Bab 10 – Godaan yang Membesar

1084 Words
Minggu itu terasa semakin berat bagi Nayla. Kesibukan harian, mengurus Kayla, dan rumah yang sunyi semakin menekan perasaannya. Arka yang biasanya rutin menelepon, kini hanya mengirim pesan singkat sesekali. Nada suaranya terdengar tergesa-gesa, seolah menutupi sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan. Nayla berusaha menahan rindu dan rasa cemasnya, tetapi kesepian semakin menghimpit hati. Rangga, di sisi lain, tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Ia muncul di depan rumah Nayla dengan senyum yang hangat. “Aku pikir mungkin kamu ingin ditemani sebentar. Kamu kelihatan lelah,” katanya lembut. Nayla menghela napas panjang. Ia tahu maksud Rangga bukan sekadar peduli. Tapi hatinya merasa lega dengan kehadirannya. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri, “Aku baik-baik saja.” Rangga tersenyum tipis, tapi matanya penuh arti. “Kamu nggak perlu pura-pura di depanku, Nayla. Aku tahu betapa sulitnya membesarkan Kayla seorang diri dan menahan semua sendiri.” Perkataan itu menembus hati Nayla. Ia menatap Kayla yang bermain di dekatnya, lalu kembali menatap Rangga. Perhatian Rangga membuatnya merasa hangat, tetapi sekaligus bersalah. Ia mulai bertanya-tanya, apakah Arka benar-benar ada untuknya atau terlalu jauh untuk mengerti kesepiannya. Sore itu, Nayla mencoba fokus pada pekerjaan rumah, tetapi pikirannya terus melayang pada Rangga. Setiap pesan, setiap senyum, setiap perhatian kecil yang diberikan Rangga membuat hatinya berguncang. Ia menyadari dirinya mulai goyah, berada di persimpangan antara kesetiaan dan godaan yang semakin nyata. Di luar negeri, Arka merasakan tubuhnya semakin lemah. Setiap langkah terasa berat, napas tersengal, dan sakit yang ia rasakan kian memburuk. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menceritakan semuanya, tapi ia takut menambah beban di hati sang istri. Diamnya menjadi satu-satunya cara ia melindungi Nayla, sekaligus menjaga harga diri dan cinta mereka dari jauh. Malam itu, Nayla duduk di balkon, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. Keraguannya semakin membesar, godaan Rangga semakin terasa nyata, dan kondisi Arka semakin menekan jiwanya. Titik retak hati Nayla kini semakin nyata—menghadirkan ujian cinta yang paling sulit dalam hidupnya. Hari-hari berikutnya, Nayla merasakan tekanan yang semakin berat. Kesibukan mengurus Kayla dan rumah yang sepi membuatnya lebih sering termenung, menatap ponsel dengan harapan Arka menelepon. Namun, yang muncul hampir selalu Rangga—dengan pesan, telepon, atau kehadiran yang membuat hatinya bergetar. Suatu sore, Nayla berada di kafe sambil menunggu Kayla selesai mengikuti kelas seni anak-anak. Rangga muncul lagi, duduk di meja sebelah, tersenyum hangat. “Aku nggak ingin mengganggu, tapi aku pikir kamu mungkin butuh teman bicara,” katanya lembut. Nayla menunduk, mencoba menenangkan diri. “Aku… aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meski hatinya bergetar. Rangga menatapnya, penuh arti. “Kamu nggak perlu menahan diri. Aku tahu kesepian bisa sangat menyiksa, terutama ketika orang yang kamu cintai jauh darimu.” Kata-kata Rangga menusuk hati Nayla. Ia merasa hangat sekaligus bersalah. Ia ingin tetap setia pada Arka, tapi perhatian Rangga terasa seperti pelipur lara yang sulit ia tolak. Ia menatap Kayla yang bermain di dekatnya, lalu kembali menunduk, menahan rasa yang mulai tergoda. Malam itu, Nayla duduk di balkon, menatap langit gelap, memikirkan Arka yang jauh di negeri asing. Tubuhnya terasa lelah, hatinya rapuh. Ia tahu hatinya mulai retak, tapi ia tak tahu bagaimana menahannya. Sementara itu, Arka semakin menunjukkan tanda-tanda kondisi fisik yang memburuk. Setiap langkah terasa berat, napas tersengal, dan sakit yang ia rasakan semakin menekan. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menceritakan semuanya, tapi takut menambah beban di hati istrinya. Diamnya menjadi satu-satunya cara untuk menjaga cinta mereka tetap utuh. Di sisi lain, Rangga semakin agresif memanfaatkan setiap celah. Ia hadir ketika Nayla lelah, kesepian, atau sedang memikirkan Arka. Setiap perhatian kecilnya membuat Nayla terguncang, hatinya berada di persimpangan antara kesetiaan dan godaan yang semakin nyata. Malam itu, dunia Nayla, Rangga, dan Arka tetap terpisah oleh jarak, rahasia, dan godaan. Titik retak hati Nayla semakin nyata, menunggu momen yang akan menentukan apakah cinta mereka mampu bertahan atau hancur di hadapan godaan yang mengintai. Malam itu, Nayla duduk di balkon rumah, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya terasa tak tenang. Setiap detik terasa berat, seolah dunia menahan napas menunggu keputusan yang tak kunjung datang. Bayangan Arka dan Rangga silih berganti di pikirannya, membuat hatinya semakin bingung dan rapuh. Setiap pesan Rangga, setiap senyum hangat, dan setiap perhatian kecilnya terasa manis, sekaligus menyesakkan hati. Nayla ingin tetap setia pada Arka, tetapi jarak dan kesepian membuat hatinya mulai tergoda. Ia menatap foto Arka dan Kayla di tangannya, menahan air mata yang jatuh perlahan. Di luar negeri, Arka menatap jendela rumah sakit, menahan rindu, sakit, dan rahasianya sendiri. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menceritakan perjuangan melawan penyakitnya yang semakin berat, tapi ia takut menambah beban di hati sang istri. Diamnya menjadi satu-satunya cara untuk menjaga cintanya tetap utuh, sekaligus melindungi Nayla dari kesedihan yang belum ia siap hadapi. Sementara itu, Rangga tersenyum di rumahnya, menyadari celah yang mulai terbuka di hati Nayla. Ia tahu kesepian dan jarak telah melemahkan pertahanan hati sang istri, dan ia siap memanfaatkan momen ini untuk semakin mendekat. Malam itu, tiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—terjebak dalam kesunyian, keraguan, dan godaan. Titik retak hati Nayla semakin nyata, menunggu satu momen yang akan menentukan arah hidupnya. Apakah cintanya tetap utuh, atau godaan Rangga akan menghancurkan segalanya? Diam, kesepian, dan keraguan menjadi saksi bisu ujian cinta yang paling sulit, meninggalkan hati Nayla tergantung di antara setia dan tergoda, sementara tak ada yang tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Malam itu, Nayla masih duduk di balkon, memeluk secangkir teh yang sudah dingin. Hatinya campur aduk: rindu pada Arka, rasa bersalah karena mulai tergoda Rangga, dan kekhawatiran akan masa depan keluarganya. Angin malam membawa aroma hujan yang samar, tapi tak mampu menenangkan kegelisahan yang menumpuk. Ia menatap foto Arka dan Kayla di tangannya, merasakan kesedihan yang mendalam. “Arka… aku ingin tetap setia, tapi rasanya aku mulai rapuh,” bisiknya pelan, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Di sisi lain, Rangga tersenyum tipis saat mengirim pesan terakhir malam itu. Ia tahu Nayla mulai goyah, dan setiap kata, setiap perhatian yang ia tunjukkan semakin menekan hati Nayla. Ia menunggu satu momen yang tepat untuk semakin dekat, memanfaatkan jarak yang memisahkan Nayla dari Arka. Sementara itu, Arka jauh di negeri asing menahan rasa sakit dan rindu yang sama. Ia memilih diam, berharap Nayla tetap kuat, meski tak menyadari bahwa godaan Rangga mulai menyusup di hatinya. Malam itu, ketiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—terjebak dalam diam, jarak, dan godaan. Titik retak Nayla semakin nyata, menandai ujian cinta yang paling berat dalam hidupnya. Semua menunggu satu momen yang akan menentukan apakah cinta dan kesetiaan Nayla mampu bertahan, atau hancur sebelum kebenaran Arka terungkap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD