Pagi itu, udara rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Suara langkah perawat yang berlalu-lalang, bau antiseptik yang menusuk hidung, dan suara mesin monitor detak jantung Arka yang berdetak teratur, semuanya menambah sesak di d**a Nayla. Semalaman ia tidak tidur, memilih berjaga di samping tempat tidur Arka, menggenggam tangannya erat-erat. Arka tampak lebih tenang, meski tubuhnya masih lemah. Sesekali ia terbatuk, dan setiap kali itu terjadi, Nayla buru-buru meraih segelas air atau memanggil perawat. Wajah Nayla tampak pucat, matanya sembab, tapi ada sinar berbeda di sana: sinar tekad. “Ka,” ucap Nayla lirih ketika Arka mulai membuka mata. “Jangan pernah sembunyi lagi dari aku. Aku lebih takut kalau kamu diam daripada kalau kamu cerita yang sebenarnya.” Arka menatapnya dalam h

