Kalkulasi Seorang Vino (1)

1110 Words
Vino mengembuskan napasnya. Lumayan keras, sampai hanya beda tipis dengan sebuah dengkusan. Ada kekesalan yang tersirat di sana. Sudah barang tentu Klara merasakannya. “Delon itu memang seperti itu Orangnya. Nggak usah terlalu kamu pikirkan deh, Ra. Nggak penting banget. Dia itu di tempat kost ini dianggap lebih suka bergosip, mengalahkan Ibu-Ibu nyinyir yang hobby bergunjing tentang Tetangga yang beli furnitur baru, memakai perhiasan baru, dan sebagainya.” Klara belum menanggapi. Sepertinya Gadis itu tengah mencerna kata-kata Vino dan menimbang, adakah Vino yang berlebihan dalam menilai Delon, ataukah memang Sosok Delon yang seperti itu. Vino yang sudah tak sabar, yang kembali berkata-kata. “Lagi pula, kita hanya mau mengobrol di dalam, bukannya mau ngapa-ngapain. Salahnya di mana, Ra? Apa kamu nggak percaya sama aku? Kamu takut kalau aku bakalan melakukan hal-hal yang nggak senonoh sama kamu? Kamu takut aku berbuat kurang ajar, nggak tahan godaan dan sebagainya? Hm...! Tapi aku rasa ada alasan yang paling tepat. Atau itu tadi, ya..., aku harus sadar diri, kamar kost-ku ini ini memang sangat sederhana. Kecil. Kotor. Seadanya. Dan mungkin menjijikkan. Kamu takut kalau-kalau ada bakteri di mana-mana. Maaf, ya, apa boleh buat. begini deh keadaan kamarku. Aku kan hanya Pegawai kecil...” Klara langsung mengibaskan tangannya. “Stop! Stop! Vin, kenapa sih kamu selalu ngomong begitu.” Vino memejam mata. “Maaf, ya. Tapi setiap penolakanmu itu selalu membuat aku teringat betapa aku harus sadar diri.” “Boleh nggak sih, kamu berhenti mengatakan itu?” “Oke. Tapi bagaimana kalau kita masuk sekarang? Kamu nggak mau memperlakukan aku seperti Anak Sekolahan yang disetrap dengan membawa baki bergini dan terus menerus berdiri pula, iya kan?” Klara menatap penuh keraguan. Sisi hatinya yang satu mengatakan bahwa tidak akan ada hal-hal di luar dugaan yang akan terjadi, namun sisi hatinya yang lain tetap memintanya untuk waspada. Pandangan matanya menelusuri setiap sudut kamar Vino. Dia mengakui dalam hati, untuk ukuran kamar Seorang Cowok, kamar tersebut cukup rapi. Dan penataannya juga dibuat mirip kamar hotel. Cukup minimalis. Hanya ada sebuah tempat tidur yang berseberangan dengan lemari pakaian dan meja tulis serta rak buku. Sementara di depan kamar mandi yang terletak di sudut kamar, ada rak sepatu. Pada salah satu dinding, Klara melihat ada sebuah gitar yang tergantung. “Kamu..., bisa main gitar?” “Sedikit. Ayo masuk.” Vino mengedikkan kepalanya sebagai isyarat agar Klara mengikuti langkahnya. “Vin...” Vino menoleh. “Ya?” “Tapi biarkan pintunya tetap terbuka seperti ini, ya?” “Oke.” Vino nyaris menggelengkan kepala lantaran gemas. Ia segera meletakkan baki dan seisinya ke atas meja tulis. Klara langsung menarik kursi di depan meja dan duduk di sana. “Kamu..., nggak mau ambil salah satu kursi di depan?” Vino menggoyangkan tangannya dan berdiri di sebelah Klara. Diambilnya piring kecil dan memotong-motong banana roll menjadi potongan kecil. “Sini aku suapi. Aaak...” Klara mendorong lembut piring kue itu. “Aku nggak mau. Kamu saja.” “Kenapa? Kamu penasaran Siapa yang mengirimkan? Kamu cemburu?’ “Enggak!” “Terus kenapa nggak mau?” “Aku sudah kenyang.” “Ayolah, cobain sedikit.” “Enggak kataku.” Vino tertawa kecil. “Wah! Beneran kamu cemburu. Buktinya kamu sewot dan nggak mau cobain kuenya.” “Kenapa aku harus cemburu? Dan kata Siapa aku sewot?” Vino menatap dengan tatapan sok dibuat memelas. “Jadi kamu nggak cemburu sama sekali? Ini yang kirim makanan-makanan ini Cewek-cewek lho. Artinya kamu nggak peduli dan nggak sayang sama sekali sama aku.” “Bukannya begitu...” “Klara Sayang, cemburu kan nggak salah. Dan kamu berhak juga buat tanya. Nih, aku kasih tahu dari pada nanti kamu dengarnya dari mulut Orang lain terutama si Delon resek itu. Yang kirim tart tadi Talent yang baru Casting untuk bakal program baruku. Yang kirim brownies dan banana roll ini tuh Rekan satu Tim yang baru dari luar kota tapi belum masuk kerja. Di kami biasa kalau ada yang keluar kota terus kasih oleh-oleh. Apalagi ini kan momennya pas, aku baru saja dipromosi. Kamu keberatan nggak?” “Kenapa aku harus keberatan? Itu kan semacam bahasa pergaulan.” “Ya kalau kamu keberatan, aku bisa berhenti melakukan kebiasaan itu. Tapi kalau kamu nggak keberatan, ayo buktikan. Ayo cicipi biarpun sedikit. Aaak...” Kali ini Klara tak menolak. Ia membuka mulutnya. Baru dua kali Vino menyuapinya, Klara sudah berkata, “Sudah Vin. Kamu saja yang habiskan.” Vino menyorongkan piring itu ke tangan Klara. “Lho kok?” “Sekarang gantian dong, kamu yang suapi aku.” Klara mati gaya. “Ih!” “Boleh kan aku dimanja sedikit sama Pacarku?” Klara tersenyum miring sebelum akhirnya mengambil alih piring kue itu. Vino tertawa senang. Hm. Kaaan? Sebentar lagi juga kena. Nggak usah pakai sok jual mahal, pikir Vino yakin. Dia segera melancarkan jurus pertama. “Kalau kamu nggak mau menyuapi aku, aku ambil lagi kue yang di mulut kamu. Tapi ambilnya pakai lidahku,” goda Vino sembari tersenyum nakal. Kontan Klara melotot mendengarnya. Vino malahan menertawakannya. “Wow! Kamu tambah cantik kalau melotot begitu.” Klara tak merespons, hanya mengisyaratkan agar Vino membuka mulut. Vino pura-pura tak paham. “Aaak..,” kata Klara akhirnya, seperti hendak menyuapi Anak kecil. Vino masih sempat tersenyum sebelum membuka mulutnya. Dia mulai menyuapi Cowok itu. Mereka bercakap-cakap ringan di antara suapan demi suapan, hingga akhirnya mereka tersadar piring kue telah licin tandas dan minuman ringan di kaleng juga sudah tinggal setengah isinya. “Aku capek berdiri terus nih. Masa kamu tega sama Pacar sendiri juga?” “Makanya kamu ambil kursi di depan gih.” “Malas ah. Aku pangku kamu saja gimana?” Vino mulai berani menatap genit. Hati Klara berdebar. Ada rasa takut, cemas, tetapi juga penasaran. Semua campur aduk saat ini. “Ngawur!” Hanya kata itu yang dapat diucapkannya. Satu-satunya kata yang terlintas di benaknya. “Duduk di kasur saja yuk.” Vino mengulurkan tangannya. Klara langsung mengibaskannya. Vino mengangkat bahu. “Kamu tuh, Ra! Jangan sampai aku gendong kamu.” Klara tersipu. wajah cantiknya langsung memerah mendengar ucapan Vino. “Jangan ngaco deh, Vin.”  Vino tak berkata apa-apa,. Dia hanya menarik tangan kursi yang tengah diduduki oleh Klara.  Klara belum sempat menahan sampai akhirnya kursi beroda tersebut berhenti tepat di dekat pembaringan.  Vino sendiri duduk di sana.  Kini mereka berdua saling berhadapan. Klara tak hendak menyangkal, dia merasa rikuh. Posisi ini sungguh membuatnya tidak nyaman. Duduk berhadapan dengan Seorang Pria, di dalam kamar tidur Pria itu, pula! Mau tak mau, yang terlintas di pikirannya adalah wajah Papa dan Mamanya. Diam-diam Klara berpikir, apa reaksi Kedua orang tuanya apabila tahu dirinya berada di kamar tidur Seorang Laki-Laki? * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD