Lisye tertunduk ketika usai berkisah tentang Vino.
Di luar sepengetahuan Lisye, Keke yang melintas di dekat kubikelnya, mendengar curahan hatinya tersebut.
Dan hati Keke berdebar.
Keke tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
Di satu sisi, dia takut akan terjadi perselisihan antara Sang Bos dengan Sang Kakak yang diketahuinya memang dominan. Namun di sisi lain, dia takut Lisye akan mendapatkan peringatan keras.
Tapi Lisye nggak salah-salah amat sih dalam hal ini, Wajar kalau dia sangat menjaga keuangan perusahaan. Nah dia ini kan Orang kepercayaan Mbak Rara, andalan Mbak Rara selama menyangkut masalah itu. Aku maklum sih, kalau mungkin ego Lisye tersenggol atas apa yang Mbak Rara lakukan dalam proyek ini. Ya sejujurnya, aku juga kurang rela sih. Aku menangkap bahwa Mbak Rara itu seperti bukan Mbak Rara yang biasanya, seperti dikendalikan sama Mas Vino. Dan aku sama nggak relanya seperti Teman-teman yang lain. c*m akan nggak mungkin bisa frontal untuk kasih pendapat ke Mbak Rara, pikir Keke.
Irene hampir tak dapat menahan keinginannya untuk mengomel.
Untung saja kali ini dia dapat menguasai dirinya dengan baik, dan menjaga wibawanya di depan Anak buah Sang Adik.
Melihat wajah Lisye yang penuh penyesalan, Irene segera berkata, “Kamu nggak usah takut Rara akan menegurmu. Tenang saja, rahasia kamu aman. Justru kalau ada hal-hal seperti ini, kamu harus informasikan ke aku. Maksudku, itu kalau kamu dan Teman-temanmu itu masih peduli dan sayang sama Adik aku.”
“Duh Mbak, terima kasih, Tapi Mbak Rara jangan ditegur secara langsung ya. Apalagi sekarang ini. Kasihan. Proyek ini spertinya sangat penting buat Mbak Rara. Dan kalau soal peduli, jelas kamu peduli dan sayang sama Mbak Rara. Tapi tetap saja, Mbak Rara itu kan Bos kami, mana boleh kami menyinggung urusan pribadi Beliau?”
Irene tersenyum.
“Kamu simpan nomor telepon aku. Kalau ada informasi sekecil apa juga, kamu kasih tahu aku, ya. Aku harus kembali ke kantor. Papa sedang di luar kota soalnya. Masa nggak ada yang jaga kandang.” Irene mencoba bergurau, tetapi itu toh tidak dapat menyembunyikan kegusarannya kepada Vino. Niatnya untuk segera membongkar jati diri Vino begitu mendesak.
Lisye menurut.
“Baik Mbak. Mau saya antatrkan ke depan?”
“Boleh.”
*
Saat Lisye kembali ke kubikelnya, dia terkejut karena Keke ada di sana.
“Hei, ngapain kamu di sini Ke?”
“Lis, kamu ngomong apa saja ke Mbak Irene?”
Lisye berlagak tak tahu apa yang dimaksud oleh Keke.
“Ngomong apa memangnya?”
“Soal Mas Vino tentunya.”
Lisye tak dapat mengelak lagi.
“Aku mengatakan yang seperlunya kok.”
Keke memperlihatkan air muka yang aneh.
“Kenapa begitu?”
Keke mengedikkan bahu.
“Sekarang kita cuma bisa berdoa saja, supaya nggak ada keributan antara Mbak rara dengan Mbak Irene, yang berefek ke suasana kantor.”
“Mbak Rara bukan pribadi macam itu. Sebelum aku membantunya di sini, aku cukup mengenalnya. Mbak Rara bukan Orang yang emosional. Mbak Rara itu Orang ya ng mengandalkan logika.”
Keke mengangkat bahu.
“Hopefully,” ucapnya singkat.
“Eh. Kok begitu ngomongnya?”
“Enggak. Soalnya setahu aku Orang kalau lagi jatuh cinta itu nggakkenal sama logika. Kalau nggak percaya, tanya gih sama Agnez Mo. Cinta ini kadang-kandang tak ada logika...,” dengan seenaknya Keke bersenandung dan meninggalkan Lisye sendirian.
Lisye menggeleng.
“Nggak. Mbak Rara nggak seperti itu,” harapnya dalam gumaman lirih.
*
Usai mendapatkan gambaran tentang Vino ditambah dengan prasangkanya sendiri, Irene jadi bad mood.
Dia tidak bersemangat sekembalinya ke kantornya.
Dia juga tak sabar untuk menunggu sore tiba dan menanti panggilan telepon dari Heidy. Sebuah rencana sudah terbersit di pikirannya.
Baru memikirkan keruwetannya saja, dia merasa harus bertindak cepat.
Dan semakin dia memikirkannya, semakin terasa pening saja kepalanya.
Dia menatap dan mengelus perutnya.
“Duh Dek, kamu kok malah nggak dukung Mama begini sih? Ini Mama lagi pusing mau melindungi Tante Rara kamu. Kamu jangan halangi begini dong, bikin Mama jadi mendadak capek, mendadak lemes dan nggak bersemangat begini. Jangan ya Sayang. Kita kan sama-sama sayang sama Tante Rara. Bantu Mama ya Sayang, jangan buat Mama galau begini, Mama harus gerak cepat buat terwujudnya hubungan antara Om Randy sama Tante Rara kamu,” kata Irene.
Irene melawan rasa kantuk yang menyerangnya secara tiba-tiba.
Dia menghubungi Pak Suwandi.
“Hallo.”
Suara Pak Suwandi terdengar sangat gembira menyambut panggilan telepon darinya. Seolah-olah yang menelepon adalah Klara.
“Om, lagi sibuk nggak?”
“Enggak terlalu, Iren.”
“Iren lupa, sudah bilang terima kasih belum ya, atas kiriman makanannya? Soalnya gara-gara hamil Irene jadi sering lupa Om.”
Pak Suwandi hanya tertawa.
“Bagaimana? Cocok nggak rasanya?”
“Cocok sekali Om. Wah, kalau tiap ada menu baru boleh nih Irene dikirimi lagi.”
“Bisa diatur, Irene. Terima kasih atas pendapatnya.”
“Tapi ada satu hal lagi yang Irene mau sampaikan ke Om.”
“Oh, ya? Apa?”
“Irene meminta ke Randy untuk menjemput Raa dari lokasi event malam ini.”
“Oh, ya?”
“Iya, Om. Habis Irene gemes, dua-duanya itu nggak maju-maju. Maaf kalau Irene jadi terkesan mendesak-desak Randy ya Om.”
“Oh, nggak masalah, Om malah berterima kasih ke kamu. Maklum, semenjak nggak ada Mamanya, Randy itu jadi nggak ada yang mengingatkan untuk lebih banyak mengadakan pendekatan ke Klara.”
“Oh, begitu. Maaf Om jadi teringat sama Tante Virny. Tapi tenang saja Om, Irene akan membantu sebisa Irene. Soalnya Irene melihat mereka berdua itu cocok kok. Cuma memang perlu ada yang menyambungkan. Ya habis dua-duanya seperti bertahan begitu, nggak mau mengambil inisiatif.”
“Itu dia. Semestinya Randy yang harus banyak inisiatif. Dia itu kan Laki-laki.”
Irene tertawa.
“Randy mau kok, jemput Rara nanti malam. Dan Irene juga mau bilang ke Supirnya Rara untuk tidak menjemput Rara.”
“Oh, ya? Wah, berita besar ini. o*******g mendengarnya.”
“Semoga sebentar lagi sudah ada acara pertemuan keluarga lagi ya, Om.”
Pak Suwandi diam sesaat sebelum menjawab, “Iya. Om juga masih punya hutang ke Mendiang Mamanya Randy. Rasanya benar-benar nggak enak. Kesibukan Rara sendiri bagaimana, Irene?”
“Om tenang saja. Irene akan coba bantu sebisa Irene. Semestinya setelah acara yang sekarang ini berlangsung sih, Rara itu nggak terlalu sibuk. Tadi Irene sempat mampir ke kantor dia. Beberapa gelaran mendatang itu kan gelaran kecil sebetulnya dan Rara sudah mempunyai Tim yang bisa diandalkan untuk menangani. Yang sekarang ini saja, yang kelihatannya menyita fokus Rara.”
“Yang sekrang apa, Ren?”
“Itu lho Om, acara ulang tahunnya Channel 789 yang heboh itu. Siaran lagnsungnya nanti malam Om.”
“Oh, dia terlibat gelaran ini? Hebat ya Rara. Dia memperluas bidang usahanya ya?”
“Ya, Om. Dia kan cukup ambisius.”
“Sama dengan Randy. Selain rencana pembukaan cabang baru, dia sendiri juga sedang menggagas untuk membuka usaha kuliner yang baru, tapi lebih menyasar ke Anak Muda. Konsepnya lebih ke makanan dan minuman kekinian. Wah, agak bahaya ini kalau mereka berdua sibuk terus, bisa nggak ketemu-ketemu.”
Irene jadi merenung sesaat.
“Benar juga tuh. Irene juga takut sih Om.”
“Begini saja Irene. Benar kata kamu. Kita bantu saja mereka berdua. Dari pihak Om, akan mengurusi rencana pembukaan cabang baru tanpa melibatkan dia. Sedangkan untuk konsep kuliner baru, Om akan berusaha untuk menunda, sebisa Om. Kalau dari segi Rara bagaimana, Iren?”
“Nanti Irene akan coba cari waktu untuk ketemu sama Rara atau meminta bantuan Mama. Soalnya kondisi Irene suka berubah-ubah, Om. Mungkin bawaan bayi.”
“Om mengerti. Tapi terima kasih atas perhatian kamu. Jaga kesehatan ya.”
“Pasti, Om. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Baru saja dia mengakhiri komunikasi melalui telepon dengan Pak Suwandi, panggilan telepon dari Heidy datang. Sedikit lebih awal dari yang dia kira.
“Hallo. Katanya mau telepon sore?” sambut Irene, seolah dirinya tak membutuhkan Heidy.
“Hallo Ren. Takut keburu lupa. Ini mumpung sudah kelar semua urusan. Apa kabar?”
“Baik.”
“Tadi tumben telepon. Ada apa?”
Irene hampir mencibir.
Ada apa? Berasa dibutuhkan? Tapi iya sih, kali ini. Apa boleh buat. Soalnya kondisi hamil ini membuat aku kurang leluasa bergerak, pikir Irene.
“Dy, langsung saja. Gue butuh bantuan elo.”
Irene tak tahu saja, Heidy mati-matian menahan senyumnya dan berkata dalam hati, “Pucuk dicinta ulam pun tiba.”
“Wow! Dengan segala senang hati. Soal apa?”
Suara Heidy terdengar begitu riang.
Irene memonyong-monyongkan bibirnya ke telepon genggamnya, menahan sebalnya.
“Masih ingat foto yang kapan hari elo kirim ke gue?”
“Ingat dong.”
“Hm. Begini. Waktu jaman kuliah kan elo lumayan cepat tuh kalau cari informasi tentang sesuatu. Bisa telusuri Si Cowok itu nggak? Soalnya terus terang, yang ini belum diperkenalkan ke Keluarga gue.”
“Oh ya? Wah. Dengan segala senang hati. Eh, tapi kenapa, kok belum diperkenalkan? Kesannya Cowok ini nggak bakal disetujuin ya sama keluarga elo.”
Hampir saja Irene menyahut, “Rara sudah dijodohkan.”
Untung saja akal sehatnya masih sempat mencegahnya.
“Rara lagi sibuk berat. Semua sih di keluarga gue lagi sibuk berat sama prioritas masing-masing. Jadi agak susah atur waktunya buat ngomongin yang ringan-ringan.”
“Ooooh... ngerti. Nanti gue cari tahu. Eh kita ketemuan yuk, ngopi-ngopi begitu? Atau..., belanja bareng? Terserah elo deh sukanya yang mana?” pinta Heidy.
Irene menelan ludah.
Males banget. Mendingan aku bayar kamu dari pada dengar ocehanmu yang nggak ada habisnya, sahut Irene. Tentu saja dalam hati.
“Nanti dulu ya. Ini Papa lagi sibuk berat. Gue harus bisa bantu sebisa gue.”
“Oooh..., ya sudah deh.”
“Ya sudah gimana? Nggak mau bantu?”
“Bantu tetap.”
Irene menarik napas lega.
“Perlu biaya operasional?”
Heidy lumayan tersinggung mendengarnya. Tetapi ditahannya rasa tersinggungnya.
Sialan. Disangka dia aku butuh banget sama uang dia. Mentang-mentang dia kerja sama Papanya sementara aku masih kerja sama Orang lain. Sombong dan pilh-pilh Teman kok nggak hilang-hilang dari jaman dulu. Ini belakangan aku mau kontak lagi juga karena butuh informasi pekerjaan buat Saudara Sepupu Tunangan aku, batin Heidy, menelan rasa kesalnya.
“Ya ampun. Enggak lah. Cuma begitu doang. Ini buat pertemanan dan menyambung silaturahmi. Kayak sama Siapa deh, ngomongnya begitu.”
Irene tertawa pelan.
“Tapi nggak usah ragu. Kalau ada perlu apa bilang ya. Gue nggak suka berhutang budi sama Orang lain soalnya. Jadi anggap sekarang ini gue berhutang sama elo. Elo boleh tagih kapan saja,” tegas Irene.
Heidy tergoda.
Sekarang
saja ngomongnya? Atau nanti? Tapi bukannya Sepupunya Erry itu
masih bisa menunggu? Kan lulusnya masih beberapa bulan lagi. Sabar
sedikit mungkin ya. Takutnya Irene berubah pikiran. Sombongnya
kambuh lagi. Kan gawat. Sama Orang model dia itu memang lebih baik
jadi Teman, bukan musuh. Orang model dia ini, kalau jadi Teman,
bisa baik banget. Tapi sebaliknya, kalau sudah kesal sama Orang,
bisa bahaya, pikir Heidy.
*
$
$ Lucy LIEstiyo $ $