bc

DIRTY BABY

book_age18+
3.0K
FOLLOW
15.8K
READ
billionaire
murder
revenge
dark
possessive
scandal
drama
tragedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Ketika kau berhadapan dengannya, dia adalah ujian terberat. Aroma tubuh, suara, seutas senyum dan gerakan lembutnya mampu meluluhkanmu. Berada di dekatnya, kau seperti terhipnotis. Namun dibalik kelembutannya, ada sosok yang seringkali rasa takut itu menjalar sampai menyentuh jiwamu. Kejadian tragis dimasa lalu telah melahirkan sosok iblisnya. He's devil man! Dangerous!

Rexford Mackenzie (27), siapa yang tidak mengenalnya? Fisik dan kastanya mampu menjajah hati para wanita. Bahkan bisa membuat kaum pria lain menyembunyikan wajah karena malu, merasa tersaingi dan memiliki impian besar sepertinya. Reputasinya sebagai Trillionaire menyeruak bebas sampai ke ujung dunia. Pengusaha properti itu mengawali kesuksesan sejak berusia 20 tahun.

Takdir adalah alasan yang kerap kali menjadi jawaban mengapa sesuatu bisa terjadi. Siapa sangka hanya karena hutang, Rex menemukan dunia barunya. Bukan hanya tinggal di istana megahnya, Litzi Euniciano (17) juga singgah dalam hatinya. Luxurious, genius, charming, hot, romance and dangerous. Setelah reputasi-reputasinya itu, Rex mendapat julukan khusus dari gadisnya.

"You're my dirty baby," ucap Litzi.

Rex tersenyum. "Of course. Just your dirty baby."

Segalanya saling berhubungan hingga kata kebetulan tidak tepat atas semua yang terjadi. Rencana Tuhan memang penuh misteri. Senyum, tawa, jeritan dan air mata kan menghiasi kisah ini. Siapkah kalian untuk mengikuti tiap alurnya? Kesedihan yang teramat sangat dan kebahagiaan yang luar biasa.

*****

• Mackenzie Series

Telah dibaca 20,6M di Wp

• Wp : PuspitaRatnawati

• IG : @puspitaratnawati , @mkzie_series

DON'T COPY PASTE!

DON'T REMAKE MY STORY!

****

Happy Reading!

chap-preview
Free preview
PROLOG
Madrid, Spanyol. Rexford Mackenzie, siapa yang tidak mengenalnya? Fisik dan kastanya mampu menjajah hati para wanita. Bahkan bisa membuat kaum pria lain menyembunyikan wajah karena malu, merasa tersaingi dan memiliki impian besar sepertinya. Rexford Mackenzie, seseorang yang memiliki reputasi besar seperti Ayahnya -Allard Mackenzie- yang seorang Billionaire. Akan tetapi reputasinya jauh lebih besar karena mengalahkan kesuksesan sang Ayah, Rex seorang Trillionaire ternama. Sosok yang berkuasa sepertinya, bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Reputasinya sebagai trillionaire menyeruak bebas sampai ke ujung dunia. Pengusaha properti itu mengawali kesuksesan sejak berusia 20 tahun, hingga sampai saat ini bahkan mungkin selamanya, selagi garis takdirnya terus ditahtai oleh keberuntungan. Begitu mendengar nama "Rex" semua orang akan tersenyum dan membayangkan betapa sempurnanya dia. Seakan-akan Tuhan mengatakan kata "sempurna" ketika menciptakan Rexford Mackenzie. Namun dibalik semua itu, ada satu hal yang tidak atau belum mereka ketahui. Rex berada di lantai paling atas sebuah gedung klasik, berdiri di tepi teras dengan memasukan tangannya ke dalam saku celananya. Pria tampan itu memandangi keindahan kota Madrid di sore hari dari atas. "Hello, Mr. CEO!" Rex menoleh dan ternyata Kharel. Adik keempatnya itu memang berada di Spanyol untuk urusan bisnis dengannya. Kharel Mackenzie, CEO di salah satu cabang MKzie Group yang ada di Paris. Ia tak kalah tampan dengan Rex dan kedua kakak kembarnya yang berada di New York serta Las Vegas. "Kenapa kau ada disini?" tanya Rex. "Tadi aku ke ruanganmu, tapi kau tidak ada disana. Sekertarismu bilang, kau pergi kemari," jawab Kharel yang berdiri disampingnya. Rex memalingkan wajahnya. Kharel mengernyit, menatap intens raut wajah kakaknya itu. "Ada apa?" pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Kharel. Rex menoleh dan mengerutkan dahi, "Kenapa?" "Oh, astaga! Kau justru bertanya balik. Apa masalahmu, Rex?" "Tidak ada." "Oh, benarkah? Kau seperti banyak pikiran." "Ya, meeting siang tadi dan pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Aku disini hanya untuk refreshing sejenak, menikmati pemandangan sore hari." Mereka pun sama-sama diam. "Hemmm...," Kharel membuka suara, "Berapa usiamu sekarang?" tanyanya. "27. Kenapa kau menanyakan usiaku heh? Kau kan sudah tahu," timpal Rex dengan tawa kecil. "Diusiamu yang matang ini, apa pikiranmu masih tetap sama? Kapan status single itu terhapuskan?" tanya Kharel. Rex menatapnya datar, "Pertanyaanmu itu tidak penting." Kharel mengedarkan pandangannya ke bawah, ia pun menggerakan tangannya dengan menunjuk ke arah beberapa wanita. Rex mengikuti arah itu. "Kau lihat wanita-wanita yang sedang berjalan itu? Mereka cantik dan...yah...seksi. Wanita Spanyol memang seksi-seksi ya?" gumam Kharel. Rex menatapnya dan mengangkat satu alisnya, "Lalu? Jika kau tertarik, dekati saja mereka." "Bukan aku, tapi kau. Kau itu sempurna, Rex. Cuma wanita bodoh yang berpaling darimu. Diluar sana banyak wanita yang memujamu, kau bisa manfaatkan itu. Dekati dia, ajak dia berkencan dan jalinkan sebuah hubungan. Manis bukan?" ujar Kharel. Rex tersenyum miring, "Aku sama sekali tidak tertarik. Aku tidak perduli." "Oh, come on, brother! Apa mereka masih kurang untukmu? Tenanglah, banyak yang lebih cantik dan seksi. Kau mudah dapatkan semua itu. Uang, ketampanan, status, itu semua mempermudahmu." Rex tersenyum miring, "Ah...kau selalu bahas hal yang sama. Apa tidak ada topik lain?" "Sebenarnya apa yang tidak membuatmu suka pada wanita?" tanya Kharel, "Jangan-jangan...kau..gay?" Kharel menatapnya skeptis. Rex lantas menoyor adiknya itu, "What the fuck! Apa aku seburuk itu?" Kharel tertawa lepas dan menghela nafas. Ucapannya tadi hanya candaannya saja. Kharel tahu alasan besar mengapa Rex selalu cuek ketika membahas soal wanita, bahkan sejak kejadian tragis di masa lalu itu Rex memalingkan pandangan dari banyak wanita. Tak perduli semenawan apapun wanita itu. Selama ini Kharel mencoba untuk membuka mata dan hati Rex untuk wanita lagi, namun usahanya selalu mendapat respon yang sama. Banyak wanita mengantri dan rela bertekuk lutut padanya, akan tetapi Rex mengabaikannya. "Aku sedang ingin merajut kesuksesan. Tidak ingin memikirkan wanita," gumam Rex. Kharel mengangkat alisnya, "Kau itu kurang sukses apa? Apa hartamu yang mencapai triliunan lebih itu masih kurang?" "Lebih baik kau pergi saja," balas Rex dengan malas. Kharel menghela nafas, "Kau tak bisa sembunyikan masalahmu dariku, Rex. Aku ini adikmu yang paling dekat denganmu. Bukan karena urusan pekerjaan saja tapi ikatan persaudaraan." Rex diam membisu. "Huh... mau sampai kapan kau berdiri diatas masa lalumu?" tanya Kharel, "Lupakan semua kejadian bertahun-tahun yang lalu. Jika dia melihatmu seperti ini, bagaimana perasaannya?" tambahnya. Rex tidak berkomentar, perkataan Kharel justru menambah pikiran yang jenuh semakin jenuh. Amarahnya bergejolak, namun ia mencoba menetralisirnya. Ia harus ingat bila orang disampingnya itu adalah keluarganya, adik kandungnya. Jujur saja, Rex benci bila ada orang yang membahas masa lalunya yang semakin membuka luka hatinya. Rex menatap telapak tangannya, jika saja Kharel bukan adiknya maka ia akan melumurinya dengan darah. Rex merogoh saku celananya, mengambil ponselnya yang bernada suara panggilan. Rex menerima telfon dari Santos, orang kepercayaannya. "Informasi apa yang kau dapat?" Rex membuka suara, "Baiklah, aku akan mengirim lokasinya. Kau datang kesini dan bawa berkasnya," tambahnya setelah mendengar jawaban Santos. Kharel menghela nafas, Rex selalu menyibukan diri dalam urusan olahraga maupun bisnis. Kharel heran, pria sempurna sepertinya harusnya tinggal duduk manis dan menghabiskan banyak waktu dengan wanita. Tapi Rex berbeda, ia duduk di meja besarnya dan menghabiskan banyak waktu dengan bisnis..bisnis..dan bisnis. Pantas saja uang terus mengalir dan orang pun bisa malas menghitungnya. Kharel menertawai dirinya sendiri, seandainya ia seperti kakaknya itu, tidak, malah reputasi player berada diatas kesuksesannya. Jika kau ingin bertanya mengenai berbagai wanita, Kharel Mackenzie tahu akan hal itu karena dibalik wajah polosnya, ia memiliki banyak pengalaman dengan wanita. Kharel bergegas untuk pergi. Rex mematikan sambungan telfonnya, usai mengirim lokasinya kepada Santos, ia menoleh ke posisi Kharel. Rex mengangkat kedua bahunya acuh, tidak perduli kemana adiknya pergi. Rex memasukan salah satu tangannya ke dalam saku celana, sedangkan tangan lainnya bertumpu pada dagu dengan jari yang berada dipipinya. Rex menunduk dan ingat dengan kata-kata Kharel... "Huh... mau sampai kapan kau berdiri diatas masa lalumu?" Rex memejamkan mata, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu...," gumamnya lalu membuka matanya dan menajam. "Tuan." Rex menoleh dan tampak Santos berdiri agak jauh darinya, ditangannya ada sebuah berkas. Rex memberi isyarat agar Santos menghampirinya. Mereka duduk berhadapan, diatas meja tergeletak rapih sebuah berkas. Rex meraihnya dan melihat tempat tanda tangan untuk pihak pemilik rumah yang kosong. "Mr. Euniciano..., dia memiliki banyak hutang pada perusahaanku. Seluruh aset perusahaannya sudah aku ambil, tapi itu masih kurang," kata Rex seraya menatap lembaran berkas itu. "Em... maaf, Tuan. Apa kau sungguh-sungguh akan menyita rumah itu?" tanya Santos dengan hati-hati. Rex mengangguk. Ia akan menyita rumah peninggalan Mr. Euniciano untuk membayar sisa hutangnya. Namun mendapat informasi dari Santos bila rumah itu masih dihuni dan penghuninya adalah seorang gadis remaja yang hidup sendirian, ada rasa iba dalam hatinya. Akan tetapi Rex tidak bisa sepenuhnya memakai hati, ia akan tetap bersikap profesional, menyita rumah itu. "Aku tahu kau merasa kasihan pada gadis itu. Tapi hutang tetaplah hutang. Perusahaanku sudah memberi waktu, tapi sudah lebih dari 5 bulan pembayarannya terhenti dan tidak ada kabar," jelas Rex. Santos meletakan beberapa segepok uang diatas meja, Rex melirik uang itu dengan acuh. Santos bilang kalau uang-uang itu ia dapat dari gadis itu ketika ia datang untuk menyita rumah itu, namun gadis itu menangis dan memohon pada Santos untuk menyampaikan maaf juga permohonannya kepada Rex untuk memberi waktu lagi. Santos merasa kasihan dan menerima uang-uang itu untuk mencicil hutang. "Uang sebanyak itu darinya, apa kau tahu dari mana asal uang yang gadis itu dapatkan?" tanya Rex. Santos menggeleng, "Dia bilang, dia bekerja usai pulang sekolah." "Pekerjaan apa diusia remajanya?" "Aku lupa menanyakannya, Tuan. Tapi dia sempat bilang, selama lima bulan ini ia berusaha mengumpulkan uang. Gaji pekerjaannya ia bagi untuk tabungan hutang, biaya sekolah, tabungan untuk persiapan kuliah dan biaya hidup." Rex tercenung, sepertinya gadis itu mandiri, pikirnya. Pria tampan berpakaian formal itu menutup berkasnya dan berdiri. "Uang-uang itu tidaklah cukup, aku sudah memberinya waktu tapi ini sudah diluar toleransi. Aku akan tetap menyita rumahnya. Aku sendiri yang kan datang!" ucap Rex dengan tegas lalu melenggang pergi. ⬜◼◻◾⚫❤⚫◾◻◼⬜ Suara hiruk piruk dari mereka memekik telinga, mereka bertepuk tangan dan berteriak kagum usai pertunjukan tersebut. Namun, para pria lah yang lebih heboh disana. Pasalnya cara para sexy dancer itu menggerakan tubuh diiringi musik berdentam dan remix benar-benar menggoda, namun hanya satu diantara gadis dari para sexy dancer yang memukau dan menarik perhatian para pria. "Litzi!" Gadis berambut cokelat itu menoleh ketika namanya disebut, ia menghampiri manager tempat hiburan malam itu dengan nafas terengah-engah. "Penampilanmu seperti biasa. Es asombroso!" puji pria berusia 32 tahun itu, si manager. *(Es asombroso : menakjubkan) Litzi tersenyum, "Syukurlah! Gracias, Joao." *(Gracias : terima kasih) "Ini bayaranmu. Baiklah, aku pergi dulu, cantik. Ingat! Besok malam datanglah lagi." Litzi mengangguk dan menatap punggung Joao yang menghilang di keramaian. Litzi menatap beberapa lembar uang itu, raut wajahnya berubah muram dan menghela nafas. Banyak yang memujinya, karena tariannnya yang bagus. Akan tetapi nasibnya selalu buruk, ada impian besar yang terpendam, ia ingin menjadi dancer yang terkenal. Tapi apa daya? Litzi pasrah dan menganggap dirinya pantas untuk bernasib sial. Litzi mengantongi uangnya, lalu kedua kakinya membeku ketika para pria menatapnya dengan senonoh. Inilah hal yang dibencinya, sangat dibencinya! Selalu mendapat tatapan senonoh dari para pria, remaja, dewasa bahkan tua sekalipun. Namun Litzi intropeksi diri, ia tak bisa salahkan mereka. Sebab penampilannya memang memancing nafsu, demi Tuhan! Litzi juga sebenarnya tak nyaman, namun itu tuntutan pekerjaannya. Litzi memiliki kemampuan dance, namun ia terpaksa bekerja sebagai sexy dancer disalah satu tempat hiburan malam dikota Madrid. Litzi menurunkan rok mini yang super ketat itu meskipun ia tahu itu hanya sia-sia, dengan rambut panjangnya ia menutupi punggungnya yang terekspose. Dengan wajah menunduk malu, ia melanjutkan langkah kakinya. Tiba-tiba beberapa pria menghalangi jalannya, Litzi berjalan mundur ke belakang namun tubuhnya tertabrak dan tangan seseorang merangkulnya. Litzi meneguk salivanya ketika mendongak. "Hola, baby!" sapa pria tampan yang jauh lebih dewasa dari Litzi. *(Hola : Halo) Litzi merasakan tangan pria itu yang mulai bergerak ke atas dan hendak menyentuh dadanya, dengan cepat Litzi mendorong pria itu dan berlari. Terdengar ocehan pria itu namun ia tak memperdulikannya. Itu hal yang biasa, sudah terbiasa, namun tetap saja rasa malu bercampur rasa sakit terus terasa. Usai Litzi berganti pakaian, ia bergegas pulang dengan berjalan kaki. Meski ia punya uang, ia memilih jalan kaki saja daripada naik taksi ataupun bus. Rasa pegal dikakinya akan terasa berdenyut-denyut saat ia tiba di rumah, jarak klub malam dan rumahnya lumayan jauh. Gadis blasteran Rusia-Spanyol itu merapatkan jaketnya ketika angin menerpanya, sangat dingin. Ditengah perjalanannya, ditengah gelapnya malam, pikiran Litzi hanyut dalam lamunan. Bahkan karena terlalu hanyut, beberapa klakson mobil dan siulan dari para pria tidak didengarnya. Litzi gadis yang cantik, amat cantik, tak heran jika banyak pria yang menggodanya. Banyak pria yang menyukainya, bahkan pria dewasa pun sampai pernah mengajaknya berkencan, namun Litzi tidak mau merespon dan akan menjauh. Litzi heran, zaman sekarang memang gila. Pria dewasa masa kini menyukai gadis remaja. Nasibnya tak baik, karena kebutuhan hidup, pendidikan dan jeratan utang, ia harus bekerja diusianya yang masih 17 tahun. Usai pulang sekolah, Litzi bergegas ke salah satu restoran untuk bekerja meski hanya mencuci piring kotor dan mengantar makanan. Seringkali, pengunjung yang pernah melihat Litzi diklub malam pasti akan menghinanya dan tak sedikit pria menggodanya dengan sebutan "sexy dancer". Litzi tak bisa berbuat apa-apa selain menguatkan hati dan diam-diam menangis. Setelah itu, malamnya Litzi melakukan pertunjukan sexy dancer. Litzy merasa sangat kecil disana, sebab timnya para gadis dewasa. Lagi-lagi Litzi harus menguatkan hati ketika para wanita itu mengacuhkannya dan menghinanya karena iri. Belum lagi para pria mata keranjang menggodanya dan mencoba menyentuhnya. Jika saja gajinya sebagai si pencuci piring kotor dan pelayan restoran cukup, Litzi tidak akan datang ke klub itu dan bergabung menjadi anggota grup sexy dancer. Diusianya yang masih remaja, ia sulit mendapat pekerjaan. Kemampuannya juga terbatas. Litzi bisa saja bergabung dengan komunitas dancer lainnya, yang lebih terhormat. Akan tetapi ia bodoh! Litzi terlanjur mencari pekerjaan di klub itu, menerima tawaran dari Joao dan karena terlalu lugu ia menandatangani kontrak, sebenarnya Litzi mengira kalau pekerjaan yang dimaksud Joao adalah dancer yang ia bayangkan, tapi ternyata sexy dancer. Litzi mengutuk dirinya sendiri karena bodohnya itu. Litzi pernah mencoba mengundurkan diri, namun yang ia dapatkan ancaman Joao. Manager tempat hiburan malam itu akan menuntut Litzi, karena melanggar perjanjian kontrak. "Joao, brengsek! Harusnya aku sadar kalau aku ditipu dari awal! Dia tidak mengatakan pekerjaan itu sexy dancer. Tapi aku harus bagaimana lagi? Aku juga yang salah dan yah... Ini nasibku. Aku harus tetap bersyukur, meski pekerjaan itu mencoreng nama baikku, setidaknya aku dapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup dan..hutang Ayah," gumam Litzi. Ayah? Kappey Euniciano, beliau yang telah wafat adalah Ayahnya Litzi Euniciano. Mr. Euniciano tewas tertembak 3 tahun yang lalu. Air mata Litzi jatuh dan semakin deras mengingat masa kelamnya. Litzi sebatang kara, Ayah, Ibu dan adiknya tewas ditangan seorang wanita jahat yang ketika itu datang menagih hutang pada Ayahnya. Litzi selamat berkat tim kepolisian yang datang menyelamatkannya saat pistol siap menembaknya. Dengan langkah gontai, Litzi duduk di bangku kosong yang ada di tepi jalan. Lampu yang temaram meneranginya, ia menutup wajahnya dan menangis sesegukan. Ia sangat merindukan keluarganya, itulah kesedihan terbesarnya. Ditengah penderitaannya, sempat-sempatnya ada suara tawa yang begitu jelas terdengar. Tawa itu tidak lebih dari satu orang, Litzi tetap melanjutkan tangisannya, tak perduli dengan tawa itu. Biarkan saja orang lain mengatainya cengeng. Perlahan suara tawa itu terhenti, Litzi mencium aroma farfum yang feminim, tercium dekat dengannya. "Hey! Por que estas llorando?" suaranya lembut sekali. *(Por que estas llorando : kenapa kau menangis) Litzi menyeka air matanya dan mendongak, betapa terkejutnya dia. Apakah ia bermimpi? Kesedihan Litzi hilang begitu saja saat melihat gadis cantik yang membungkuk di depannya. Gadis itu tidak sendirian, ada seorang pria tampan disisinya. Litzi masih tak percaya, apakah yang dilihatnya itu nyata. "Kenapa kau menangis hem?" tanyanya lagi, "Sendirian?" tambahnya lalu duduk disisi Litzi. "Em..kau..kau itu," Litzi menatapnya intens. "Yo? Allcia Mackenzie," nama itulah yang ingin disebut Litzi. *(Yo : aku) "Bukankah kau puteri dari seorang billionaire Amerika? Mr. Allard Mackenzie," Litzi mencoba memastikan. Allcia mengangguk, "Sí. Dia Ayahku. Kau kenal padaku?" *(Sí : Ya) "Siapa yang tidak mengenalmu? Kau..kau terkenal," ucap Litzi. Allcia tersenyum manis. Litzi memuji kecantikan puteri billionaire itu di dalam hati, ternyata Allcia jauh lebih cantik jika dilihat secara langsung. Namun sosok CEO MKzie Group yang ada di kota Madrid melintas di benaknya, hingga rasa malupun muncul. Litzi bersiap-siap untuk pergi. "Hey! Kau mau kemana? Que pasa?" tanya Allcia dengan bingung. *(Que pasa : Ada apa) "Tolong, jangan menagih hutang. Jangan sita rumahku. Aku..aku belum punya uang," kata Litzi lalu berlari. Allcia dan pria yang berdiri disisinya mengernyit bingung. Menagih hutang? Padahal Allcia ingin bertanya kenapa Litzi menangis. Litzi sampai di rumah, ia duduk disofa sambil memijat-mijat kedua kakinya yang pegal. Setelah 10 menit istirahat, Litzi bergegas ke lantai atas untuk mandi. Setelah mandi, Litzi duduk di depan meja belajarnya, mengerjakan PR yang lumayan banyak. Litzi menguap, waktu menunjukan pukul 10 malam dan PR belum selesai juga. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, berulang-ulang kali. Litzi mengernyit, siapa gerangan yang datang? Apa sahabatnya? Tidak, tidak biasanya sahabatnya datang malam-malam begini. Litzi bergegas keluar, saat menggenggam handle pintu, ia berdoa semoga bukan orang yang menagih hutang Ayahnya. Ku mohon, Tuhan. Jangan kirim orang dari pihak perusahaan itu datang kemari, batin Litzi. Bel berbunyi dan ketukan pintu yang keras mengagetkannya, refleks! Ia menarik handle pintu itu dan aroma maskulin lantas terhirup harum sampai kedua matanya terpejam sekilas. Litzi membuka mata dan pertama kali yang ia lihat adalah tubuh seseorang yang berbalut jas dilengkapi dasi. Litzi menundukan kepala untuk melihat alas kaki itu, sepatu hitam. Litzi menggerakan matanya dari bawah lalu...ke atas, sekejap! Nafasnya berhenti selama beberapa detik, ekspresinya sangat terkejut. Litzi meneguk salivanya, "Tuan..." "Aku, Rexford Mackenzie. CEO MKzie Group yang ada dikota ini," kata pria tampan itu. Kedua mata Litzi tidak berkedip, ia masih menatap wajah pria yang jauh lebih tinggi darinya. Untuk pertama kalinya Litzi melihat pria setampan itu. Jadi ini, Rexford Mackenzie? Dia manusia atau titisan dewa Yunani? batin Litzi. Litzi menepiskan pikirannya. Ia mengerjap dan menatap Santos, pria berumur 33 tahun yang tadi siang datang ke rumahnya. "Ada... apa ini? Kenapa kalian... kalian kemari?" tanya Litzi dengan jantung yang berdegup tak karuan. Tanpa berkata, Rex masuk ke dalam rumah sampai sisi tubuhnya menabrak sisi tubuh Litzi. Gadis remaja itu masuk ke dalam dan menatap Rexford yang duduk disofa, tampak pria itu memandangi ruang tamu dengan tatapan penilaian. Kedua mata Litzi menangkap berkas yang tergeletak di atas meja, panas dingin lantas menjalar diseluruh tubuhnya. Litzi menghampiri Santos, "Katakan.. sebenarnya kenapa kalian kesini? Paman, ku harap apa yang aku takutkan tidak terjadi." Santos diam, tidak berkomentar. Rex memanggil Litzi untuk duduk di hadapannya. Litzi pun duduk dan terkejut ketika uang-uang yang tadi siang ia berikan untuk mencicil hutang di kembalikan lagi padanya. "Kenapa Tuan mengembalikannya lagi?" tanya Litzi. "Aku ingin pelunasannya hari ini," jawab Rex menatapnya tanpa ekspresi. "Bagaimana aku bisa melunasinya, Tuan? Sebentar, hari ini aku dapat uang dari hasil kerjaku. Aku.. aku akan mengambilnya," Litzi siap berdiri namun Rex mencegahnya. "Apa gajimu setara dengan gaji seorang CEO, Nona?" tanya Rex. Litzi menggeleng dan diam. "Aku sudah memberimu waktu, tapi lima bulan lebih kau tidak mengabari pihak perusahaanku," ujar Rex. "Maaf, Tuan. Sekali lagi aku minta maaf. Selama ini, uang yang aku dapat ku tabung untuk biaya sekolah dan kuliahku nanti. Tuan, aku bekerja semampuku dan gajiku tidak seberapa," papar Litzi dengan mata yang berkaca-kaca. Rex menghela nafas, "Begini saja, simpan uang-uang ini untuk kau tabung. Soal hutang mendiang Ayahmu, rumah ini sebagai pelunasannya." "Tidak, Tuan! Aku mohon jangan!" Litzi pun panik. "Ini sudah melewati batas toleransi, Nona. Aku harus bertindak tegas! Bersikap profesional." "Aku mohon, Tuan. Beri aku waktu lagi. Aku janji.. aku akan melunasi hutang-hutang Ayahku!" "Ayo! Tanda tangani surat ini!" "Tidak! Aku tidak mau!" Litzi meneteskan air matanya. "Jangan buang-buang waktuku, Nona." "Tidak! Tolong, mengertilah! Ini harta peninggalan keluargaku satu-satunya. Aku hidup sebatang kara, Tuan! Tolong kasihanilah aku! Jika rumah ini disita, dimana lagi aku tinggal?" "Kau bisa menyewa rumah lain dengang uang-uang ini." "Tidak! Aku tidak mau! Aku lebih nyaman tinggal disini! Rumah ini hidupku! Tuan, aku mohon." "Jadi kau tidak mau menandatangani surat ini?" Litzi menggeleng dan terus menangis. Rex memberi isyarat kepada Santos, orang kepercayaannya itu pun menghampirinya dengan membawa sebuah benda. Benda berbentuk kotak itu adalah busa halus dengan tinta berwarna biru, Rex punya cara lain untuk mengganti tanda tangan dengan sidik jari. Tiba-tiba saja Rex mencekal lengan Litzi, menariknya dan menekan ibu jari gadis remeja itu pada tinta. Rex memaksa Litzi untuk menaruh sidik jari pada tempatnya yang ada di lembar kertas itu. "Tidak! Lepaskan! Lepaskan! Ini pemaksaan! Jangan! Aku mohon jangan!" teriak Litzi. "Sayangnya, sudah terlambat," ucap Rex menghela nafas dan tersenyum. Tangan Litzi bergetar, air matanya kembali jatuh. Ia ingin merebut berkas itu, namun kalah cepat dengan Rex. "Rumah ini resmi disita. Kau dengar itu, Nona?" Rex tersenyum menatapnya. "Eres malo! Kau tidak punya hati!" balas Litzi. *(Eres malo : kau jahat) "Ini sudah melewati batas, Nona. Jika aku jahat, aku sudah--" "Menembakku, begitu? Apa kau akan membunuh orang-orang yang punya hutang padamu, seperti wanita jahat itu heh?!" potong Litzi yang langsung berdiri. Rex mengernyit, "Tus pensamientos para mí son muy malos. Dengarkan aku dulu, okay? Jika aku jahat, maka aku akan menuntut Ayahmu, namun Ayahmu itu sudah mati. Aku bisa saja menuntutmu. Kalau aku mau, aku sudah melakukannya sejak dulu agar urusan ini selesai!" *(Tus pensamientos para mí son muy malos : Pikiranmu padaku buruk sekali) Litzi terdiam dan hanya menangis di depan Rex. Litzi tak menyangka jika hidupnya akan sesulit ini. Rumahnya telah disita, bukan miliknya lagi. Litzi bingung, dimana ia akan tinggal setelah ini. Dengan uang-uang yang dikembalikan Rex, ia bisa menyewa rumah tapi hanya sementara saja. Hidupnya akan lebih sulit. Rex pergi ke lantai atas, Santos masih diruang tamu dan menyaksikan gadis remaja malang itu menangis terisak-isak. Rex menaruh koper di dekatnya Litzi. Ketika Litzi ingin menggenggam koper itu, Santos lebih dulu mengambil koper tersebut dan membawanya keluar. Litzi mengernyit bingung dan ia terkejut saat tubuhnya terangkat. Pria tampan itu membawa tubuh Litzi dengan posisi Litzi yang berada di atas bahunya, posisi kepalanya terarah kebawah. "Apa-apaan ini, turunkan aku! Turunkan aku!!!!" teriak Litzi seraya menggerakan kedua kakinya. "Diamlah! Kau harus ikut denganku!" balas Rex dengan membentak. "Apa? Kemana? Kemana kau akan membawaku?" Rex tidak menjawab, ia memaksa Litzi masuk ke dalam mobil sport-nya. Merasa kesal dengan sikap Litzi yang terus menolak, pria blasteran Amerika-Indonesia itu pun mendorongnya sampai gadis berusia 17 tahun itu masuk ke dalam mobil sport mewah. Mobil sport itupun melaju, mobil lainnya yang dikendarai Santos melaju mengekori Rex. Rex menyuruh Litzi untuk keluar dari dalam mobil. Litzi menatap takjub bangunan megah yang berdiri di depannya, sebuah mansion. "Ayo, masuk!" Rex mencekal lengan Litzi dan menariknya. Litzi menahan kedua kakinya, "Tidak!" "Ayo, Litzi!" Bahkan dia tahu namaku, batin Litzi. Lagi-lagi Rex mengangkat tubuh Litzi dan membawa masuk. Litzi yang tadinya memberontak, lantas terdiam karena interior dan barang-barang di dalam mansion jauh lebih indah dan mewah. Litzi yakin, pria itulah yang memiliki mansion tersebut. Beberapa pelayan yang tak sengaja melihat Rex, mengerutkan dahi. Untuk pertama kalinya, Tuan tampan mereka membawa pulang seorang gadis. "Adolescentes?" gumam salah satu pelayan. *(Adolescentes : Remaja) Rex membawa gadis itu ke lantai dua mansion menggunakan lift. Lalu berjalan melewati lorong, di belakangnya ada Santos yang masih membawa koper berisi pakaian Litzi. Pintu kamar terbuka secara otomatis, Rex menurunkan Litzi disana dan Santos meletakan kopernya juga. Lalu mereka berdua melenggang pergi tanpa mengatakan apapun pada Litzi. Litzi mengejar mereka, "Tunggu! Katakan sesuatu padaku! Tunggu! Tolong beritahu aku alasan--" BRAKK!!! Litzi tersentak saat pintu yang menjulang tinggi tepat di depannya tertutup dengan suara keras. Rex mengunci pintu kamar, pintu balkon bahkan jendela yang ada di kamar itu dengan password yang hanya dia yang tahu. "Gadis itu tidak boleh kemana-mana. Katakan perintahku pada kepala mansion dan para pelayan untuk melayani Litzi dengan baik! Aku mau istirahat," papar Rex. Santos membungkuk hormat, "Baik, Tuan!" BRAK!! BRAKK!! BRAK!! Rex menoleh ke arah pintu, "Dia akan lelah dengan sendirinya." Kemudian Rex melenggang pergi, lalu disusul Santos untuk melaksanakan perintah Tuannya. Di dalam kamar yang luas dan serba putih itu, Litzi terus menggedor-gedor pintu dan berusaha membuka pintunya seraya berteriak minta tolong, namun hasilnya nihil. Litzi terduduk lepas dan menggedor pintu itu dengan lemah, ingatan tentang keluarga yang telah tiada masuk dalam pikirannya dan air mata yang mulanya sedikit menjadi deras..deras..dan semakin deras disertai isakan. Pria itu, tak adakah rasa kasihan sedikit saja padaku? Dengan seenaknya memaksaku, membawaku kemari dan mengurungku disini. Sebenarnya apa maksudnya? Jika saja bukan karena adikku, Ayah tidak akan memiliki hutang sebanyak itu. Kenapa hidupku sesulit ini? batin Litzi. Pintu kamar terbuka dan pria yang mengenakan jubah tidur itu menatap tubuh seorang gadis yang tergeletak di lantai, tepat di dekat kakinya. Rex mengangkat tubuh Litzi dan membopongnya seraya menatap wajahnya, kedua mata gadis itu bengkak, ia yakin gadis itu usai menangis. Rex membaringkan tubuh Litzi dengan hati-hati, menyelimutinya dan duduk disisinya. Wajah cantik dan polos itu, mengingatkanku padanya, ucap Rex dalam hati. "Aku takkan membiarkan gadis seusiamu dalam kesulitan. Mulai sekarang, aku yang kan mengurusmu. Kau hidup sendirian, aku takut apa yang dia alami akan kau alami. Kau tanggung jawabku," ucap Rex pelan dan membelai rambut Litzi. Rex menghela nafas, dalam ucapan mulut maupun hati, ia tak bisa menyebutkan nama di masa lalunya itu. Mengucap, mendengar bahkan membayangkannya saja itu bisa membuat luka hatinya semakin melebar, dendammya akan semakin meluap dan sulit untuk di kendalikan. Rex menyamarkan nama seseorang itu dengan sebutan "dia". *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

Mafia and Me

read
2.1M
bc

The Unwanted Bride

read
111.1K
bc

Sweet Sinner 21+

read
886.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
112.0K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook