Kompensasi?

1417 Words
Hati Vino begitu berbunga begitu keluar dari ruang rapat. Wajahnya tampak amat berseri-seri, bagai Seseorang yang baru saja mendapatkan durian runtuh. Tatapan mesranya sungguh-sungguh diarahkan kepada Klara. Seolah tak peduli bahwa tindakannya itu bisa saja dipergoki oleh Peserta Rapat yang lainnya. Dia nyaris tak sanggup menyembunyikan rasa gembiranya, yang bercampur dengan rasa bersyukur karena andil Klara. Sepanjang rapat tadi, dia tak henti memuji dalam hati apa yang telah dilakukan Klara baginya. Diam-diam dia juga mengakui, semua itu sangat berarti, justru melebihi dari apa yang dia harapkan. Vino yang menuruti ‘persyaratan’ dari Klara untuk bersikap se-profesional mungkin selagi berada di lingkungan kerjanya, malahan sempat mengirimkan sebuah pesan teks kepada Klara yang duduk berseberangan dengannya di dalam ruang rapat. Bunyi pesan teks itu terdengar cukup tulus, “Klara Sayang, aku sangat berterima kasih atas apa yang kamu lakukan ini. Sayang, aku nggak pernah tahu kalau kamu ternyata sepintar ini menyembunyikan semuanya ini dari aku. Ini benar-benar kejutan yang amat indah. Kamu tahu kan, betapa besar artinya semua ini bagiku? Ini bahkan melampaui dari apa yang aku bayangkan! Dengan tim aku dan tim kamu yang akan berkolaborasi dalam perayaan ulang tahun Channel 789 yang akan mengundang sejumlah Pengisi Acara yang ada dalam daftar yang kamu sodorkan, aku sudah bisa membayangkan akan bagaimana reaksi dari Pimpinan Channel 789. Pak Johan akan kembali memercayaiku dan aku yakin akan memperjuangkan pula program-program baru yang kelak aku ajukan. Penonton akan merasa sangat dimanjakan. Terima kasih banyak Klara Sayang. Aku berhutang budi sama kamu. I love you so much, Klara Sayang.” Tentu saja Klara tidak membalas pesan teks itu hingga rapat usai. Gadis itu terlalu fokus mengemukakan gagasan di kepalanya. Dan Vino terpana. Satu sisi hatinya seolah mengatakan, “Gadis ini benar-benar mencintai kamu. Dia mau melakukan hal yang terbaik buat kamu. Bahkan menyimpan rahasia sebesar ini dari kamu. Dia nggak pernah mengatakan akan kembali memasukkan proposal. Dengan harga yang sulit untuk ditampik pula oleh Channel 789 karena materinya amat bagus.Tapi tahu-tahu? Apakah kamu tega, membalas kebaikan hatinya dengan tetap melanjutkan rencana busukmu kepadanya?” Sebelum Vino mendapatkan jawaban, sisi hatinya yang lain telah menghasutnya, “Biar saja. Nggak usah lemah, Vino. Jangan main perasaan. Bukankah Cewek ini adalah Cewek yang paling pelit dari semua Cewek yang mendekati kamu? Coba pikir, barang mahal apa yang dia kasih ke kamu? Dan kalau masalah kamu boleh menjamah tubuh dia saja bahkan untuk mereguk kenikmatan dari tubuh aduhainya akan sebatas angan-angan saja, buat apa kamu terlalu menghargai dia? Dia sok jaga diri, pacaran serba pakai batas, biar saja dia lakukan semau dia. Yang penting, tetap ada di diri dia yang bisa memberikan manfaat buat kamu. Apa lagi kalau bukan otak kreatifnya dan hatinya dia yang tulus? Ya, ambil saja itu sebagai kompensasi dari rasa kesalmu karena sudah banyak menginvestasi waktu, perhatian, bahkan uang, untuk membelikan dia hadiah-hadiah kecil untuk semakin membuat hati dia terjerat sama kamu?” Ketika rapat berakhir dan satu demi satu Peserta rapat keluar dari ruangan tersebut, Vino mendekati Klara. “Mari saya antarkan ke lobby, Mbak Klara,” ucap Vino. “Klara saja,” timpal Klara. “Oh, baik. Mari Klara, supaya kita bisa sambil mengobrol.” Klara mengangguk. Mariska menyenggol lengan Fela. “Hm?” “Pakai sok sandiwara seolah mereka nggak punya hubungan apa-apa. Ngapain sih,” bisik Mariska super pelan. Fela menggelengkan kepalanya. Kode keras agar Mariska tak melanjutkan ucapannya. Ketika Mariska hendak menguntit Vino dan Klara yang berjalan jauh di depan mereka demi mencuri dengar pembicaraan Dua Insan tersebut, Fela segera menarik tangan Mariska. “Eh kenapa?” tanya Mariska protes karena badannya setengah terhentak. “Sudahlah! Kita balik ke kubikel kita masing-masing. Pekerjaan menunggu kita. Nggak sempat deh kita mengurusi yang model begitu. Setidaknya kali ini.” Mariska mencebik. “Aduh Fel, kamu nggak asyik deh. Aku yakin berat bahwa mereka menutupi hubungan mereka. Padahal buat apa sih? Mereka pacaran juga nggak masalah, kok. Pakai pura-pura segala. Kan nggak ada salahnya Orang dari Channel 789 pacaran sama Orang luar. Sedangkan yang satu pekerjaan juga banyak yang pacaran kok. Karena cinta lokasi. Tuh, contohnya, Mas Nando dan Mbak Sonia.” “Nah, maka dari itu. Sudah, kamu nggak usah pusing sama yang begituan lagi.” “Kamu nggak lihat, selama di ruang rapat tadi, Mas Vino terus menatapi Mbak Klara.” “Ya wajar dong, Mbak Klara itu duduknya tepat di seberangnya. Normalnya Orang memang menatap ke depan, bukan ke samping atau belakang. “Sok bijak!” “Ya kamu juga sih, bukannya konsentrasi sama apa yang dibicarakan dalam rapat, malahan iseng ngelihat ke Mas Vino terus. Entar naksir baru tahu rasa, lho!” Mariska bagai tertampar oleh kata-kata Fela. “Enggak, lah! Gila apa naksir sama Cowok yang kalau ngomel ucapannya ngalah-ngalahin Mak Tiri yang koleksi tupper ware-nya dihancurkan sama Anak tirinya yang naik darah karena terus ditindas...” Fela tergelak. “Busyet Riskaaa! itu perumpamaan. Ajaib banget!” “Kenyataan.” Fela mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan agar mereka berdua segera kembali meninggalkan tempat itu. Mariska menatap tak puas. “Ayolah!” Fela menarik tangan Mariska lagi. Kali ini lebih kuat dari yang tadi. * Vino mendahului gerakan Supir Pribadi Klara, dan membukakan pintu mobil untuk Gadis itu begitu mobil merapat di sisi lobby. “Terima kasih Mas Vino,” ucap Sang Supir. Vino mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum. “Terima kasih. Aku jalan dulu ya.” Vino hendak mencondongkan kepalanya. Klara segera menghindar, mengetahui bahwa Vino hendak mengecup kepalanya. “Kamu lupa ya, kesepakatan kita?” tegur Klara lirih. Vino mendesah kecewa. Sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi seperti ini sih? Menyembunyikan hubungan ini dari Keluargamu, dan sekarang dari Rekan kerjaku pula? Toh, Sebagian besar Kru kamu sudah tahu. Biarpun kamu tidak mau aku mengumbar kemesraan di depan mereka, ya masa mereka tidak mempertanyakan mengapa aku kerap muncul di event yang kamu tangani atau datang menjemput di kantormu? Klara, Klara, apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu? Dari Semua Cewek yang pernah aku kenal, kamu adalah Cewek yang paling aneh. Tapi apa boleh buat, aku butuh kamu saat ini, pikir Vino. “Ya. Saking gembira aku lupa. Sekali lagi terima kasih ya Sayang. Hati-hati di jalan,” kata Vino akhirnya. “Sama-sama. Semoga acaranya kelak bisa berhasil dengan baik.” “Amin paling serius.” Klara hanya tersenyum tipis dan segera masuk ke dalam mobil.  Vino menutupkan pintu mobil itu baginya lalu mereka saling melambaikan tangan. Ketika mobil yang ditumpangi oleh Klara semakin menjauh dari pandangan matanya, Vino membalikkan badan dan kembali masuk ke dalam gedung. Dia bersiul-siul dengan riang. Nggak apa deh kalau kadang hati ini dibuat kesal sama sejumlah batasan aneh dari Klara. Yang penting tetap ada yang masih bisa dimanfaatkan sama dia. Padahal kalau saja sebentar lagi aku boleh mempublikasi hubungan aku sama dia, aku bakal mendapatkan rasa gengsi lebih besar nih. Taruhan dengan Teman-teman kan masih berlaku. Supaya mereka tahu, aku berhasil menaklukan Cewek itu. Sudah begitu, dengan posisiku yang sekarang, pastinya aku jadi lebih dianggap sama mereka semua. Dobel-dobel puasnya. Ah, Klara ini, kadang rada keterlaluan menguji rasa kesabaran aku, batin Vino. “Mungkin hanya perkara waktu. Biar deh. Yang penting hari ini aku senang sekali,” gumam Vino pelan sembari mengayun langkahnya dan membalas anggukan beberapa Orang di lantai dasar. Di koridor menuju galeri lift di lantai dasar, dia berpapasan dengan Nando. “Hai Mas Nando, dari mana?” “Dari studio 2.” “Tapping?” Nando mengangguk singkat. “Bagaimana rapatnya?” Nando balik bertanya ketika mereka tiba di depan sebuah lift. Vino mendahului gerakan Nando dengan memencet tombol lift. Pintu lift terbuka dan keduanya masuk secara bergantian. “Lancar, Mas.” “Good for you,” ucap Nando. “Mas sendiri, tapping-nya bagaimana?” Pertanyaan ringan itu ternyata menyinggung perasaan Nando. Dia terusik dan merasa direndahkan. Anak ini sungguh arogan. Masa tapping saja ditanya? Apa dia sudah merasa dirinya setara atau bahkan melebihi aku? Pikir Nando. “Biasa saja.” Suara yang datar itu terasa aneh bagi Vino. Dia menangkap adanya aroma ketidaksukaan yang berusaha ditekan oleh Nando. Namun buru-buru Vino menghalaunya. Mas Nando beda banget ya, semenjak rating acara dia terjun bebas sementara rating acara aku malah meroket dan kemudian stabil. Apa dia iri sama aku? Padahal dia ini kan baik sekali ke aku sebelumnya. Atau mungkin dia lagi banyak masalah? Ah, masa bodoh! Yang terpenting buatku sekarang ini adalah memikirkan program acaraku sendiri, kata Vino dalam hati. “Duluan, ya,” kata Nando begitu pintu lift terbuka. Nando segera melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Vino. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD