"Kalo malem begini, cuma ada warung penyetan yang buka. Kamu ga papa makan di warung tenda?" tanya Niko saat mereka berdua sudah di dalam mobil Niko.
"Ga papa mas, aku juga sering makan kaya gitu kok kalo di Bandung," jawab Andini sambil memegang erat seat beltnya menahan gugup.
Ya Andini sangat gugup saat ini. Dia juga sedikit bingung dengan perubahan sikap Niko. Tadi marah-marah dan ga sopan, sekarang malah ngajak makan.
"Dia ga kena bipolar kan?" ucap gadis itu dalam hati.
Niko menghentikan mobilnya di depan salah satu warung tenda. Dia mengajak Andini keluar untuk makan. Andini tidak ada pilihan lain selain mengikuti langkah Niko.
"Eh Mas Niko, tumben mas malem banget ke sininya. Mbak Laura barusan dari sini," sapa penjual langganan Niko.
Niko kaget saat pemuda itu menyebut Laura. Andini juga hanya menatap Niko, saat dia mendengar nama Laura disebut.
"Eh kok bawa cwe lain, Mas. Maap kalo salah omong tadi."
"Gung, ini calon istriku. Jangan ngomong sembarangan kamu ya. Kamu mau makan apa, Din?" tanya Niko sambil menatap Andini.
"Calon istri? Kok ga bilang Mas, kalo udah mau nikah."
"Calon istri? Aku istri Mas Niko? Sejak kapan aku bakal nikah ama dia? Apa cuma buat alesan aja, biar aku ga marah?" berbagai pertanyaan ada di kepala Andini saat dia mendengar Niko memperkenalkannya.
"Din, kamu mau pesen apa?" tanya Niko sekali lagi.
"Emm adanya apa ya?" tanya Andini ke pemuda itu.
"Tinggal ayam ama burung dara, Mbak."
"Mau burung dara aja. Kasih terongnya ada?"
"Ada. Mas Niko kaya biasanya? Pake pete juga?"
"Pete? Ada pete?"
"Ada, jengkol goreng juga ada."
"Mau pete aja. Aku mau jeruk anget ya."
Niko dan Andini duduk di sebuah meja panjang yang disediakan warung itu. Mereka duduk berhadapan dalam diam. Niko masih bingung untuk memulai pembicaraan.
"Tempat favorit mas ama pacarnya ya?" tanya Andini.
"Hmm ga juga sih. Awalnya ini tempat aku ama Adam. Ampe kenal baik ama yang jual. Baru setelah ama Laura ya sesekali diajak ke sini," jawab Niko.
"Oh, pantesan kok ampe apal ama Mas Niko."
"Kamu ga marah kan?"
"Marah? Marah kenapa?"
"Soal omongan Agug tadi."
"Kenapa mesti marah, aku ini siapanya, Mas. Laura pacar Mas, wajar kalo dia lebih dikenal." Andini menundukkan kepalanya.
Entah kenapa d**a Niko terasa nyeri mendengar ucapan Andini.
"Silahkan, ini pesanannya," kata Agung sambil menyajikan makanan pesanan mereka.
"Waah petenya menggoda. Gede-gede banget." Andini berbinar saat melihat salah satu makanan kesukaannya ada di depannya.
"Aduuh," Andini mengeluh karena tangannya kepanasan saat akan mengambil daging burung dara.
Dengan sigap Niko segera menarik tangan Andini yang kepanasan lalu menggenggamnya erat sambil meniupnya pelan. Raut wajah panik tampak di wajah tampan itu. Si gadis hanya mampu melihat perlakuan Niko pada dirinya.
"Ati-ati donk. masih panas ini. Tunggu bentar."
Niko segera mengambil piring lauk Andini. Dia segera mencoba untuk memotong-motong burung dara goreng itu dengan tangannya.
"Tunggu bentar ya, biar uapnya ilang dulu. Tangan kamu ga papa?" tanya Niko.
"Ga papa mas. Makasih ya." Andini mengambil piring lauknya lainnya.
"Udah makan dulu. Kan kamu laper."
Mereka mulai makan. Tanpa suara dan tanpa percakapan. Mereka menikmati makanan yang ada di depan mereka.
"Udah makannya? Masih laper ga?" tanya Niko.
"Alhamdulillah, udah kenyang, Mas," jawab Andini sambil tersenyum.
"Aduuh, bisa ga sih, kamu ga usah pake senyum?" kata Niko dalam hati. Niko terlalu lemah melihat senyum Andini.
"Kita pulang yuk, udah tengah malam." Andini hanya menjawabnya dengan anggukan.
Niko membayar semua makanan mereka, Andini melangkah meninggalkan Niko lebih dulu.
"Tunggu sini, jangan keluar sendirian." kata Niko sambil memegang pergelangan tangan Andini, melarang gadis itu keluar dari tenda.
"Mas Niko ini emang perhatian banget ya ama calon istrinya. Istri emang harus dijagain, Mas. Meleng dikit diembat orang."
"Iya lah. Istri itu buat selamanya, makanya harus yang tepat milihnya."
Setelah mendapatkan kembalian, Niko mengajak Andini masuk ke dalam mobilnya. Mereka segera meninggalkan tempat itu.
"Kayanya mas itu tipe romantis ya? Tukang jualannya aja ampe tau kalo Mas romantis ama pacarnya."
"Harus donk. Kalo ama orang yang disayang itu beda. Harus dijagain, ga boleh lecet pokoknya."
"Oh gitu. Andini belum pernah pacaran, jadi ga tau yang kaya gitu. Btw, makasih ya udah diajakin makan."
Niko menoleh ke Andini. "Kamu belum pernah pacaran?"
Andini menggeleng. "Belum. mau nikah dulu baru pacaran."
"Kok ada ya orang begini," gumam Niko pelan.
***
"Kayanya semalem.ada yang kencan midnight, Pa," kata Jojo saat mereka semua sarapan pagi.
"Kencan midnight? Maksudnya apa?" tanya Haris tidak mengerti.
"Kencan Pa, malem-malem. Habis berantem eh malemnya jalan berdua."
"Uhuk ... uhuk ...," Niko terbatuk saat mendengar penjelasan Jojo.
"Ga kok, Jo. Semalem Mas Niko cuma anterin Andin cari makan. Laper perutnya," kata Andini polos.
"Eh apaan sih dia kok malah bilang," gerutu Niko dalam hati.
"Din, sejak kapan kamu jalan ama cwo? Kamu udah pacaran ama Niko?" tanya Atmadja sambil menatap mata putrinya.
"Cuma cari makan, Yah. Andin laper," jawab Andini pelan sambil menunduk.
"Udah kang, mending langsung nikahin aja. Saya lamar Andini buat Niko ya, Kang?" kata Haris tiba-tiba.
"Pa, kok ngelamarnya gitu sih?" sahut Amira.
"Papa mau mereka langsung nikah aja. Kenalannya ntar ajalah setelah nikah. Biar mereka kenalan sendiri dalam kondisi halal. Iya kan, Kang?"
"Aku sih terserah anakku aja, gimana Din?" tanya ayah Andini.
"Ikut kata ayah," jawab Andini lemah.
"Ini terlalu cepat, Pa. Niko ga siap nikah," kata Niko sambil meninggalkan meja makan dengan wajah kesal.
Andini menatap punggung Niko yang perlahan mulai menjauh. Dia bingung dengan sikap Niko saat ini.
Semalam, Niko bilang dia calon istrinya. Tapi sekarang, Niko menolak saat dia akan dinikahkan.
"Apa sih mau mas Niko sebenernya?" Andini bertekad akan meluruskan semua ini secepatnya.
Andini memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja. Tadi dia melihat Niko ada di sana. Andini ingin memperjelas semuanya, dia tidak ingin jika pernikahannya didasari keterpaksaan. Apa lagi Niko punya pacar, tentu saja Andini tidak ingin merusak hubungan orang lain.
"Mas, aku mau ngomong bentar," kata Andini saat dia sudah di dalam ruang kerja.
"Ngomong aja, aku ga punya waktu lama. Aku harus segera ke kantor."
"Mas tadi malem baik banget ama aku. Sekarang jadi dingin lagi. Mas masih belum mau menikah ama aku?"
"Iya," jawaban singkat dan sangat jelas.
"Mas masih mencintai pacar, Mas?"
"Tentu saja, aku juga masih ingin menikahinya."
"Baiklah, aku akan batalkan rencana perjodohan kita."
Niko kaget mendengar ucapan Andini. Dia segera mengangkat wajahnya untuk melihat gadis yang berdiri sedikit jauh darinya.
"Kamu mau batalin perjodohan? Kamu mau aku diusir dari keluargaku?" kata Niko tegas.
"Mas tenang aja, Andin akan membatalkan sendiri. Sebelum kami pulang, semua sudah selesai."
Andini pergi dari ruang kerja Niko. Dia tidak ingin membebani Niko dengan perjodohan ini.
Niko masih membeku. Dia tidak menyangka kalau Andini akan mengatakan hal ini. Kibasan jilbab panjang Andini seolah mengisaratkan ketegasan dan kesungguhan gadis itu akan pergi dari hidup Niko. Senang? Bahagia? Bebas? Atau malah kehilanganan yang sedang berkecamuk di hati Niko saat ini?