Pagi itu, matahari bersinar cerah, namun hati Nayla terasa suram. Ia menyiapkan sarapan Kayla dengan gerakan lambat. Wajahnya tampak letih setelah malam panjang penuh air mata dan dilema. Anak kecil itu menyadari perubahan ibunya.
“Bunda, kenapa sedih?” tanya Kayla polos sambil menatap wajah Nayla.
Nayla tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Bunda nggak sedih, sayang. Bunda cuma capek.”
Kayla mengangguk, meski belum benar-benar mengerti. Ia lalu makan dengan lahap, seolah memberi ibunya sedikit ketenangan.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Ponsel Nayla berdering—nama Rangga muncul di layar. Nayla terdiam lama, bimbang apakah harus mengangkat atau mengabaikan. Akhirnya, ia menekan tombol hijau.
“Selamat pagi, Nayla. Tidurmu nyenyak?” suara Rangga terdengar hangat, seolah tak ada jarak di antara mereka.
Nayla menarik napas panjang. “Rangga… aku mohon, jangan terlalu sering menelepon. Aku takut salah paham.”
Di seberang, Rangga hening sejenak, lalu berkata pelan, “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku nggak tahan melihatmu memendam semua sendiri.”
Ucapan itu membuat d**a Nayla kembali bergetar. Ia menutup telepon cepat-cepat, lalu meletakkannya di meja. Air matanya menetes, bercampur rasa bersalah.
Sementara itu, jauh di negeri asing, Arka duduk lemah di kursi rumah sakit setelah menjalani kemoterapi lagi. Tubuhnya semakin kurus, kulitnya pucat, dan rambutnya mulai rontok. Namun matanya tetap berusaha memancarkan semangat.
Perawat menyerahkan ponselnya. “Mungkin menelepon keluarga bisa membuat Anda lebih kuat,” ucapnya lembut.
Arka menggenggam ponsel itu erat. Ia membuka aplikasi pesan, menatap foto profil Nayla yang tersenyum bersama Kayla. Jari-jarinya ingin sekali menekan tombol telepon, namun ia kembali menahan diri. Belum saatnya. Aku harus kuat sendiri dulu.
Di sampingnya, Revan, sahabatnya, menghela napas panjang. “Arka, sampai kapan kamu mau merahasiakan ini? Istrimu pasti merasa ditinggalkan.”
Arka menunduk, suaranya serak. “Aku takut, Van. Takut kalau Nayla tahu, dia bakal semakin terbebani. Aku ingin dia bahagia… meski tanpaku nanti.”
Revan menepuk bahu Arka, menahan emosi. Ia tahu, sahabatnya sedang menyiapkan diri pada yang terburuk, tapi ia juga sadar bahwa jarak dan rahasia ini bisa menghancurkan rumah tangga Arka lebih cepat daripada penyakit itu sendiri.
Di rumah, Nayla mencoba menenangkan diri dengan membersihkan ruang tamu. Namun pikirannya tetap kacau. Saat sedang menata buku di rak, matanya jatuh pada album foto pernikahan mereka. Ia membuka halaman demi halaman, melihat senyum lebar Arka yang dulu selalu memberinya rasa aman. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
“Arka… kenapa kamu menjauh dariku?” bisiknya lirih.
Ketukan pintu kembali mengganggu lamunannya. Nayla membuka, dan seperti sudah bisa ditebak, Rangga berdiri di sana dengan ekspresi khawatir.
“Aku kebetulan lewat. Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya sambil membawa seikat bunga mawar putih.
Nayla terdiam. “Rangga, jangan begini. Aku sudah bilang, aku takut salah langkah.”
Rangga menatapnya dengan mata teduh. “Aku tahu kamu masih mencintai Arka. Aku nggak mau merebutmu, Nayla. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku ingin melindungimu. Aku nggak tahan melihatmu sendirian.”
Nayla menelan ludah, dadanya sesak. Ia ingin menolak bunga itu, tapi tangannya justru menerima. Hatinya semakin bingung, seolah terhimpit dua dunia: kesetiaan pada Arka dan kenyamanan yang Rangga berikan.
Malamnya, Nayla kembali duduk di balkon. Kayla sudah tidur, meninggalkan dirinya dengan pikiran yang tak menentu. Di ponselnya, dua pesan muncul hampir bersamaan.
Pesan pertama dari Arka: “Maaf aku sibuk lagi. Aku rindu kalian. Jaga Kayla baik-baik, ya.”
Pesan kedua dari Rangga: “Kalau kamu merasa sendirian, aku bisa datang sekarang.”
Nayla terdiam lama, menatap layar ponselnya dengan air mata berlinang. Dua pria yang sama-sama ia sayangi, namun dengan cara berbeda, sedang menarik hatinya ke arah yang berlawanan.
Di luar negeri, Arka akhirnya tak mampu menahan lagi. Ia menuliskan sebuah surat panjang di laptopnya. Dalam surat itu, ia menceritakan semuanya: tentang kanker yang ia derita, perjuangannya menjalani kemoterapi, dan ketakutannya meninggalkan Nayla seorang diri. Ia menulis dengan air mata jatuh di setiap kata, lalu menyimpan file itu di folder khusus.
“Suatu saat, kalau aku nggak bisa lagi bicara, Nayla harus tahu kebenarannya,” ucapnya pelan, suaranya bergetar.
Revan yang duduk di sampingnya hanya bisa menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, cepat atau lambat, rahasia ini akan terungkap—dan mungkin ketika sudah terlambat.
Sementara itu, Nayla masih menatap layar ponselnya. Ia tak sanggup membalas salah satu pesan pun. Ia hanya menangis, memeluk foto keluarga kecilnya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Malam itu, tiga hati kembali terjebak:
Arka dengan rahasia penyakitnya yang semakin berat.
Nayla dengan godaan dan kesetiaan yang bertarung dalam dirinya.
Rangga dengan kesabaran penuh perhitungan, menunggu celah yang semakin lebar.
Dan di balik diam yang semakin dalam, badai besar sedang menanti untuk pecah.
Angin malam semakin kencang, membuat rambut Nayla berantakan. Ia menggenggam ponsel erat-erat, menatap dua pesan itu lagi dan lagi. Jarinya bergetar, seolah ingin membalas salah satunya, tetapi setiap kali ia mencoba, hatinya menjerit menolak.
“Aku harus bagaimana…” bisiknya lirih.
Hatinya seakan terkoyak dua arah. Pada satu sisi, Arka—cinta sejatinya, ayah dari Kayla, pria yang dulu berjanji selalu ada untuknya. Namun kini, Arka terasa jauh, dingin, menyimpan sesuatu yang tidak ia mengerti. Pada sisi lain, Rangga—teman lama yang selalu ada, yang kehadirannya nyata, hangat, dan menenangkan di saat ia hampir tak kuat lagi.
Nayla menutup mata, air matanya jatuh deras. Ia merasa bersalah hanya dengan membayangkan nama Rangga berdampingan dengan Arka di pikirannya. Apakah aku istri yang buruk? Atau hanya wanita rapuh yang terlalu lelah menunggu?
Di negeri jauh, pada saat yang sama, Arka terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya menggigil, namun ia tetap memeluk ponselnya di d**a. Dalam hatinya, hanya ada doa lirih: “Tuhan, jaga Nayla. Jangan biarkan dia merasa sendirian.”
Sementara itu, di rumahnya, Rangga duduk sambil menatap layar ponsel, menunggu tanda balasan dari Nayla. Senyumnya tipis, matanya penuh arti. Ia tahu kesabaran akan membuahkan hasil. Ia tahu Nayla semakin goyah.
Malam itu, tiga hati yang saling terikat berada di titik terendah masing-masing.
Nayla menangis dalam sepi.
Arka berjuang sendirian dengan rahasia yang melemahkan tubuhnya.
Rangga menunggu celah yang lebih besar untuk masuk.
Dan langit malam seolah ikut menyimpan rahasia mereka—diam, pekat, dan menekan, seakan badai besar sudah berdiri di ambang pintu.