bc

Fenomena di malam Kelahiran

book_age18+
65
FOLLOW
1K
READ
kickass heroine
drama
mystery
lucky dog
pack
enimies to lovers
war
like
intro-logo
Blurb

"Aku tidak percaya bahwa kebaikan mereka meminta balasan dariku."

chap-preview
Free preview
1. Gerhana Bulan Masa Liera
Eriala, seorang gadis remaja berkulit putih kuning yang mengenakan kemeja putih berlapis rompi hijau dengan rok hitam yang panjangnya menutupi sampai lutut, bermata sipit dengan hidung kecil dan bibir yang tipis membuat wajahnya semakin terlihat oriental. Rambutnya berwarna merah jambu, terurai sampai ke punggung. Badannya membungkuk ke arah atas tempat tidur menghadap sebuah tas ransel berwarna hitam yang terbuka. Kedua tangannya terlihat sangat sibuk untuk memasukkan beberapa pasang pakaian yang tertumpuk di atas tempat tidur ke dalam tas ransel hitam tersebut. Kedua bola matanya yang berwana senada dengan rambutnya tampak berembun, dan detik berikutnya saat ia mengedipkan kedua matanya, air mata mulai keluar dan mengalir membasahi kedua pipinya, lalu mengalir lagi sampai ke ujung dagu. Satu per satu butiran air mata menetes dari dagu dan mendarat tepat di atas tumpukan pakaian dalam ransel hitam di depannya "Eriala, buka pintunya sekarang!" Suara bentakan kasar dan berat seorang lelaki terdengar dari arah luar pintu yang tertutup, lalu diikuti dengan suara pukulan pintu yang cukup keras sehingga membuat lantai keramik dalam kamar sedikit bergetar. "Ayah, jangan kasar terhadap anak kita," tambah suara lembut seorang wanita yang juga terdengar dari arah luar pintu kamar tertutup itu. "Sayang, tolong buka pintunya, ini ibu, ..." Suara lembut dari seorang wanita kembali terdengar, "... bisakah kita bicara sebentar saja?" Eriala mendengar ucapan kedua orang yang berasal dari arah luar pintu kamarnya. Ia menghela nafas dengan kasar dan kedua tangannya tampak menggenggam erat hampa. Detik selanjutnya, Eriala beranjak tegap sembari berbalik badan membelakangi tas ransel hitam di atas tempat tidur, kemudian menghempas duduk di ujung sisi tempat tidur dengan kedua kakinya yang menjuntai ke bawah. Badannya kembali menunduk, kedua tangannya ditekuk dengan siku bertopang di atas kedua lututnya, lalu wajahnya tenggelam di dalam kedua telapak tangannya. Basah mulai terasa di indera peraba telapaknya. Ia kembali terisak membuat wajahnya semakin basah karena air mata. "Kenapa! Kenapa aku besar di antara orang-orang bodoh ini!" batin Eriala di sela isakan tangisnya yang semakin dalam. "Eriala, buka!" bentak seorang lelaki bersuara besar yang terdengar dari balik pintu kamar. "Sudah Ayah, jangan menunjukkan sikap kasar terhadap anak kita," timpal seorang wanita terdengar pelan. Walaupun pelan, Eriala yang ada di dalam kamar masih bisa mendengarnya. Eriala menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan setelah hujan di batinnya mereda. Kedua tangannya mengusap pipinya yang basah bergantian. Detik berikutnya, kedua kakinya mendarat di atas sepasang sandal yang tergeletak di permukaan lantai ubin bersamaan dengan tubuhnya yang beranjak berdiri. Badannya ia palingkan ke belakang sembari mengulurkan tangan kanannya untuk meraih tas ransel hitam yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Setelah menggantung tas ransel ke belakang badannya, kedua kakinya mulai melangkah ke arah meja belajar yang dihiasi sebuah lampu belajar. Cahaya dari lampu belajar tersebut menyorot ke arah secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Eriala mengulurkan tangan kanannya untuk meraih secarik kertas tersebut. Kedua matanya terpaku menatap kalimat-kalimat yang sebelumnya sudah ia tulis. Detik berikutnya, secarik kertas itu kembali ia letakkan ke atas meja belajar, lalu diambilnya sebuah buku dan ditindihkannya di atas secarik kertas tersebut dan menyisakan sedikit sudut kertas agar bisa terlihat. Senyuman lega mulai terkembang di bibirnya. "Eriala! Kalau kamu tidak mau membuka pintu kamarmu, ayah akan membukanya dengan paksa!" Eriala mendengar suara bentakan ayahnya dari arah pintu kamarnya. Ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup dan menatapnya dengan tatapan dingin. Kecewa, hanya itu yang dapat tergambar di raut wajahnya. *** Sebuah lorong ruangan dengan dindingnya yang berlapis emas dan cahaya putih terang dari lampu-lampu kristal yang melekat di langit-langit di sepanjang lorong membuat gambaran semakin jelas dan detail. Beberapa pintu berlapis perak berjejer dengan jarak delapan meter untuk tiap pintu yang berada di sisi kanan lorong, dengan sepasang pilar berwarna tembaga yang menjadi hiasan di sisi kanan dan kiri pintu. Seorang lelaki paruh baya yang mengenakan kemeja putih dengan rompi jas hitam, warna dasinya senada dengan jas yang dia kenakan dengan celana tuxedo yang juga senada, Ia bernama Pyira, di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota perak. Di samping Pyira, berdiri seorang wanita yang juga sebaya dan merupakan istri Pyira yang bernama Zian. Zian, seorang wanita paruh baya yang mengenakan gaun putih dengan kerlap-kerlip bagaikan kristal di setiap juntaian gaun yang ia kenakan, di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota yang ukurannya sedikit lebih kecil dari mahkota perak yang dikenakan suaminya. Mahkota yang terbuat dari kaca dan membuat warnanya senada dengan gaun yang ia kenakan. Mahkota itu menutupi rambut hitam yang panjangnya di atas bahu. Pyira dan Zian istrinya sedang berdiri di luar kamar, di depan pintu tertutup. "Sudah, Yah... Ayah jangan menunjukkan sikap kasar seperti itu terhadap anak kita, ..." ucap Zian pelan sambil memegang pundak suaminya dan mencoba meredakan emosi suaminya yang berdiri di sampingnya, "... Ingat, Eriala anak tunggal kita yang sangat berharga, dan secara langsung dia merupakan satu-satunya penerus yang akan melanjutkan tradisi turun-temurun di keluarga kita, Yah." "Kamu selalu saja memanjakan anakmu!" bentak Pyira menunjuk wajah Zian dengan tatapan penuh amarah, "... Itu sebabnya dia menjadi berani membantah pada kita seperti yang dia ucapkan tadi!" Bentakannya sontak membuat wanita di hadapannya gemetar saat menatap pancaran aura merah yang berpendar keluar dari kedua matanya. Zian menundukkan wajahnya, dan tanpa sadar air matanya telah mengalir di kedua pipinya sampai ke dagu dan menetes ke atas lantai keramik. Isakan tangis pun mulai terdengar. Pyira langsung menghela nafas panjang untuk meredam emosinya saat melihat tetesan air mata yang jatuh dari wajah seorang wanita yang ia cintai. Pancaran aura merah di kedua matanya mulai menghilang bagaikan uap air yang menyatu dengan udara di sekelilingnya. Detik berikutnya, kedua tangannya terulur dan mendarat di atas kedua pundak Zian istrinya, membuat Zian menghentikan isakan tangis lalu mengangkat kepalanya dan menatap wajah Pyira sehingga terlihat jelas aliran air mata menganak sungai di kedua pipi Zian. "Aku minta maaf telah membuatmu meneteskan air mata lagi, Zian," ucap Pyira pelan sambil menatap iba kesedihan yang tercurah di wajah wanita di hadapannya, "... Tapi, kita sebagai orang tua seharusnya bisa lebih tegas padanya, agar dia tidak berani bertindak semaunya." "Kau selalu tidak bisa mengendalikan amarahmu, ..." Zian kembali menunduk, "... Aku, aku tahu bahwa tradisi ini harus dilaksanakan secepatnya sebelum Gerhana Bulan masa Liera berakhir, tapi...." Perkataan Zian terhenti karena isakan tangis kembali muncul. "Sudah, istriku." Pyira langsung menenggelamkan tubuh Zian ke dalam pelukannya, membuat kedua tangan Zian terulur untuk membalas pelukan itu sehingga menjadi semakin erat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.1K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.0K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook