Gelisah

1277 Words
"Sebelum kita nikah, ada yang pengen aku tanyakan ke kamu," ucap Niko memecah keheningan. "Mau tanya apa?" jawab Andini sedikit malas. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" "Cuma pengen senengin orang tua aja," jawab Andini singkat. "Cuma itu aja? Ga ada niatan lain?" "Niatan lain apa?" "Bantuan dana dari perusahaan ku misalnya." "Mas, perusahaan ayah memang tidak sebesar perusahaan mas. Tapi perusahaan ayah masih mampu untuk menghidupi kami keluarganya." Andini sedikit marah saat Niko menghina keluarganya. Ayah Andini memang memiliki bisnis di bidang pangan. Beliau menerima banyak gabah dan hasil ladang untuk di kirim ke kota lain. Beliau juga mempunyai usaha perkebunan organik yang mensuplay sayur ke beberapa mall besar. "Trus kenapa masih mau, padahal kan aku sudah bilang, kalo aku udah punya pacar." "Mas, nikah itu ibadah. Aku cuma pengen itu aja kok. Aku ga menuntut banyak. Tapi kalau mas mau kita menikah, putuskan hubungan mu dengan pacar mu. Jangan memulai pernikahan suci ini dengan dosa," ucap Andini tegas. Niko menghela nafasnya. Dia melihat ada kejujuran dimata bening Andini. Tidak ada yang dia sembunyikan. "Aku akan memikirkannya nanti. Aku malas membahasnya." Niko mengantarkan Andini pulang ke kosannya. Niko kaget saat tau Andini hanya kos di sebuah kamar petak di sebuah sudut jalanan kota Bandung. Andini turun tanpa berpamitan ke Niko. Mobilnya sudah terparkir di depan pintu kamar kosnya. Rivan pun sudah menyerahkan kuncinya ke Andini. "Kenapa dia kos di tempat seperti ini? Om Atmadja bukan orang yang tidak bisa membelikan anaknya sebuah apartement ato mengontrakkan rumah untuk dia kan?" tanya Niko saat Rivan sudah duduk di sebelah supir. "Bu Andini sendiri yang memilih tempat ini. Ibu terbiasa sendiri di rumah, dia ingin punya banyak teman. Makanya beliau menyewa tempat disini," jawab Rivan menjelaskan. "Cuma karena itu?" Niko seolah tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Iya pak, orang tuanya selalu mengajarkan kesederhanaan pada beliau. Jadinya mungkin terbawa sampai sekarang." "Andini mau hidup susah meskipun dia mampu? Pengajaran apa ini," kata Niko dalam hati. Niko memejamkan matanya mencoba untuk tidur. dia ingin mengistirahatkan badannya. Dia sangat tau nanti di rumah pasti ayahnya akan banyak bertanya padanya. Tapi pikiran Niko tidak bisa beristirahat. Bayangan senyum menawan milik Andini terus menari di kepalanya. "Bagaimana dia bisa senyum semanis itu. Seperti orang yang tidak punya beban hidup," ucap Niko pelan. "Ya pak, kenapa?" tanya Rivan yang mendengar suara dari bosnya. "Ga, aku ga ngomong sama kamu." Niko sedikit kesal karena lamunannya di ganggu Rivan. Niko membayangkan Andini sepanjang perjalanan sampai dia terlelap. *** "Pak, kita sudah tiba di rumah," ucap Rivan mencoba membangunkan Niko. "Hmm ya aku tau." Niko membuka matanya sedikit dan segera turun dari mobilnya. Nyawanya belum terkumpul sempurna. Dia masih berjalan dengan sedikit gontai. Dia segera masuk ke dalam rumah dan naik ke kamarnya. "Rivan sini kamu," panggil Amira mama Niko. "Iya bu, ada apa?" tanya Rivan saat dia sudah mendekati mama bosnya di dapur. "Gimana, tadi Niko jadi ketemu sama Andini kan?" "Jadi bu, mereka juga makan bersama setelah menjemput Ibu Andini." "Trus mereka udah keliatan akrab belum?" "Sepertinya masih pada jual mahal bu. Bapak beberapa kali terlihat memperhatikan Bu Andini, tapi masih gengsi bu." "Bagus itu, ga papa nanti bisa dilanjutkan yang lebih kalau mereka sering ketemu." "Iya bu." "Oh ya, bantu bikin moment untuk mereka agar mereka bisa bersama ya?" pesan Amira. "Baik bu." Niko mengguyur tubuhnya dengan air dingin malam ini. Entah kenapa dia seolah tidak bisa melupakan tatapan mata lembut dan senyum tulus milik Andini. Bayangan itu terus saja menari-nari di pikiran Niko. Niko menjadi sangat terganggu. Dia tidak mungkin menyukai gadis seperti itu. Gadis yang tidak bisa disamakan dengan Laura kekasih idamannya. "Kenapa dia milih berpakaian seperti itu? Bandung emang dingin sih, tapi kan kalo siang panas juga. Apa ga gerah ya?" kata Niko sambil berdiri di depan balkon kamarnya. Matanya menatap jauh kedepan menembus semak dan jalanan gelap, mencoba menembus jarak ingin tau apa yang sedang dilakukan gadis bernama Andini itu. Triing Suara ponsel Niko berbunyi. Dia segera masuk ke kamarnya dan mengambil ponselnya. "Haaahh!! Andini. Ga salah kan ini yang telfon?" kata Niko saat melihat nama Andini ada di ponselnya. Deringan ponsel menyadarkan Niko dari ketakjubannya menatap nama di layar ponselnya. "Halo," sapa Niko dengan suara dingin. "Assalamu'alaikum, mas. Maaf ganggu waktunya. Emm anu mas, emm ...," Andini menjawab sapaan Niko. "Bilang kamu pengen ketemu aku lagi, buruan bilang," suara hati Niko diam-diam mengharapkan itu. "Emm apaa? Aku ga ngerti." jawab Niko menjaga wibawanya. "Anu, liat berkas Andin ga di mobil mas? Kok ga ada ya di sini. Kayanya tadi ke bawa di mobil mas. Soalnya di mobilku ga ada." "Berkas? Aku ga liat berkas apa-apa di mobil." "Aduh, ke mana ya? Mana besok harus di kumpul lagi," gerutu Andini dengan nada bingung. "Ya udah mas, mungkin ketinggalan di sekolah. Maaf ya ganggu, Wassalamu'alaikum," Andini mengakhiri telefonnya. "Wa'alaikumussalam," jawab Niko pelan karena di seberang sudah sunyi tanda sambungan telepon sudah berakhir. "Berkas apaan? Bilang aja pengen telfon aku. Kenapa juga pake alesan segala," ucap Niko sambil merebahkan diri di atas kasur empuknya. Tring Ponsel Niko kembali berbunyi. Niko tersenyum sendiri. "Masih kangen dan penasaran kan kamj ama aku," kata Niko penuh kesombongan. "Mau apa lagi? Berkasnya ga ada," jawab Niko sedikit ketus. "Sayank, ini aku. Berkas apaan sih?" sapa suara gadis di seberang sana. "Sayank," Niko heran dengan panggilan yang di dengarnya, dia melihat siapa yang menghubunginya. "Eh maaf sayank, tadi ada Rivan tuh nanyain berkas mulu. Kamu lagi apa sayank?" tanya Niko menyadari kekasihnya menelfonnya. "Lagi kangen ama kamu. Kamu udah dateng dari Bandung?" "Udah, ini lagi istirahat di kamar." "Kamu ga pengen ketemu aku? Aku kangen loh," suara merayu terdengar membuat telinga Niko meremang. "Aku capek sayank. Besok aja ya." "Aaahhh kamu gitu. Udah 2 hari kita ga ketemu. Kamu kesini ya, bentaaaar aja. Aku kangen banget." Bujuk rayu terus melenakan Niko. "Ya udah deh, aku kesana ya. Tunggu ya sayank." Niko kalah, dia akhirnya memilih menemui kekasihnya itu. Niko bersiap pergi menemui kekasihnya. Dia mengambil jaket di gantungan bajunya. Dia segera keluar dan turun dari kamarnya. "Mau ke mana kamu?" tanya papa Niko yang sedang duduk bersama Jojo di ruang tengah. "Mau keluar bentar, pa. Mau ketemu temen," jawab Niko sambil menyambar kunci mobil. "Kalo ketemu lagi sama Laura, mending ga usah pulang lagi ke rumah!" suara papa Niko mampu menghentikan langkah Niko sesaat. Niko kaget dengan ucapan papanya. "Niko akan cepet pulang, pa. Niko jalan dulu." Niko menyalakan mobilnya, dia segera memacu mobilnya menuju ke apartemen Laura. Dia juga ingin melihat kekasih cantiknya itu. Mata Niko menerawang jauh, pikirannya terpecah saat ini. "Astagfirulloh.” Niko menginjak pedal remnya saat dia menyadari ada mobil parkir di depannya. Hampir saja dia menghantam mobil tidak bergerak itu. Ting tong ting tong. Niko menekan bel di sebuah unit apartemen dan tidak perlu menunggu waktu lama, pintu segera terbuka. "Sayank, aku kangen," seorang gadis segera mengalungkan tangannya di leher Niko dan bergelayut manja. "Masuk dulu dong, masa gini sih," kata Niko sambil memegang pinggang ramping Laura. Mereka masuk dan duduk di kursi depan TV. Laura masih bergelayut manja di lengan Niko. Gadis berambut coklat itu tampak sangat seksi dengan hanya menggunakan hot pen yang sangat pendek dan kaos over size yang membuatnya makin terlihat menawan. "Oleh-oleh dari Bandung mana?" tanya Laura dengan suara manja. "Oleh-olehnya capek. Kasih aku minum dulu dong. Haus nih." Laura berjalan ke dapur mengambilkan Niko minum. Niko mengamati Laura. Penampilan Laura sangat berbeda dengan Andini. Laura memiliki bodi bagus yang membuat semua orang tak berkedip melihat keseksian tubuhnya. Tapi Andini, entah apa yang dia banggakan. Apa dia malu atau bahkan punya kekurangan di tubuhnya sampai dia harus menutupnya serapat itu. “Aah, Laura ku memang berbeda, dia lebih pantas mendampingi aku dibanding gadis kampung itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD