PROLOG
Menikah tanpa cinta, karena perjodohan.
Sharvani Nandita Yaswini selalu berpikir hal semacam itu hanya terjadi dalam novel atau drama. Namun, kenyataannya, justru menimpa hidupnya sendiri.
Dia menikah dengan Galindra Rakha Wiratama bukan karena kehendaknya, melainkan karena sebuah wasiat. Dahulu, kakek mereka adalah sahabat karib yang membuat kesepakatan tertulis untuk menjodohkan anak-anak mereka. Namun, karena yang terlahir dari kedua keluarga sama-sama laki-laki, wasiat itu pun diwariskan kepada cucu mereka. Pada akhirnya, Sharvani dan Galindra yang harus menanggung konsekuensi dari perjanjian lama yang tak pernah mereka inginkan.
Tidak ada pertimbangan, tidak ada pilihan. Pernikahan ini bersifat mutlak—tidak bisa diganggu gugat. Suka atau tidak, setuju atau tidak, mereka tetap harus menikah.
Lalu, hari itu pun tiba. Mereka berdiri di pelaminan, mengucapkan janji suci di hadapan banyak orang. Menyematkan cincin sebagai simbol ikatan. Memaksakan senyum, seolah semuanya berjalan sebagaimana mestinya.
Namun, begitu tamu undangan pulang dan lampu pesta dipadamkan, sandiwara mereka berakhir.
Di rumah pengantin baru yang diberikan oleh keluarga, mereka akhirnya mengungkapkan kebenaran.
“Aku sudah punya kekasih.”
Dan ternyata, bukan hanya Sharvani. Galindra juga.
Sebuah kelegaan terbesit di antara mereka—setidaknya, kini tak ada rahasia, tak ada rasa bersalah. Pernikahan ini hanyalah formalitas, sebuah kesepakatan tanpa perasaan.
Mereka membuat aturan. Di depan keluarga dan publik, mereka pasangan suami istri. Tapi di balik pintu rumah ini, mereka hanyalah dua orang asing yang berbagi atap. Tak ada cinta, tak ada romantisme. Berinteraksi hanya jika perlu. Mereka akan menjalani kehidupan masing-masing.
Dan satu tahun. Itu batas waktu yang mereka sepakati.
Setelahnya, mereka akan berpisah.
Mereka pikir segalanya sudah jelas. Bahwa pernikahan ini hanya sementara. Bahwa rencana mereka tidak akan berubah.
Namun, manusia hanya bisa berencana.
Takdir selalu punya caranya sendiri untuk mengacaukan segalanya.
***