Adu Pendapat Yang Tak Berujung

2016 Words
Bu Ellen semakin terbungkam jadinya. Mulutnya bagai tergembok. Dan itu sungguh membuat Irene merasa kesal. “Ma, Mama masih mendengarkan aku, kan?” Rajukan Irene memang tak ubahnya dengan rajukan Seorang Bocah Kecil yang super manja dan  tengah memprotes Sang Mama lantaran merasa kurang diperhatikan. Sang Mama tergeragap. “Mama...!” “Iya, Ren. Mama dengar kok.” “Habis, Mama tadi diam.” Bu Ellen tercenung. Mendadak lidahnya terasa kelu. Jelas dia tak ingin mempercayai apa yang dikatakan oleh Irene. Walau Klara tidak terlampau dekat dengannya, dia percaya bahwa Putri Bungsunya itu takkan mungkin menyimpan rahasia sebesar itu darinya, atau dari Suaminya. Rara dan Seorang Cowok makan sampai suap-suapan di tempat umum? Semestinya itu bukanlah Teman biasa. Aku yakin bukan gaya Rara yang demikian. Ya kalau Irene sih aku nggak heran. Dari semenjak pacaran sama Dhika saja dia sudah nggak ragu untuk pamer kemesraan did epan Orang lain. Yang akhirnya, Dhika saja jadi terbiasa, tertular dia. Tapi kalau bukan Rara, lalu Siapa? Masa kalau hanya bercanda, Rara nggak bisa menjaga diri dan menempatkan diri dengan baik? Enggak mungkin, ah! Anakku nggak mungkin seperti itu. Terlebih dengan posisinya sebagai Pemilik Tunggal Perusahaannya, mana mungkin dia bertingkah laku seperti itu, yang dapat menjadi sasaran empuk untuk digoreng-goreng oleh Para Pesaingnya? Pikir Bu Ellen. Tetapi sisi hatinya yang lain menolak pemikirannya dengan seketika. Dan kalau Cowok itu memang benar suap-suapan dengan dia, sudah pasti mempunyai hubungan dekat dengannya. Rara itu bukan Rene yang seringnya nggak peduli bahwa sikap pamer kemesraannya membuat Orang lain di sekitarnya jengah. Mereka berdua seperti kan seperti berasal dari dua kutub yang saling bertentangan walau sama-sama lahir dari rahimku. Lalu Siapa Cowok itu? Apakah Rara memang sudah punya Tambatan hati sekarang ini?  Apakah itu alasannya menolak didekatkan dengan Randy? Tanya Bu Ellen dalam hatinya yang bimbang. “Mama...!” Rengekan Irene terdengar lagi. Sang Mama mengehela napas. “Iya, Rene Sayang.” “Mama harus tegur dia lho. Aku lagi terkendala nih, sama suasana hatiku yang suka kaca balau dari kemarin sore. Terus, aku jadi suka nggak konsentrasi dan mendadak lupa begitu kalau lagi jengkel,” keluh Irene. Sang Mama mengembuskan napas dengan amat perlahan. “Nah itu dia Sayang. Itu suatu pertanda bahwa kamu harus lebih mengutamakan diri kamu buat sekarang ini. Soal Rara, nanti Mama yang cari waktu untuk bicara sama dia. Kan nggak bisa langsung main ditanya-tanya seperti Orang bersalah yang diinterogasi.” Ya kenyataannya memang salah, gimana sih, Ma! dumal Irene dalam hati. Irene mendecakkan lidahnya. “Ma, pokoknya segera. Jangan ditunda-tunda melulu. Rara tuh kalau semakin didiamkan, semakin seenaknya dia.” Bu Ellen menggeleng-gelengkan kepalanya. “Iiiiiya...” “Janji ya, Ma.” Mata Bu Ellen terpejam sejenak. “Iya Sayang.” “Mama nggak kasihan sama Calon Cucu Mama?” “Aduh! Sayang, kenapa lagi? Kamu kenapa? Calon Cucu Mama kenapa?” tanya Bu Ellen beruntun. Ada cemas yang tersirat dalam suaranya. “Ya kalau Mama nggak segera mengabarkan hasil investigasi Mama soal Si Rara ke aku, aku kan jadi gelisah. Kepikiran terus sama Rara. Selera makan aku jadi  lenyap, kualitas tidurku juga menurun drastis. Terus suasana hati aku gampang memburuk dan jadi uring-uringan. Kasihan Cucu Mama, kan? Dia jadi ikut sedih sama keadaan Mamanya tapi nggak bisa bantu apa-apa. Mama nggak mau kan, kalau nanti pas Cucu Mama lahir, wajahnya tampak murung?” Sontak hati Bu Ellen tergelitk. Nyaris Bu Ellen tertawa geli mendengar uraian panjang Irene.  Hanya saja, mendengar ucapan Irene yang demikian serius, dia langsung mengurungkannya. Dia tahu, Irene memang serius. Dan akan menjadi tersinggung apabila dia menanggapi secara ringan saja. Alhasil Bu Ellen menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Ren, Ren! Kamu itu, ya .., memang kasihan Anakmu. Masih di dalam perut saja sudah terus diperalat sama kamu buat mencapai apa pun keinginanmu, batin Bu Ellen geli. “Ma..., minta ke Rara untuk menginap di rumah dong, akhir minggu ini.” “Buat apa? Memangnya kamu mau kemari? Mama harus cek dulu apakah dia sempat atau nggak?” “Ih Mama, bagaimana sih! Ya pertama, supaya Mama punya waktu yang tepat buat mempertanyakan ulah dia itu, yang sembarangan berselingkuh dari Randy. Mana bisa hal macam itu ditanyakan melalui sambungan telepon?” “Apa? Berselingkuh?” “Iya dong. Apa namanya kalau bukan berselingkuh, Ma?  Dia itu kan sudah diproyeksikan untuk menjadi Pendamping Randy ke depannya. Mana boleh dia sembarangan dekat sama Cowok lain? Itu namanya berselingkuh Ma. Nggak bisa menjaga hati, nggak bisa menjaga diri. Nggak bisa menghargai Orang yang sudah meninggal, Mendiang Tante Virny.” “Astaga Ren, kamu ini ada-ada saja.” “Terserah Mama saja deh pokoknya. Ma, intinya dia nggak usah macam-macam deh. Terus nih yang kedua, Ma, memangnya Mama nggak kangen sama dia?” “Ya kangen dong, sudah pasti Kamu tuh pakai tanya yang begini..” “Nah, minta dia buat menginap kalau kangen, Ma. Lagi pula Rara itu aneh deh Ma. Dia itu masih lajang, kok Papa sama Mama mengijinkan dia tinggal di apartemen, sih? Dia itu Anak Gadis lho Ma. Mama tahu sendiri, Penghuni di apartemen itu kan beragam. Mama sama Papa memangnya nggak mempertimbangkan tentang keselamatan dia? Dan juga, tinggal di apartemen itu kan identik dengan kebebasan. Bagaimana kalau dia terkena bujuk rayu itu Cowok dan sudah berani mengijinkan Cowok itu menginap di unitnya? Terus bagaimana kalau mereka berdua sudah melakukan perbuatan terlarang? Dan bagaimana kalau itu Cowok menumpang hidup di apartemen Rara? Nanti kalau kejadiannya Rara sampai hamil di luar pernikahan terus bagaimana? Mama dan Papa nggak mau menanggung malu, kan?” "Hush! Kamu ini sembarang kalau bicara. Hati-hati Sayang, jaga ucapanmu. Perkatakan yang baik-baik. Apalagi sekarang ini kan kamu sedang mengandung, Kamu tahu bahwa perkataan adalah doa, kan?' tergur Sang Mama. "Ya habisnya..., Mama ini terlalu banyak memberikan Rara kebebasan. Aku takut kalau dia kebablasan, Ma.." “Ren, Ren! Kamu mikirnya kejauhan, Sayang. Rara itu nggak seperti itu. Mama sama Papa sangat percaya bahwa dia bisa menjaga diri dengan baik. Lagi pula letak Apartemen dia itu nggak jauh dari kantor dia, jadi memudahkan dia untuk mobilisasi. Terus juga, banyak kafe dan area umum di lantai dasar yang memungkinkan untuk dijadikan tempat buat dia dan Para Kru-nya dia untuk berdiskusi atau mengadakan rapat. Mereka itu kan kerja kreatif, jadi menurut Rara, area taman dan sebagainya itu sangat pas digunakan buat berdiskusi, bukan yang melulu dibatasi dengan dinding empat sisi dan ruangan kantor yang itu-itu saja dan berpotensi membuat jenuh serta mengakibatkan ide mampet. Mama pikir juga ada benarnya, kan kalau suasananya santai gagasan mereka bisa mengalir dengan lebih lancar. ” “Halah! Itu kan hanya alasan, Ma. Kalau hanya mau diskusi di rumah juga bisa. Kan di taman belakang juga suasananya enak. Banyak tanaman bunganya Mama. Terus ada kolam renang juga, bisa duduk-duduk nggak jauh dari situ. Anginnya juga alami bukan yang dari pendingin ruangan. Kurang apa? Jujur deh, aku itu sampai sekarang masih nggak habis pikir kenapa Mama sama Papa merelakan Rara tinggal sendirian di sana. Itu riskan, sangat riskan. Belum lagi omongan Orang tentang Anak Gadis yang masih usia segitu tinggal sendirian di apartemennya. Nanti Orang akan bilang dia itu Simpanan CEO lah, Istri Muda lah, atau apa lah. Yang negatif melulu.” Bu Ellen menghela napas panjang. Dia tak menyangka, ‘masalah usang’ ini masih juga dipermasalahkan oleh Irene. Dan sekarang dikait-kaitkan pula dengan perisitiwa ‘dirinya menangkap basah Sang Adik mempunyai Seseorang. yang mana, itu juga belum dipastikan kebenarannya. “Ren, dengar Mama. Rara itu Adikmu sendiri, jangan selalu berpikir negatif sama dia. Lagi pula Simpanan CEO apa? Dia sendiri sudah CEO. Rara itu Pekerja keras yang fokus. Dia nggak terlalu peduli atau mengurusi gosip maupun omongan Orang yang mengada-ada karena memang tidak benar. Dia juga nggak sempat, kata dia hanya menghabiskan energi dan kesabaran saja kalau mengurusi asumsi Orang. Lagi pula, memang dia dapat menjaga diri. Titik. Lalu soal dia sepenuhnya tinggal di apartemen itu, juga buat alasan kepraktisan. Letaknya kan di pusat kota. Ada beberapa pilihan transportasi umum juga menuju ke sana. Dari bus, mass rapid trans, sampai light rapid trans.” “Dia nggak butuh tranpsortasi umum yang Mama sebut itu, Ma. Kan Mama tahu kalau dia lagi malas menyetir paliing dia pesan taxy daring. Dia mempekerjakan Supir pula.” “Ya bukan dia maksudnya. Kru yang harus bolak-balik untuk diskusi di tempat dia itu kan nggak semuanya memiliki kendaraan pribadi, Ren.” “Terserah Mama deh. Mama selalu membela Rara dan membenarkan semua yang dia buat.” “Bukan seperti itu.” “Sudah ah, Ma. Jadi melebar kesana kemari. Terus yang ketiga nih Ma, sebelum aku lupa. Kalau dia di rumah itu, kan selain ada Mama, Papa bisa bantu mengorek cerita dari dia. Istilahnya, kalau sama Mama dia masih berusaha mengelak, masa iya dia nggak terpancing membocorkan rahasianya kalau sudah menghadapai trik Papa?” Bu Ellen mendesah. “Iya, iya, nanti Mama telepon dia. Semoga ya, dia bisa menginap di sini.” “Harus, Ma. Bilang sama dia harus. Dari pada nanti dia makin dekat sama Si Cowok yang nggak tahu Siapa itu. Bagaimana kalau Cowok itu jahat dan mendekati dia untuk memanfaatkan dia? Bagaimana kalau ternyata Cowok itu adalah Cowok Pengeretan yang hanya mau uangnya Rara? Bagaimana kalau Cowok itu adalah Cowok m***m yang pikirannya mau macem-macemin Rara? Rara itu kan kayaknya pengalaman pacarannya super minim, nggak sebanding sama keberhasilannya dia di bidang bisnis. Ih! Yang jelas, aku nggak rela kalau Adikku sampai dimanfaatkan sama Cowok! Bisa aku kruwes-kuwes mulut Cowok itu dan aku bejek-bejek badannya.” “Ya kalau itu Mama juga nggak rela, Sayang. Seperti halnya kamu bersanding dengan Dhika yang baik dan pengertian sama kamu, Rara juga pantas untuk mendapatkan yang terbaik.” “Dan Randy adalah Orangnya. No doubt.” Bu Ellen belum sempat berkomentar sebab Irene sudah lebih dulu menambahkan, “Dan yang terakhir, ini demi Cucu Mama.” Hampir saja Bu Ellen terpancing untuk tertawa. “Kenapa lagi Cucu Mama?” “Dia lagi kepengen makan bolu singkong buatan Tante Rara. Dan kepengennya ya akhir minggu ini makannya. Mama nggak mau Cucu Mama nanti ileran, kan?” “Ha ha ha...” “Ma, aku serius. Jangan ketawa begitu. Kesannya nggak percaya kalau aku mengidam bolu singkong buatan Rara.” “Ren, Ren!Kamu ini ada-ada saja. Ngidam kok bia dijadwalkan begitu. Ya sudah, nanti Mama usahakan. Kamu tunggu kabar saja. Jangan usik dia dulu ya. Takutnya nanti malahan dia menutup diri, lho. Oke?” “Oke. Tapi Mama jangan mengecewakan aku.” “Iya, Ibu hamil. Kamu lagi mau makan apa sekarang? Mau Mama pesankan sesuatu?” Bu Ellen yang sudah mulai bosan dengan segala ‘tuntutan’ dari Irene berusaha mengalihkan pembicaraan. Akan tetapi usahanya membentur tembok. Gagal total.rene cukup fokus dan persisten rupanya dengan tujuannya menghubungi Sang Mama. “Ma, aku mengandalkan Mama, ya. Jangan ngecewain aku ya. Kalau Mama mengecewakan aku, sama saja Mama nggak sayang sama Cucu Mama,” kata Irene bernada ancaman. Bu Ellen tak tahu harus menjawab apa lagi. Dia memilih untuk diam saja. Pikirnya, mau dijawab apa juga bisa dianggap salah oleh Irene. “Sudah ya Ma, aku mendadak lapar lagi nih. Aku mau makan dulu. Mbak Riekaaaa! Bawain makanan kemari!” Teriakan Irene terdengar nyaring. Bu Ellen diam-diam menarik napas lega walau sempat terkaget dan merasa telinganya pengang. Untung saja dia merasa lapar. Jadinya nggak perlu lagi mengajak Mamanya berdebat lebih lama lagi. Karena memang nggak akan pernah ada ujungnya. Apa-apa juga salah di mata dia,. Irene itu memang selalu menang beradu pendapat dengan Siapa pun. Ah, semoga saja Dhika selalu sabar menghadapi dia terutama di saat dia menjalani kehamilannya. Dan semoga Dhika selalu sayang sama Irene dan Calon Anak mereka, pikir Bu Ellen. “Daagh Mama, ini aku kirimkan fotonya sekarang juga. Aku nggak mau sampai lupa kalau aku tunda barang satu menit saja.” “Oke. Oke. Daagh Irene..” Bu Ellen dapat sedikit menarik napas lega begitu komunikasi mereke melalui telepon usai. Celakanya, rasa lega itu tidak berlangsung lama. Hanya sekian detik setelahnya, serentetan foto yang dikirimkan oleh Irene melalui aplikasi pesan di telepon genggamnya membuat matanya terbelalak. Dia mencermati satu demi satu demi memastikan kebenaran atas apa yang dia lihat. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD