itu. Walau ranjang Risma bukanlah ranjang berukuran besar, tapi cukup untuk tidur berdua.
Sekitar sepuluh menit sejak Risma terlelap, Jessie yang sebelumnya sibuk membalas pesan di sosial media akhirnya merasa bosan. Tidak punya pilihan lain, akhirnya dia putuskan untuk keluar kamar.
Melihat suasana yang tampak sepi, sepertinya orang tua Risma juga sudah tidur. Mereka dua orang tua yang sangat baik. Langsung menerima kedatangan Jessie dengan tangan terbuka. Padahal—seperti yang diceritakan Risma—rumah mereka sempat rusak dilempari batu oleh orang-orang yang tidak suka Juan menginap di sini. Untungnya sang Kakak sangat sigap dan segera mengirim beberapa pekerja untuk memperbaiki kerusakan.
Tiba di teras, Jessie mendapati Rezka tengah berkutat dengan buku-buku di atas lantai dan hanya beralas tikar. Padahal di dekatnya ada empat kursi kayu yang mengitari meja kayu berbentuk lingkaran.
“Kenapa belajar di bawah?” tanya Jessie seraya duduk di salah satu kursi.
“Lebih nyaman di sini,” sahut Rezka sambil lalu tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.
“Kenapa tidak di kamarmu saja?”
“Lebih nyaman di sini.”
Rasanya Jessie ingin memukul kepala Rezka karena mendapat jawaban tak acuh seperti itu. “Jangan salah paham dan berpikir aku sengaja ingin menghabiskan waktu denganmu. Aku belum mengantuk dan merasa bosan di kamar.”
“Aku jadi berpikir begitu setelah kau mengatakannya. Padahal tadi aku tidak berpikir apapun.”
Bibir Jessie terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu namun dia kehilangan kata-kata. Makhluk satu itu sangat berbeda dengan kakaknya. Jessie tak habis pikir bagaimana Risma yang sangat menyenangkan bisa memiliki adik yang sangat menyebalkan seperti itu.
Sementara itu, Rezka juga berpikiran sama tentang Jessie. Dia sungguh merasa heran mengapa Juan yang keren dan tenang bisa memiliki adik cerewet yang tingkahnya kadang melebihi anak kecil. Benar-benar mengganggu.
Mendadak Jessie berdiri. “Lebih baik aku kebosanan di kamar daripada berada di dekat bocah menyebalkan yang bisa membuatku mati berdiri karena kesal.”
Rezka hanya melirik sekilas saat Jessie menghentakkan kaki sambil berjalan cepat kembali ke dalam rumah. Lalu dia mengangkat bahu tak peduli.
***
BRAKK!
PRANGG!
Suara keras memekakkan telinga itu memenuhi seluruh kamar. Bahkan suaranya pun terdengar hingga dapur, membuat para pelayan meringis ngeri.
Viona yang sedang memberi instruksi kepada pelayan di dapur terlonjak kaget. Tanpa bertanya pun dia tahu dari mana asal suara dan bergegas menuju kamar putrinya.
KLEK.
Viona ternganga melihat kamar yang sudah hancur dengan banyak pecahan kaca. Sebagian besar pecahan itu berasal dari botol kaca berisi parfum mahal milik putrinya.
Meski kejadian semacam ini bukan kali pertama terjadi, tapi tetap saja. Viona tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget dan ngeri.
“Kirana, hentikan!” seru Viona saat melihat putrinya tengah mengarahkan sebuah buku tebal ke cerminnya. Viona bergegas menyeberangi ruangan lalu merebut buku tebal itu dari tangan Kirana. “Ada apa? Kenapa kau bersikap seperti ini lagi? Kau mau Mama kirim kembali ke pusat rehabilitasi?”
“ARGHH!”
Bukannya menjawab, Kirana berteriak histeris seraya menarik rambutnya sendiri lalu jatuh bersimpuh di lantai dengan air mata yang membasahi wajahnya.
Viona melemparkan buku di tangannya ke atas ranjang lalu berjongkok di depan Kirana. Sedikit menyentak, dia menarik kedua tangan Kirana yang masih mencengkeram rambutnya.
“Katakan pada Mama, ada apa?” desak Viona.
“Jalang itu—” suara Kirana pelan, nyaris seperti bisikan. “dia menyusul Juan ke Pulau Shelee. Dia pasti hendak merebut perhatian Juan.”
Kening Viona berkerut. “Siapa?”
“Si jalang Jessie!” teriak Kirana.
“Jessie? Jessica Keegan? Adik Juan?” tanya Viona bertubi-tubi.
“Kenapa Mama harus memperjelasnya?!” seru Kirana tak suka.
“Astaga, Kirana! Berapa kali Mama harus bilang. Jessie hanya adik. Dia tidak akan pernah merebut Juan darimu. Seharusnya kau bersikap baik padanya agar dia tidak menjadi penghalang hubunganmu dengan Juan. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuat Jessie membencimu.”
Viona tidak habis pikir dengan sikap putrinya. Dia begitu terobsesi pada Juan. Jangankan Jessie, Kirana sering cemburu pada Mama Juan sendiri.
“Aku tidak bisa berpura-pura baik pada orang yang kubenci, Ma.”
“Kebencianmu pada Jessie tidak masuk akal.”
“Dia terus-menerus mencari perhatian Juan. Sejak kecil seperti itu.”
“Wajar bagi seorang adik ingin diperhatikan kakaknya. Seharusnya kau bersabar dan bukannya malah memusuhi Jessie. Dia pasti akan berhenti mencari perhatian Juan begitu dewasa.”
“Berhenti setelah dewasa?” Kirana tertawa mengejek. “Apa sekarang dia belum dewasa? Kenapa masih terus mencari perhatian Juan?”
“Itu karena kau terlanjur membuatnya kehilangan kasih sayang seorang Kakak saat kecil.” Viona mendesah. “Sebaiknya kau belajar menahan perasaanmu. Jangan sampai Juan tahu sifat aslimu. Kalau tidak, kau akan benar-benar kehilangan Juan.”
“Tapi—”
“Dan belajarlah untuk lebih akrab dengan keluarga Juan. Jangan hanya memonopoli lelaki itu.” Viona sedikit meremas bahu Kirana untuk menekankan maksudnya. Lalu dia berdiri dan meninggalkan wanita itu.
Sebenarnya Viona khawatir hubungan Juan dan Kirana tidak akan berakhir baik mengingat obsesi Kirana pada Juan yang mendekati kegilaan. Tapi dia juga tidak tega memisahkan mereka karena itu akan berdampak buruk pada Kirana. Cemburu saja bisa membuat Kirana hilang kendali seperti ini, apalagi kalau sampai berpisah.
Viona mendesah sedih. Semoga keputusannya membiarkan Juan dan Kirana tetap berhubungan akan berakhir baik. Meski dirinya tergolong wanita nakal yang suka menggoda suami orang, Viona sangat menyayangi ketiga anaknya terutama putri bungsunya ini.
--------------------
♥ Aya Emily ♥