Harapan Yang Membuncah Kembali

1532 Words
“Masuk!” Seru Irene. Sedikit ogah-ogahan karena menganggap Si Pengetuk pintu hanyalah Pengganggu yang akan segera dihalaunya setelah beberapa kalimat percakapan saja di antara mereka. Daun pintu ruangan kerjanya terkuak. “Hallo Kak Iren,” sapa Sebuah Suara. Hampir tak percaya Irene mendengar Suara yang lumayan familiar dengan telinganya itu. Irene mengangkat wajahnya dan menatap ke arah pintu. Sosok yang dilihatnya di sana langsung membuat senyum Irene mengembang. Hatinya terasa girang, bak baru diberitahu oleh Panitia acara bahwa nomor undiannya mendapatkan hadiah utama saja. “Eeehhh... Randy? Masuk, masuk Ran! Duduk di sofa situ,” sambut Irene dengan ceria, sembari bangkit dari duduknya. Randy tersenyum lebar. “Aku ganggu Kak Iren nggak, datang mendadak begini? Kak Iren lagi sibuk nggak, sekarang?” tanya Randy. Irene tersenyum. “Biasa. Nggak terlalu sibuk. Aku senang sekali kamu datang. Mau minum apa? Biar aku suruh Office Girl siapkan buat kamu,” kata Irene. “Ah, nggak usah, Kak. Aku baru saja minum. Ini lho, aku bawa menu baru buat dicobain Kak Iren. Kata Papa, berdasarkan obrolan sama Om Alvin, Kak Iren lagi doyan makan. Semoga cita rasanya cocok, ya sama lidah Kak Iren,” ujar Randy sambil mengangkat tas karton yang dia bawa. Mata Irene mengerjap. “Wah, terima kasih banyak. Sampai repot-repot segala.” “Aku taruh di mana nih Kak?” tanya Randy. Irene tertawa kecil dan menghampiri Randy, bermaksud mengambil alih tas karton itu dari tangan Randy. Ia lantas menghirup aromanya. “Aromanya sudah menggoda. Tapi kelihatannya kok banyak sekali. Ini lebih dari satu menu, pasti,” komentar Irene. “Aku saja yang taruh Kak. Ini agak berat. Kata Papa, orang hamil itu jangan angkat yang berat-berat.” “Ih, kamu sama lebay-nya dengan Mama mertuaku,”sahut Irene, tetapi tak menolak pertolongan Randy untuk menaruh tas karton yang dibawanya ke atas meja kerjanya. “Kok bawanya banyak sekali, Ran?” “Ini satu set menu baru Kak. Menu tambahan. Jadi dari makanan pembuka, makanan utama dan hidangan penutup. Ada dua porsi. Ini agak berbeda dengan pilihan menu yang selama ini ada di resto, yang kebanyakan lebih ke arah masakan Indonesia. Ini lebih ke arah Chinese food, tapi yang penyiapannya cepat dan praktis. Maksudnya supaya Orang kantoran yang punya jam makan siang terbatas itu lebih mempunyai pilihan menu lagi. Semoga Kak Iren suka, ya,” terang Randy. “Wah, hebat. Pasti usulanmu deh. Aku tuh jadi kepengen makan sekarang juga padahal belum jam makan, nih.” “Hm. Usulanku, tapi juga diskusi sama Papa sebelum peluncurannya, supaya menunya nggak salig bertabrakan. Silakan saja kalau Kak Iren mau makan sekarang. Aku juga kebetulan mau langsung ke tempat lain, Kak.” Ekspresi wajah Irene langsung berubah. Ada selintas kecewa yang tergurat di parasnya. “Yach, kok cepat sekali. Kamu sesibuk itu? Padahal aku kepengen ngobrol sama kamu.” Randy tak enak hati. “Lain kali saja ya, Kak. Ini soalnya aku harus segera pergi. Masih ada yang harus diurus.” Irene tak kuasa mencegah. Padahal maksud hatinya adalah untuk mengorek sampai di mana usaha Randy untuk mendekati Sang Adik. Dan dia sadar, itu tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. “Aku antar kamu ke depan kalau begitu. Sekalian mau kasih tahu, nanti malam itu Rara punya acara yang hebat.” Randy menelan ludah. Dia berusaha tersenyum ketika akhirnya bertanya, “Acara apa Kak? Peresmian perusahaan? Peluncuran produk? Atau semacamnya?” Randy berusaha keras untuk menyembunyikan rasa enggannya. Aku sampai mau-maunya kemari itu juga karena untuk meminimalisir perselisihan sama Papa. Nggak apa ngalah-ngalah sedikit. Cuma mengantar makanan, dan yang dituju juga bukan Si Cewek sok Mandiri yang bukan cuma favoritnya Mendiang Mama, tapi sekarang jadi kesayangannya Papa juga,melainkan Kakaknya. Kan nggak masalah. Siapa tahu dengan begini, lama-lama Papa bisa menerima keberadaan Rosalia di sisi aku, batin Randy. “Beda, Ran. Ini bisa dibilang perluasan bidang usahanya dia. Dan jujur saja aku bangga. Klara digandeng sama stasiun teve Channel 789 untuk acara bergengsi, dan acaranya disiarkan langsung malam ini. Sayangnya aku nggak bisa menonton langsung. Biasa, dilarang keras sama Suami dan ‘antek-anteknya’,” sebut Irene dengan bibir mengerucut. “Antek-anteknya?” sebut Randy agak bingung dengan istilah yang digunakan oleh Irene. “Ya, Papa, Mama, Papa Mertua, Mama Mertua.” Randy tertawa kecil. “Yuk, kuantar kamu ke depan, Kamu jadi tertahan di sini,” kata Irene kemudian. “Nggak usah lho Kak. Aku ke depan sendiri saja.” Irene menggeleng. “Jangan dong. Kamu sudah berbaik hati, segitu sibuknya mau kemari antar makanan buatku. Lagi pula, aku mau minta tolong sesuatu, kalau kamu sempat dan nggak keberatan,” kata Irene sembari membuka pintu ruangan. “Minta tolong? Boleh saja, Kak. Dengan senang hati kalau memang aku bisa,” sahut Randy dengan nada rendah. Irene sungguh sneang mendengarnya. “Serius?” Randy mengangguk, karena tidak berpikir bahwa anggukan kepalanya akan menjadi sebuah masalah baginya. “Aku mau minta tolong ke kamu untuk menjemput Rara nanti malam.” Andai saja Randy sednag minum, kemungkinan besar dirinya akan tersedak. Dan lantaran dia tidak sedang minum, yang dirasa olehnya saat ini adalah, tenggorokannya terasa kering secara mendadak. Seret. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. Mati deh. Ini kalau sudah begini bagaimana jawabnya? Masa tega aku mengecewakan Orang hamil yang satu ini? Sesal Randy dalam hati. “Bisa kan, Ran? Soalnya pasti dia pulang bukan larut malam lagi, mungkin malah menjelang dini hari. Namanya juga Rara. Kalau selesai suatu acara, biasanya dia nggak segera pulang dan memercayakan urusan bongkar-membongkar dan beres-beres ke Para Asisten dan Kru dia, tapi sering kali terjun langsung. Dan nggak jarang, dia juga langsung me-review kalau situasi memungkinkan. Aku sudah sering tegur dia tuh, supaya bisa lebih banyak mendelegasikan urusan dia ke Tim dia. Tapi namanya juga Rara. Selalu bilangnya usaha dia masih baru jadi kalau yang masih bisa dia tangani akan dia tangani secara langsung demi kepuasan Para Pelanggan. Susah kasih tahu dia. Nah, aku perkirakan, jam segitu kan urusan kamu yang berkaitan dengan restaurant sudah beres. Eng, kamu nggak keberatan kan, kalau aku minta tolong hal ini?” setelah bicara begitu panjang dan rinci, Irene menggunakan kalimat pamungkasnya yang membuat Randy merasa terdesak sekaligus terjebak. Parah. Harus bilang apa sekarang? Ngerti sih, menjelang dini hari itu memang aku sudah nggak ngapa-ngapain. Lha itu kan waktunya Orang tidur, waktunya Orang istirahat. Rosalia juga lagi agak ngambek karena keinginannya nggak dituruti, jadi menolak diajak kencan. Ya wajarlah, aku kalau jadi dia juga kesal. Sudah melambungkan harapan yang tinggi, tahu-tahu harus terima kenyataan kepentok lagi sama penghalang yang sama : Papa! Pikir Randy. “Eh, atau..., kamu nggak biasa bergadang, ya?” tanya Irene kemudian. “Kalau begitu..., aku nggak jadi suruh Supirnya Rara untuk pulang duluan deh,” sambung Irene kemudian. Sang Ibu hamil itu sampai menghentikan langkahnya. Randy jadi tak enak hati mendengarnya. Dia ikut-ikutan berhenti melangkah. “Aku bisa kok. Acaranya di mana, Kak? Boleh tolong kasih aku ancer-ancernya?” Randy terkejut sendiri mendengar ucapannya. Dia sampai curiga jangan-jangan bukan dirinya yang bicara barusan. Celakanya, dia tak mungkin lagi untuk menarik ucapan tersebut. Bukan, bukan karena dia keberatan untuk memangkas jam istirahatnya. Tetapi membayangkan akan seperti apa suasana pertemuannya dengan Klara nanti. Kira-kira reaksi dia akan seperti apa? Berpikir bahwa ini adalah inisiatif dari aku? Berkeras nggak mau aku antarkan? Mengabaikan keberadaanku di sana? Atau karena dia sudah lelah, mau aku antar tapi suasana jadi canggung selama perjalanan, tanpa pembicaraan di antara kami? Atau..., dia malah enak-enakkan tidur dan menganggap aku sebagai Supir pribadinya dia? Nggak ada satu saja yang baik dari semua itu, kata Randy dalam hati, menerka-nerka sendiri berbagai kemungkinan yang akan dia temui. Irene tersenyum dan kembali berjalan. Begitu juga halnya dengan Randy. “Bagus kalau begitu. Nanti aku kirimkan melalui pesan teks saja supaya jelas. Dan jangan khawatir, aku juga akan beri tahu Rara nanti malam, bahwa kamu menjemput dia itu sudah atas persettujuanku,” kata Irene sebelum randy mengatakan sesuatu. Kening Randy berkerut. Bingung dia. Persetujuan, Kak? Tepatnya atas suruhan dan pemaksaan darimu, keluh Randy dalam hati. Dia merasa diksi yang digunakan Irene sangat tidak tepat dan berkonotasi bahwa dirinya yang mempunyai niat untuk menjemput Klara. Namun apa daya, dia tak sanggup melawan Irene. “Aku jalan sekarang ya, Kak,” kata Randy akhirnya. Dia mulai agak pusing berdekatan dengen Irene dan merasa perlu segera angkat kaki untuk menghindari instruksi selanjutnya yang bisa saja membuat sakit kepalanya bertambah. “Oke, hati-hati di jalan, Ran. Terima kasih banyak sebelumnya.” “Sama-sama, Kak Iren.” “Ran?” “Ya, Kak Iren?” “Nanti agak sabar ya, menghadapi Adikku satu itu. Kalau tampang dia kusut atau bicaranya sepotong-sepotong. Namanya juga seharian stress dengan persiapan acara dan penyelenggaraannya. Tolong dimaklumi,” kata Irene. Randy mengangguk saja, padahal hatinya memprotes, “Ya aku juga seharian bekerja. Hah, terserah bagaimana nanti deh.” Sementara Randy melangkah menuju pelataran parkir, Irene menghentikan langkahnya di dekat pintu masuk kantor. Dia melambaikan tangan ketika Randy sudah masuk ke dalam mobil. Berbeda dengan suasana hati randy yang kurang begitu baik, hati Irene justru berbunga-bunga. Dia merasa, harapan itu membuncah kembali. Dia bahkan merasa perlu untuk memuji dirinya dan kecerdasannya. “Dan untuk itu, aku harus segera menghabiskan makanan yang dibawakan sama Randy,” gumam Irene. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD