Pada Momen Itu... (2)

1728 Words
Sang Mama langsung menepuk pipi Klara dengan sayang. Mencermati air muka Sang Putri Bungsu. “Iya. Kenapa memangnya?” Klara mengangkat bahu. Berusaha untuk menekan rasa enggannya agar tidak mencuat, demi menjaga perasaan Sang Mama. “Ya deh. Tapi sebentar saja ya Ma. Aduuuh..., aku nggak yakin deh bakalan bisa ‘nyambung’ obrolannya.” Bu Ellen mengangguk pendek. “Ngerti, Sayang. Sekadar berkenalan saja. Lalu mengobrol sedikit. Setelah itu ya terserah kamu deh, Sayang.” Klara mengembuskan napasnya. “Janji ya Ma, cuma sedikit mengobrolnya.” “Iya.” “Ngomong-ngomong, ada berapa Teman Mama yang akan datang nanti?” Klara akhirnya bertanya langsung kepada Sang Mama. Sang Mama menghitung dalam diam. “Hm..., sekitar lima belas sampai dua puluh orang, Ra.” “Hm. Banyak juga ya.” “Tapi ada satu, yang paling kepengen ketemu sama kamu, Ra. Sudah berkali-kali lho, mau melihat kamu secara langsung. Cuma saja, selama ini belum ada kesempatan.” Klara memutar bola matanya. Seolah tak percaya ada dirinya memiliki Seorang Penggemar dari kalangan Para Tante yang dapat digolongkan sebagai Kaum Sosialita.Otaknya langsung berpikir, bahwa kemungkinan hal itu terjadi karena yang bersangkutan ingin memakai jasa Penyelenggara miliknya. “Kok bisa, Ma? Siapa?” “Tante Virny.” “Oooh..., yang Mama suka cerita itu, bahwa Beliau mempunyai toko roti dan kue? Yang Suaminya juga menekuni usaha kuliner, tapi lebih ke arah makanan berat?” “He eh. Bagus kalau kamu ingat.” “Kenapa Mama nggak pesan makanan dari tempat Tante Virny saja, untuk acara hari ini? Kan jadi nggak perlu repot-repot, Ma? Kan lengkap, ada kuenya, ada makanan beratnya? Beres, kan?” Sang Mama tertawa lepas. “Ya nggak bisa begitu dong, Sayang. Lalu apa bedanya arisan di tempatnya Tante Virny sama di sini kalau begitu? Memangnya kamu nggak rela ya, direpotkan sama Mama, hari ini?” Klara menggaruk-garuk kepalanya dengan lengannya, menyadari salah ucapnya. Sebab tak memungkinkan baginya menggaruk dengan jari-jarinya saat ini. “Bukan begitu, Ma. Cuma..., Mama ini kan sudah lumayan sibuk di Yayasan. Itu maksud Rara.” “Sekali-kali nggak apa dong, Sayang Yang namanya hidangan itu, beda lho, kalau dipersiapkan sendiri sama yang tinggal beli. Itu akan membuat Tamu kita merasa diistimewakan.” “Oke, oke,” sahut Klara yang enggan berdebat. Kalau Sang Mama sudah mengeluarkan teori macam ini, memang sebaiknya diiakan saja menurutnya. “Dan Mama sudah bilang belum? Tante Virny itu sangat penasaran sama resep bolu singkongnya kita. Malah pernah, entah bercanda entah serius, Tante Virny bilang mau membeli resepnya.” Klara memandang Sang Mama dengan takjub. Seolah tak percaya apa yang abrusan didengarnya. “Wow! Terus Mama bilang apa?” “Ya Mama ketawa saja. Orang resepnya juga sudah Mama kasih, kok. Gratis. Tis. Tis.”  “Dan?” “Sudah dicoba sama Tante Virny dan Anak buahnya. Lebih dari sekali. Tapi katanya rasanya kok nggak bisa persis sama.” “Tangannya kali Ma, beda. Tangan yang membuat.” “Bisa jadi. Dan itu terbukti. Di rumah ini yang membuat bolu singkong paling enak kan tangan kamu. Mama, Kakakmu sama Nina saja kalah.” “Ah. Kalau soal itu, Mama terlalu mengada-ada.” “Enggak kok, Ra. Mama serius.” “Itu betul lho,  Mbak Rara,” sela Nina. Klara mengerling pada Sang Asisten Rumah Tangga mereka yang tersenyum menatapnya. “Ih, ikut-ikut nih, Mbak Nina.” Nina tertawa saja. Tak mengatakan apa-apa lagi. “Makanya Tante Virny penasaran mau ketemu kamu. Wah, Beliau pasti senang akhirnya bisa bertatap muka sama kamu nanti.” “Ih, nggak segitunya juga. Ma,” elak Klara enggan. “Beneran,” sahut Sang Mama cepat. “Makanya, kamu juga mandi gih, sana. Terus, dandan yang cantik, ya.” Klara menatap dengan pandangan protes. Ia sudah menangkap ada sesuatu yang mencurigakan di sini. Perkataan Sang Mama sepertinya bersayap. Hanya saja, dia belum bisa mendapatkan jawabannya. “Lho, kok?” Sang Mama tak menyahut, hanya tersenyum penuh arti. Hati Klara terusik memikirkan arti senyum itu. Namun tak kunjung mendapatkan jawabannya. * Dan pelan namun pasti,, arti senyuman Sang Mama terkuak menjelang malam harinya. Beberapa Tamu sudah datang lebih dulu dan mengobrol di ruang tamu kediaman Pasangan Pak Alvin dan Bu Ellen yang luas itu. Saat itulah, ada sebuah mobil sedan yang merapat di depan teras rumah mereka. Sang Mama menatap ke arah teras. “Eh, itu Tante Virny datang. Ayo kita ke depan, Ra. Ibu-Ibu, saya tinggal sebentar ya,” kata Bu Ellen kepada Bu Hanny, Bu Celia dan Bu Trias yang tengah asyik mengobrol. Tangannya menepuk pundak Klara yang baru saja menyapa ketiga Ibu tersebut. “Silakan, Jeng Ellen,” sahut Ketiga Orang itu serempak. Klara tersenyum dan mengangguk sopan sebelum meninggalkan mereka. Ia mengikuti langkah Ibunya, yang sudah lebih dulu beranjak. Sekejap, telinganya sempat mendengar bisikan mereka. “Jeng Celia, jadi nih kelihatannya.” “Iya, bakalan sukses nih. Habis ini kita makan-makan di restaurant Bu Virny. Gratis dan bawa keluarga kita semua. Bisa-bisa ditawari voucher makan gratis seumur hidup, pula.” “Ah. Pasti. Itu mudah banget. Bu Virny ini sudah kesengsem berat sama Putrinya Jeng Ellen dari dulu. Sudah bukan rahasia lagi.” “Semoga mereka cocok. Katanya, Putra Sulungnya Bu Virny itu juga oke kok.” “Oh, oke banget. Orang aku pernah nggak sengaja berpapasan waktu berkunjung ke toko roti dan kue punya Bu Virny. Waktu itu kebetulan Anaknya Bu Virny jemput Bu Virny karena Supirnya Bu Virny sedang sakit. Kelihatannya Anaknya baik kok, hormat dan sayang banget, sama Ibunya. Cocok deh, sama Anaknya Jeng Ellen. Satunya cantik, satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik dan santun. Kurang apa lagi coba?” “Wah. Kita-kita ikut senang.” Seketika telinga Klara terasa memanas mendengar percakapan Para Ibu yang tanpa mereka sadari bukan lagi berupa bisik-bisik namun percakapan biasa. Dan tentunya mereka juga tak tahu bahwa Klara mendengar dengan jelas. Hampir saja ia menyurutkan langkahnya. Ia benar-benar membujuk dirinya yang tergoda untuk protes keras. Apa-apaan ini Ma? Mama mau menjodohkanku? Ih.... no way! Memangnya ini jaman Siti Nurbaya, pakai dijodoh-jodohin segala!  Nggak banget! Jerit hati Klara. Tapi apa daya, dia tahu akan sangat tidak sopan untuk berlaku seperti itu. Yang ada, Mamanya bakal mendapatkan malu nanti. Mau tak mau, Klara melanjutkan melangkah. Sementara di dalam mobil, sebuah percakapan berlangsung. “Ma, aku langsung saja, ya.” Sang Pengemudi, Seorang Pemuda yang masih mengenakan kaca mata hitamnya bahkan di senja hari yang sebentar lagi hampir purna begini, langsung berkata demikian kepada Sang Mama. Tentu saja Sang Mama menyuarakan protesnya. “Lho, jangan dong. Kan kamu sudah janji mau mengantar Mama hari ini.” “Ya ini kan sudah aku antar sampai tempat, Ma. Sudah sesuai janji dong. Nanti aku jemput juga, setelah aku selesai rapat.” Sang Mama menggeleng tegas. “Halah! Kamu ini! Rapatnya kan bisa ditunda. Lagi pula kamu bisa percayakan ke Anak-anak. Nggak harus kamu hadiri juga. Ayo lah,” bujuk Sang Mama. Bu Virny menepuk pundak Anaknya. “Ayo, turun sebentar. Minimal, berkenalan sama Tante Ellen, dan.... Putrinya.” “Kan aku sudah kenal sama Tante Ellen. Waktu itu juga sudah ketemu kok, di tokonya Mama.” “Tapi sama Putrinya kan belum. Ayo makanya! Cepat! Setelah kenalan, terserah kalau kamu mau pergi rapat.” Sang Anak mendengkus enggan. “Oke deh. Cuma kenalan tapi ya...” "Iya." Dia segera turun dan membukakan pintu mobil untuk Sang Mama. Saat itulah, Bu Ellen dan Klara tiba di teras. “Gentle sekali Anaknya Tante Virny, ya,” puji Bu Ellen sambil menatap Klara. Klara tidak tertarik untuk berkomentar. Dia sudah langsung membaca nada yang tersirat dari kalimat Sang Mama. Itu tak ubahnya gaya Seorang Tenaga Marketing mempromosikan produk jualannya. Andai saja yang barusan bicara bukan Sang Mama, ingin benar Klara mencibir. Dia semakin sebal ketika Bu Virny dan Sang Anak sudah berdiri di hadapan mereka. Ditahannya keinginan hatinya untuk ‘menilai’ penampilan Pemuda yang mendampingi Bu Virny. Sejumlah pemikiran negatif sudah mendesak-desak, hendak berloncatan keluar dari kepala Klara. Hih! Dasar nggak sopan! Dia ini terobsesi sama Tukang pijat keliling yang mengenakan kaca mata hitam kali ya, jadi meniru penampilan mereka? Lha kalau Tukang pijat keliling itu kan memang memerlukan kaca mata hitam. Sedangkan dia? Ngapain coba, itu kaca mata nggak dilepas? Atau matanya dia lagi sakit dan banyak beleknya, mungkin ya, jadi biar nggak grogi pas berkomunikasi sama Orang, makanya tetap dia pakai? Oh, atau memang dia ini Orangnya gagap dan nggak percaya diri, atau bisa jadi dia ini Tukang bohong, makanya perlu berlindung di balik kaca mata hitam. Dan dia ini ke sini kira-kira Mamanya sudah bilang dia belum, bakal dikenalkan ke aku? Atau..., jangan-jangan justru maunya dia tuh minta diperkenalkan ke aku. Hidih! Dasar Cowok Cupu! Duh, Mama, Mama, lain kali yang lebih selektif sedikit dong kalau mau memperkenalkan Anak dari Teman Mama!  Yang sedikit berkelas, berkualitas gitu lho! Keluh Rara dalam hati. “Selamat sore menjelang malam, Bu Ellen,” sapa Bu Virny. Senyum ramahnya mengembang. “Selamat sore menjelang malam juga, Bu Virny,” sahut Bu Ellen, membalas senyum ramah Bu Virny. “Yang cantik ini pasti Klara, kan? Aduh, senang benar akhirnya Tante bisa ketemu langsung sama Klara. Kamu lebih cantik aslinya dari pada yang selama ini Tante lihat melalui foto. Apa kabar, Klara Sayang?” sapa Bu Virny dengan akrab. Klara yang sedikit canggung dengan panggilan ‘Klara Sayang’ itu toh merasakan adanya ketulusan yang tersirat dalam kalimat Bu Virny. Dia bahkan dapat merasakan tatap rindu dalam bola mata Wanita paruh baya itu. Seolah-olah mereka sudah lama tak bersua. Padahal ketemu juga baru satu kali ini. “Hallo, Tante Virny. Senang bisa berkenalan dengan Tante Virny. Terima kasih atas pujiannya,” ucap Klara pula. “Tante tidak memuji. Kamu memang cantik sekali.” "Tante juga cantik," balas Klara untuk alasan etika. "Terima kasih, Kamu bisa saja menyenangkan hati Orang, Klara Sayang," sahut Bu Virny. Sang Pemuda yang berdiri di sisi Bu Virny sepertinya kurang berminat mendengarkan keseluruhan ucapan Sang Mama. Dia mengangguk santun dan mengulurkan tangan kepada Bu Ellen. “Apa kabar, Tante Ellen?” “Kabar baik, Randy. Randy sendiri bagaimana?” “Kabar baik juga, Tante.” Semula dia tersenyum ramah kepada Bu Ellen, tetapi entah mengapa, begitu tatapannya bergeser kepada Klara yang tengah menyalami Bu Virny, senyumnya seketika lenyap. Sialnya, gerakan kontras itu tertangkap oleh pandangan mata Klara. Apalagi ketika dia juga mengerling ke wajah Bu Virny. Klara benar-benar terusik jadinya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD