BAB 11 LOYALITAS

1376 Words
"Aku bisa membayarmu dua kali lipat dari apa yang di berikan mereka." kata Eric yang bahkan enggan untuk sekedar menyebut orang tuanya. Sekali lagi Emy mengingatkan dirinya sendiri 'dia tidak ingin terlibat apapun masalah intern Eric dan orang tuanya! ' tegas Emy dalam hati. "Kau hanya perlu sekali menjawab, ya atau tidak, aku akan memegang kata-katamu dan kau bisa memegang janjiku," jeda Eric sejenak untuk memberi kesempatan Emy berpikir. "Jika kau memberikan loyalitasmu padaku aku bersumpah akan menjagamu. Kau tidak perlu takut pada siapapun dan kupastikan tidak ada yang mendengar percakapan kita kali ini." Dari cara bicara Eric, tiba-tiba Emy merasa seperti hendak dilibatkan pada suatu kejahatan dan wajar saja jika dia mulai khawatir. Emy segera mengetuk tiga kali. Eric mengulurkan tangannya dengan tenang dan Emy pun memberanikan diri untuk mendekat.  Karena Eric masih duduk di sofa sehingga Emy harus setengah berjongkok untuk bisa penulis. [Apa yang harus kulakukan untukmu?] Bagaimanapun Emy tidak bodoh, dan bahkan mulai curiga jika Eric sengaja meliburkan semua orang hanya untuk membahas ini. "Aku benar-benar tidak tahu siapa yang akan loyal padaku, aku menawarkan kepercayaanku padamu dan kau tinggal menjawab ya atau tidak!" tegas Eric yang kali ini juga ikut mencondongkan tubuhnya pada Emy. Emy masih menatap sepasang Netra jernih Eric, rasanya mustahil jika pria itu tidak bisa melihatnya. Karena jujur saja Emy gugup dan tidak bisa berpikir saat tiba-tiba sudah mengetuk dua kali yang artinya 'Ya!' "Kau bisa memegang janjiku! " ulang Eric ketika menahan tangan Emy dan menggenggamnya erat sampai gadis itu sempat khawatir jika mungkin telah sembrono membuat keputusan yang ceroboh. Emy kembali mengetuk tiga kali dan barulah Eric melepaskan tangannya. [Kenapa aku? "] tulis Emy di telapak tangan Eric yang ternyata terasa hangat. Sebenarnya Eric adalah orang yang sangat jeli dan tidak akan sembarangan, pasti diam-diam dia juga sudah mengamati siapa yang layak untuk dia beri kepercayaan. "Kita tidak jauh berbeda!" tegas Eric, singkat. Bagi Emy artinya, Eric memberinya kepercayaan hanya karena mereka sama-sama senasib ' si buta dan si bisu!' Kenapa tiba-tiba Emy merasa hal itu sangat mengerikan. Karena pastinya akan semakin celaka jika Eric sampai mengetahui kebohongannya. Untung Eric tidak bisa melihat kegugupannya, tapi bagaimana jika nanti sampai kebohongannya benar-benar terbongkar. Sungguh Emy tidak sanggup membayangkan hal itu sekarang. Tapi sepertinya Emy memang sudah terlanjur melangkah dan tidak bisa kembali sesuka hati. "Mulai sekarang kau hanya akan loyal padaku, karena itu dengarkan apa yang harus kau lakukan!" Eric benar-benar mengucapkan setiap katanya dengan jeli, "Pertama,  mungkin aku akan melibatkanmu pada beberapa kejahatan kecil. Karena itu kuharap kau jangan terlalu mengunakan perasaanmu untuk bersimpati sebab kita tidak pernah tahu siapa yang benar-benar berada di pihak kita. Kau hanya boleh mendengarkanku, karena mulai hari ini kau akan bekerja padaku!" tegas Eric, seolah benar-benar bisa melihat Emy dengan sepasang Netra gelapnya yang pekat. "Dan satu lagi, berhentilah mengirim laporan kegiatan apapun pada ayahku!" Bohong jika Emy tidak sedang terkejut 'memang dari mana Eric tahu jika dirinya selalu mengirim laporan pada Mr. Hardy?' pikir Emy mulai panik. 'Atau jangan-jangan Eric juga hanya berpura-pura buta sama seperti dirinya yang berpura-pura bisu?' Semua pikiran itu semakin mengerikan untuk sekedar dibayangkan. Karena rasanya memang sangat tidak masuk akal jika seorang yang bahkan tidak bisa melihat bisa membuatnya sangat terintimidasi seperti ini. Emy sadar jika Eric akan melibatkannya pada masalah. "Sementara itu saja dulu yang perlu kau lakukan, karena sepertinya aku tidak perlu lagi menyuruhmu tutup mulut." Eric sudah berdiri dan hendak pergi saat Emy buru-buru kembali mengetuk tiga kali. [Ayahmu akan curiga jika aku sama sekali tidak memberinya kabar] "Tulis apa saja yang membuatnya senang,"  acuh Eric yang kemudian tetap pergi mengabaikannya. Emy masih berdiri bengong dan merasa bodoh, sangat bodoh! Bagaimana pun Emy tidak pernah membenci Mr. Hardy, bahkan pria itu sudah terlalu baik sebagai orang tua.  Apa lagi Mr. Hardy lah yang telah memperkerjakannya sejak awal. Jika sekarang tiba-tiba dirinya harus jadi penghianat tentu akan ada perasaan berdosa luar biasa yang harus dia tanggung seperti ini. Sialnya kenapa hal itu tidak terpikirkan olehnya sejak tadi. Sampai di sini Emy sama sekali belum tahu kenapa Eric bisa sangat benci orang tuanya dan bagaimana tiba-tiba  dirinya jadi ikut terlibat seperti ini.  Sebenarnya Emy ingin sekali menelepon Anna untuk sedikit membagi masalahnya tapi di belum berani karena takut ketahuan Eric. Mungkin Emy bisa menunggu sampai jam tidur siang. Tapi Emy bukan tipe orang yang pandai berbohong karena itu dia benar-benar tidak tahan jika harus gelisah sendiri seperti ini. "Lola! " panggil Eric dari ruang kerjanya dan Emy pun buru-buru berjalan cepat sampai hampir tersandung ubin yang rata. Saat Emy masuk ke ruangan  Eric,  pria itu sedang duduk di kursi berlapis kulit dengan sandaran tinggi sembari mengetuk-ngetuk kan ujung pena di atas meja. "Tutup pintunya!" perintah Eric yang sudah mendengar kedatangan Emy dari langkah kakinya yang ceroboh dan terburu-buru. Setelah menutup pintu Emy langsung berjalan menghampiri meja Erik. "Aku akan memberimu beberapa pasword kau harus menghafalnya dan jangan pernah mencatatnya di manapun!" Emy mengangguk karena selalu  lupa jika Eric tidak bisa melihatnya. Eric memiliki tatapan yang intens meski dia tidak bisa melihat, sama sekali tidak seperti orang buta yang biasanya hanya memiliki tatapan kosong. Mungkin karena Eric masih bisa melihat siluet cahaya. Setelah menyalakan layar laptop di depannya, sekali lagi Eric kembali mengingatkan Emy, "Kau harus menghafal lebih banyak dan ikuti semua instruksiku." Emy tidak tahu apa yang diketik Eric di layar laptopnya. Meskipun dia tidak bisa melihat tapi sepertinya benda tersebut memang sudah di pasang piranti khusus yang hanya mendeteksi sentuhannya. "Kemari! " panggil Eric agar Emy mendekat. Emy ikut memperhatikan tabel di layar yang sama sekali tidak bisa dia baca karena memiliki tanda petik yang aneh semacam bahasa Slovak. "Ketikkan kode ini di kolom berwarna merah." Eric mendiktekan beberapa kombinasi angka dan huruf yang sangat rumit dan sama sekali tidak bisa Emy ingat. "Masuk dan pilih kolom biru. " Eric kembali mendiktekan beberapa kombinasi angka, selanjutnya Emy hanya mengikuti semua instruksinya. Sebuah data semacam laporan keuangan mulai terbuka di layar satu persatu. Eric terus membimbing Emy untuk mengikuti semua perintahnya. "Sebutkan saja kolom terakhir. " Emy menulis nominal tersebut di tangan Eric. "Pindahkan dan simpan semua file transaksi yang kau buka tadi." Emy mengikuti semua instruksi Eric dengan patuh meski pinggangnya mulai kaku karena harus berdiri sambil merunduk ke meja. Emy memberi tahu Eric jika tugasnya sudah selesai dan baru sadar jika yang dia buka tadi mungkin semacam situs peretas yang bisa mencuri data yang bahkan sudah di proteksi dengan scurity tinggi. Karena harusnya mustahil bisa memindahkan dana seperti itu tanpa diketahui. "Apa kau bisa mengingat sandi terakhir yang kuberikan tadi? " Emy mengetuk satu kali, artinya tidak. Emy hanya tidak menduga jika kemudian Eric meraih tangannya dan menulis ulang rangkaian angka tersebut di telapak tangan Emy. "Akan kutulis lagi jika kau belum ingat. " Tapi nyatanya Emy memang belum ingat dan dia pun mengetuk sekali lagi. "Duduklah. " Eric menepuk bantalan kursinya agar Emy duduk di sana. Meski awalnya masih enggan tapi akhirnya Emy ikut duduk juga karena Eric masih memegangi telapak tangannya. "Akan kutulis sampai kau benar-benar ingat." Tadi ya Emy pikir Eric hanya bercanda tapi ternyata dia benar-benar melakukannya. Menulis rangkaian huruf dan angka tersebut di telapak tangan Emy berulang-ulang. 'Tapi sumpah sandi itu sangat rumit' pikir Emy. Lantas bagaimana dia bisa mengingatnya. Walaupun sampai sore sekalipun Emy tidak yakin bakal bisa mengingat setengahnya. Apalagi dengan posisi duduknya seperti itu. Sangat tidak nyaman dan sama sekali tidak bisa membantunya fokus. Akhirnya Emy mengetuk tiga kali dan buru-buru meraih telapak tangan Eric yang gantian di serahkan padanya. [AKU LAPAR!] tulis Emy dengan huruf kapital lengkap dengan tanda seru. Sebenarnya dia tidak benar-benar lapar tapi memang hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal agar dia bisa kabur. "Pesan saja makanan jangan masak lagi." Emy sempat cemas jika masakannya benar-benar payah sampai Eric melarangnya membuat makanan. "Istirahatlah, biar aku yang pesan makana, kau pasti capek" tambah Eric yang sudah bangkit berdiri lebih dulu dan berjalan keluar. Emy buru-buru menyusul karena bagaimanapun ternyata dia tidak mau di tinggal seorang diri di ruang kerja Eric yang lumayan gelap dan jarang disambangi itu. Entah kenapa sepertinya Emy masih agak parno akibat pembicaraan mereka tadi pagi. Padahal Emy juga tidak yakin orang macam Eric bakal percaya mengenai wanita cantik di balkon kamarnya. "Kau boleh istirahat, tidak perlu mengikutiku, " tegur Eric karena mendapati Emy yang masih saja mengekor di belakangnya. "Nanti akan kupanggil jika makanan kita sudah datang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD