“Kamu ngobrol apa saja sama Randy di teras samping tadi, Sayang?” tanya Bu Ellen ketika semua Tamu sudah beranjak pulang dari rumah mereka.
Adapun Bu Virny dan Randy tentu saja menjadi Tamu yang terakhir rmeninggalkan kediaman Bu Ellen dan keluarganya. Para Tamu lain sepertinya tahu diri dan memberikan kesempatan spesial itu untuk ‘melanjutkan misi masa depan’. Mereka pulang lebih dulu sembari membawa 'buah tangan' berupa makanan yang telah disiapkan oleh Nina sesuai 'orderan' mereka yang menunjuk-nunjuk jenis makanan apa yang hingin mereka bawa.
Hal yang membuat Nina hampir saja iseng mengeluarkan celetukan, "Nggak Orang biasa, nggak Orang kaya, kalau namanya Ibu-Ibu mah sama saja. Ada makanan di hajatan minta dibungkus juga."
Untung saja dia masih waras dan tidak jadi mengeluarkan celetukan tersebut.
“Tapi jangan lupa cerita tentang kelanjutannya ya, Bu Virny, Jeng Ellen,” kata beberapa dari mereka tadi, sembari mengedipkan mata penuh arti.
“Beres,” sahut Bu Virny penuh semangat.
Senyum lebar mengiringi perkataannya.
Klara meletakkan piring yang terakhir ia keringkan ke dalam rak piring.
“Nggak ngobrol apa-apa,” sahut Klara acuh tak acuh.
“Masa sih? Sampai berjam-jam kalian berdua nggak ngobrol apa-apa?”
“He eh.”
“Terus, pandang-pandangan saja? Bicara pakai hati?”
Kontan Klara mengerucutkan bibirnya.
“Ih Mama, apa sih! Ogah banget deh. Sudah ah, Rara mau ganti baju dan istirahat. Sudah selesai kan tugas Rara hari ini? Rara sudah nggak keuber untuk pulang ke apartemen nih. Tante Virny sih, ngobrolnya kelamaan. Artinya besok pagi Rara harus bangun lebih awal karena harus singgah dulu ke apartemen untuk mengambil beberapa dokumen. Baru setelah itu ke kantor.”
Sang Mama tampak kecewa.
“Kamu kok begitu sih, Ra. Mama masih kepengen ngobrol sama kamu. Kamu juga nggak menunggu sampai Papa balik ke rumah?”
Mendengar bias kecewa yang mewarnai paras Sang Mama, Klara menahan diri agar tidak menjadi lemah hati dan terpengaruh. Dia sudah dapat menduga bahwa dirinya pasti akan diinterogasi. Malahan, bisa-bisa disalahkan oleh Sang Mama karena tidak bersikap seramah mungkin kepada Randy. Lagi-lagi dia akan tersudut dengan status sebagai :Sang Empunya Rumah.Dan dia tidak mau itu terjadi.
Memang, percakapan mereka tadi bagaikan koneksi internet di jaman dial up dulu. Sudah proses loading-nya sangat lama, rawan mengalami putus sambung pula. Macam kisah cinta anak baru gede yang labil dan terlalu banyak mendengarkan kanan kiri.
Klara memutar orak sejenak.
“Kan besok-besok kita masih bisa mengobrol, Ma. Kalau Papa, bakalan malam sekali deh pulangnya. Bisa jadi dini hari baru pulang. Orang Papa lagi mendampingi timnya yang sedang melakukan External Audit di Klien, kok. Salam saja buat Papa. Selamat malam, Mama cantik,” ucap Klara lalu mengecup pipi Sang Mama.
Sang Mama membalas mencium pipi Klara sembari menelan rasa kecewanya. Sebagian harapannya jadi menguap karenanya.
*
“Jadi Klara juga bilang begitu, nggak mengobrol apa-apa, Bu Ellen?”
“Iya,” sahut Bu Ellen sambil meletakkan cangkir tehnya.
Bu Virny memang sengaja bertandang ke rumah Bu Virny keesokan harinya.
Seperti hendak menindaklanjuti 'proyek' bersama mereka.
Tidak lupa, dia membawa pula buah tangan berupa anke kue kecil dari tokonya.
Mereka menikmati teh bersama menjelang sore itu dan sengaja mengambil tempat di teras samping. Tempat di mana Anak-Anak mereka ‘mengobrol’ tadi malam. Seakan-akan dengan begitu, mereka dapat merasakan dan mengetahui apa saja yang telah diperbincangkan oleh Dua Anak Muda tersebut.
“Randy juga sewaktu di mobil, susah sekali dikoreknya. Saya tanya apa yang mereka obrolkan. Dia hanya bilang hal-hal umum, soal kantornya di mana, dan usahanya bergerak di bidang apa. Ah, itu kan informasi yang sudah kelewat sering diketahui sama dia. Orang dia tahu sekali kok, betapa saya menyukai Klara. Menyukai kepribadiannya. Dia Gadis mandiri tapi tidak sombong. Tetap membumi.”
“Bu Virny ini memang murah pujian buat Klara. Tapi terima kasih lho, atas pujiannya..”
“Itu kenyataan, Bu Ellen. Saya bukan memuji. Bu Ellen ini pasti bangga deh, mempunyai Anak Perempuan yang seperti Klara. Saya saja sampai iri.”
Bu Ellen tersenyum.
“Tetapi Randy juga Anak yang membanggakan kok, Bu Virny,” balas Bu Ellen tulus.
Mata Bu Virny menerawang jauh, seperti menatap harapan yang terasa masih jauh darinya.
“Apa mereka berdua masih malu-malu, ya? Harusnya enggak ya. Umur mereka sudah nggak pantas untuk bersikap malu-malu. Randy memang agak pendiam. Tetapi kan Klara itu cukup ceria. Klara juga pekerjaannya banyak bertemu Orang. Jadi semestinya obrolan mereka bakalan nyambung dong, ya. Banyak yang bisa mereka obrolkan. Ya masa Randy bilang dia malah mengomentari cuaca, pungutan liar sama berita begal yang meraja lela. Aduh, itu nggak penting banget. Malu-maluin banget Anak saya itu. Bukan yang seperti itu yang kita harap kan ya, Bu Ellen?” keluh Bu Virny.
Bu Ellen tertawa.
Masih mending Randy itu bisa dikorek keterangannya. Rara mah, disimpan rapat. Pas sarapan tadi pagi juga dia sepertinya sengaja menutup celah buat aku bertanya, dengan cara menanyai Si Papa soal perkembangan Audit yang dilakukan di Klien Papa. Dan kalau mereka berdua sudah mengobrol kan aku kadang suka tersisih dan nggak enak hati untuk memotong, keluh Bu Ellen dalam hati.
“Tapi Bu Ellen, Klara itu benar-benar masih belum ada yang punya, kan? Maksud saya, dia belum pernah memperkenalkan Seseorang sebagai Calon Pendamping hidup ke Bu Ellen, kan?” tanya Bu Virny dalam rasa cemas.
“Ha ha ha. Belum, Bu Virny. Masih jauh kelihatannya. Anak itu senang sekali bekerja. Ambisinya lumayan besar. Dia kan maunya memiliki usaha yang besar. Dulu saja sewaktu kuliah dia jarang memperkenalkan Teman dekat atau Pacar. Dia senang belajar apa saja. Makanya, mungkin waktunya agak tersita di sana.”
“Wah, saya kagum mendengarnya.”
“Ah. Biasa saja. Randy juga seperti itu, kan? Pak Suwandi bilang perannya lumayan besar di restaurant.”
“Wah kalau itu sih namanya keharusan, Bu Ellen. Saya sama Mas Suwandi ini sama-sama Anak Tunggal. Randy juga terpaksa harus menjadi Anak tunggal karena Adiknya, Almarhum Rico, meninggal karena kecelakaan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Umum dulu. Siapa lagi yang akan mewarisi dan meneruskan usaha kuliner ini kalau bukan Randy?”
Bu Ellen lekas menunjukkan empatinya.
“Maaf, saya jadi mengingatkan Bu Virny dengan Almarhum Rico.”
Bu Virny menggeleng.
“Nggak apa kok Bu Ellen. Rico sudah bahagia di surga sana. Satu yang dulu saya sesali karena dia meninggal dalam usia yang masih begitu muda. Dan itu menjelang kelulusannya dari bangku sekolah.”
Bu Ellen terkenang akan kisah duka keluarga Bu Virny.
Almarhum Rico, Adik kandung Randy yang usianya terpaut hingga hampir lima tahun itu, sejatinya sangat dekat dengan Randy. Hanya saja, Rico mempunyai lingkup pergaulan yang jauh lebih luas dari Sang Kakak. Pembawaan Rico yang easy going, senang mengikuti kegiatan di berbagai komunitas, membuatnya sangat digandrungi oleh Teman-teman Cewek.
Tapi dari semua Teman Cewek yang kerap diajak bertandang ke rumah ataupun ke restaurant Orang tuanya, hanya satu Orang yang diakui sebagai Pacar oleh Rico. Dan itu adalah Seorang Gadis manis yang sangat kalem serta sopan. Gadis yang berpenampilan sederhana dan sanggup merebut hati Bu Virny.
Nama Gadis itu Maureen. Konon, dia adalah Anak dari Seorang Ibu Tunggal. Ayah Maureen telah meninggal ketika Maureen masih kecil. Maureen dibesarkan oleh Sang Ibu Kandung.
Keakraban Maureen dan Rico sangat disukai oleh Bu Virny.
Hanya Randy yang sesekali menggoda Sang Adik dengan mengatakan sebaiknya Rico cepat-cepat ‘mengikat’ Gadis sebaik Maureen agar tidak ‘ditikung’ oleh Cowok lain dan Rico menjadi patah hati.
“Bertunangan saja dulu. Menikahnya kan bisa nanti kalau kamu sudah lulus kuliah. Kan kamu bisa membantu Papa bekerja di restaurant. Minta gaji yang besar,” goda Randy dulu.
Toh, hubungan mereka tidak pernah berlanjut ke pertunangan. Suatu ketika, Mamanya Maureen menerima pinangan dari Kekasih Bule-nya. Mamanya Maureen mengajak serta Maureen untuk pindah ke Belanda, tetapi Maureen menolak dan mengatakan akan menuntaskan sekolahnya dulu.
Bu Virny memuji keputusan Maureen saat itu.
“Saya sedih kalau mengenang akhir kisah cinta Rico sama Maureen. Semoga mereka berdua bersatu selamanya di alam sana,” kata Bu Virny setengah bergumam.
“Amin.”
Bu Ellen juga tahu bagaimana Rico mengalami kecelakaan lalu lintas. Bu Virny pernah berkisah tentang itu ketika meminta ditemani untuk berziarah ke makam Sang Anak.
“Rico, apa kabar, Sayang? Semoga kamu selalu bahagia di sisi Tuhan, ya. Sayang. Bahagia sama Maureen juga. Walaupun jasad Maureen yang meninggal karena kecelakaan pesawat nggak pernah ditemukan.”
Itu yang dulu didengar Bu Ellen dari mulut Bu Virny ketika Bu Virny mengelus nisan bertulisan nama Sang Anak Bungsu.
Saat itu pula meluncur kisah Bu Virny, bahwa seusai ujian akhir, meskipun belum ada pengumuman kelulusan, Maureen berpamitan kepadanya untuk menengok Sang Mama serta Papa Sambungnya di Belanda. Sayangnya, pesawat yang ditumpangi oleh Maureen mengalami kecelakaan dan Semua Kru serta Penumpang dinyatakan meninggal dunia. Celakanya, tak ada satu jua dari jasad mereka yang ditemukan. Bahkan badan pesawat juga tak ada. Dari pemberitaan yang beredar, diduga pesawat meledak di udara dan hancur berkeping-keping. Segalanya ttap menjadi misteri hingga kini, karena serpihan sekecil apa pun juga tidak pernah ditemukan. dna yang menambahk kesedihan bagi Para Kerabat Koraban atau Orang Tersayang mereka, karena setelah itu media juga terus menggoreng, mengatakan ada kemungkinan pesawat dibajak, Para Penumpang ditahan di suatu tempat, sampai ada pul ayang mengatakan bahwa kemungkinan pesawat dan seisinya terhisap masuk ke dunia astral. Segala asumsi menyesatkan yang tidak sedikit saja membantu mencerahkan keadaan, justru memperberat beban Orang-orang yang ditingalkan oleh Para Korban.
Demikian pula halnya dengan Rico yang menjadi galau dengan simpang siurnya berita yang berkembang.
Rico langsung sedih berhari-hari kala itu. Apalagi usahanya mencari kabar tentang Maureen juga tanpa hasil.
Bu Virny bahkan sempat memergoki Putranya yang biasanya berpembawaan ceria itu, menangis seorang diri di dalam bangunan Kapel yang berada tak jauh dari rumah mereka. Dan Bu Virny yang sangat mengenal perangai Kedua Putranya segera tahu, betapa mendalamnya kesedihan Rico jika dia sudah tidak dapat berdoa dengan kata-kata lagi, melainkan hanya dengan bahasa air mata.
“Saya yang salah ya Bu. Sudah tahu Rico sedang sedih begitu. Harusnya dia dijauhkan dari mengendarai sepeda motor. Dia pasti kurang konsentrasi sewaktu mengendarai sepeda motor, akibatnya menabrak tembok pembatas kompleks perumahan yang begitu tebal dan terpelanting, lalu masuk ke dalam parit,” ungkap Bu Virny, mengulang kisah yang lama.
Bu Ellen segera bangkit dari duduknya dan mengelus pundak Bu Virny.
“Sudah Bu. Jangan sedih lagi. Kalau Bu Virny sedih, Rico ikutan sedih melihat Ibu dari atas sana,” hibur Bu Ellen.
Bu Virny menghapus air mata yang bergulir lalu bergumam pelan, “Ya. Mungkin sudah jalannya.”
“Maaf ya Rico, Mama buat kamu sedih,” katanya kemudian sembari menatap ke arah langit, seolah Rico tengah berada bersamanya.
Bu Ellen memberi waktu sesaat bagi Bu Virny untuk menetralkan rasa sedihnya.
Dan itu lumayan berhasil.
“Wah, jadi malahan bersedih-sedih kita. Balik ke soal Randy sama Klara, Bu Ellen. Saya jadi berpikir, barangkali cara kita salah, ya.”
“Maksud Bu Virny?”
“Ya kita terlalu cepat membiarkan mereka mengobrol berdua. Mungkin ada rasa canggung. Atau bisa jadi, semacam penolakan dari keduanya? Karena mereka merasa gengsi dengan istilah dijodohkan? Padahal maksud kita kan baik ya Bu?”
“Hm. Mungkin juga ya Bu.”
“Tapi Randy lumayan sih, sudah punya nomor telepon Klara.”
“Oh ya?”
“Betul, Bu. Ini kalau dia nggak kunjung menindaklanjuti dengan pertemuan selanjutnya, awas saja Si Randy itu. Bagaimanapun, dia itu Cowok. Dia yang harus bertindak. Lagi pula mereka berdua sama-sama sibuk. Harus gerak cepat sebelum ada kemungkinan lain.”
“Kemungkinan lain bagaimana maksudnya Bu Virny?”
“Ya. Saya takut Klara keburu dipinang oleh Cowok lain, Bu.”
Bu Ellen tertawa kecil.
“Juga takut kalau ada Cewek centil yang mendekati Randy.”
Kali ini Bu Ellen tertawa lagi. Tanpa disadarinya, tawanya terdengar sedikit sumbang.
Diam-diam, dia juga ingin menyambung tali silaturahmi ini.
“Kita jangan terlalu mendesak mereka, Bu. Biarkan saja mengalir sebagaimana seharusnya. Anak Muda jaman sekarang, nggak bisa didesak-desak dan didikte. Biarpun mereka tahu itu benar, kadang bisa saja salah terima.”
Bu Virny manggut-manggut.
“Kalau begitu, kita beri kesempatan beberapa waktu dulu. Kita lihat apakah ada perkembangan yang berarti. Kalau seandainya belum juga ada kemajuan, ya kita terpaksa harus turut campur lagi. Kita harus turun tangan,” ujar Bu Virny bersemangat.
Bu Ellen tersenyum tipis.
“Iya, biarkan saja seperti apa adanya ya, Bu. Sambil kita ikuti perkembangannya tanpa setahu mereka.”
“Bu, kalau nanti mereka begitu-begitu saja, bagaimana kalau kita...,” Bu Virny mendekatkan mulutnya ke telinga Bu Ellen, seolah dinding di rumah Bu Ellen bertelinga dan rencananya dapat bocor hingga ke telinga Klara.
Dia membisikkan sesuatu.
Bu Ellen mendengarkannya tanpa protes.
“Bagaimana?” tanya Bu Virny kemudian.
“Boleh juga.”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $