Ranjang Ossena penuh dengan ceceran gaun-gaun yang dikirimkan oleh Raja Gregory untuk dipakainya pada acara ulang tahunnya malam itu. Semuanya terbuat dari kain dengan bahan terbaik dan model terbaru membuat Ossena semakin bingung untuk menentukan pilihannya hanya pada satu gaun.
"Ah... Iru, bagaimana aku bisa memilih hanya satu?" Ossena mengangkat sebuah gaun berwarna putih gading ke atas. "Lihatlah...Semuanya indah sekali. Yang ini memiliki manik-manik yang pasti akan terlihat sangat indah ketika terkena cahaya." Ia lalu meletakkan gaun itu dan mengangkat sebuah gaun berbahan sutra, "...sementara yang ini, terasa sangat lembut membelai kulitku. Ah, belum lagi yang ini...Modelnya sungguh cantik dan berbeda dengan yang lain. Apalagi warnanya, semua adalah warna-warna kesukaanku. Yang mana yang menurutmu bagus, Iru?"
Ossena menoleh ke arah Irukandji yang sedang memainkan gulungan perban di tangannya dan tampak tidak sadar akan pertanyaan gadis itu.
"Iru!"
"Hah? Apa?" jawab Irukandji kaget dan menjatuhkan gulungan perban yang sedang dilempar-lemparkannya ke udara.
"Baju mana yang harus kupilih?" tanya Ossena dengan menyilangkan tangan di depan dadanya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Oh...Uhm... Bagaimana dengan yang ini?" tanya Irukandji menunjuk satu gaun yang tergeletak diatas mejanya.
Ossena menarik nafas kesal, "Itu tumpukan gaun yang tidak kusukai. Ah... Sudahlah, aku akan menunggu Ansel dan meminta pendapatnya. Setidaknya ia memperhatikanku ketika aku berbicara."
Masih dengan bersungut-sungut, Ossena menghentakkan kakinya menuju meja riasnya, dan mulai menyisir rambutnya. Sejenak Irukandji mengamati Osseda tanpa berkedip sambil bergumam, "Kau mengingatkanku pada seseorang."
Ossena menghentikan gerakan tangannya dan menoleh pelan ke arah Irukandji.
"Benarkah? Siapa, Iru?"
Mahkluk itu terdiam sesaat, sebelum kemudian menggelengkan kepalanya.
"Ah... Entahlah... Aku tidak ingat. Aku menyimpan ingatanku ke dalam sebuah catatan, yang entah dimana sekarang. Mungkin penyihir itu menyimpannya."
"Ishmenia?" tanya Ossena.
Irukandji mengangguk.
"Mereka menyimpan Pedang Bintang ku, dan mereka tahu dimana menunggu kelahiranmu di bumi. Mereka pasti membacanya di dalam catatanku."
Ossena sedang memikirkan alasan apa yang membuat Ishmenia dan Gregory menyimpan buku harian dan Pedang Bintang Irukandji ketika suara pintu kamar Ossena diketuk.
Gadis itu berdiri dan membukakan pintu, terperanjat oleh sosok yang berdiri di hadapannya.
"Ansel...?!" seru Ossena menahan nafas. Tidak seperti biasanya yang berbaju layaknya seorang prajurit, malam itu Ansel terlihat sangat rapi dengan baju kebesaran militernya. Jika biasanya ia hanya memakai atasan kain katun biasa yang kusut, kali ini pakaian yang dipakainya terlihat licin dan berbahan halus. Berwarna coklat keemasan dan panjang hingga ke lutut, lengkap dengan sabuk kulit tempat ia menggantungkan pedangnya dan mantel panjang berwarna merah tersampir di pundaknya. Bahkan celana kulit dan sepatu boots yang dipakainya terlihat lebih mengkilat dari biasanya.
Tidak tahan ingin menyentuh, Ossena menjulurkan tangannya ke d**a Ansel.
"Kau terlihat berbeda sekali dari biasanya An," serunya sambil mengelus kain halus yang membalut tubuh Ansel. Bahkan tanpa menyentuh kulit Ansel, Ossena bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu dari balik baju yang di pakainya, membuat detak jantungnya sendiri bergerak berbeda dari biasanya, seakan sedang melompat kegirangan.
Perasaan itu mengagetkan Ossena dan membuatnya buru-buru menarik tangannya dari tubuh Ansel. Berusaha menghindari kecanggungannya, ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada rambut pemuda itu, yang malam ini tersisir rapi ke belakang dan mengomentarinya, "Bahkan rambutmu berbeda dari biasanya."
Ansel tertawa kecil mendengar komentar Ossena.
"Malam ini adalah perayaan ulang tahunmu, tentu saja aku ingin terlihat berbeda," jawabnya sambil tersenyum. Ia mengamati Ossena sebelum kemudian mengerutkan dahinya. "Mengapa kau belum mengganti bajumu?"
Ossena melangkah masuk diikuti oleh Ansel yang tercengang melihat isi kamar Ossena yang berantakan.
"Aku tidak bisa memilih yang mana yang hendak kupakai, dan Irukandji tidak membantu sama sekali," jawab Ossena.
Ansel mengamati gaun-gaun yang ada di sekeliling kamar beberapa saat, sebelum kemudian meraih salah satunya dari tumpukan di atas ranjang. Sebuah gaun berwarna biru menarik matanya. Ia memungutnya dari atas ranjang dan mengangkatnya untuk melihatnya lebih jelas.
"Aku suka ini, O. Biru, warna yang sangat cocok untukmu. Sama dengan warna matamu."
Ossena mengerutkan keningnya sambil berjalan ke depan meja rias dan menjorokkan wajahnya ke hadapannya.
"Mataku tidak berwarna biru, An. Tapi gelap sama sepertimu."
"Tidak dalam keadaan normal, tapi ketika kau memakai kekuatanmu, matamu bersinar biru, O"
"Oh... Benarkah? Aku tidak pernah mengamatinya."
"Untunglah kalau begitu aku selalu mengamatimu. Nah bagaimana menurutmu akan gaun ini?"
Ossena mengamati gaun di tangan Ansel. Berbahan ringan, dan berlapis, gaun berlengan panjang itu terlihat indah, sama seperti gaun yang lain. Tapi kini berada di tangan Ansel, gaun itu jadi terlihat semakin menarik. Membuat Ossena ingin mengenakannya.
"Aku juga menyukainya, An. Baiklah akan kupakai."
Ansel tersenyum sambil mengangguk, "Aku dan Iru akan menunggu di luar. Perlukah kupanggilkan Salma untuk membantu?"
Ossena menggeleng. "Aku bisa sendiri," putusnya.
"Baiklah. Iru!" Ansel mengangkat tangan kanannya menunjuk ke arah pintu, "Keluar!"
Irukandji menggeram sekilas sebelum menuruti ucapan Ansel dan membuntutinya keluar.
Ossena melepaskan gaun yang di pakainya dan menggantinya dengan gaun biru pilihan Ansel. Ia baru sadar bahwa gaun itu ternyata lebih rumit daripada baju yang biasa dipakainya.
Penuh dengan tali dan kancing, Ossena baru sadar bahwa ia memerlukan bantuan untuk menutup korset yang ada di punggungnya. Ia melongok keluar kamar dan melihat Ansel sedang bersandar di sisi tembok kamarnya.
"Uhm... Rupanya aku butuh bantuan. Bisakah kau membantuku, An?"
Ansel menegakkan sandarannya dan menoleh.
"Tentu saja," jawabnya singkat.
Ossena mundur kembali masuk ke dalam kamar diikuti Ansel di belakangnya.
"Maafkan aku, bisakah kau mengikatkan korset gaunku?" tanya Ossena sambil menunjuk ke arah punggungnya.
Ansel menggaruk tengkuknya merasa salah tingkah melihat punggung Ossena yang terbuka hingga ke pinggang.
"Ehmm... A...aku... mmm... biar kupanggilkan Salma untukmu," ucapnya gelagapan.
Ossena yang tidak sadar akan kegugupan Ansel menoleh bingung, "Bukankah kita harus segera berangkat? Salma ada jauh di bawah, atau panggilkan Irukandji saja jika kau keberatan..."
Tidak ingin Irukandji melihat Ossena setengah telanjang, Ansel akhirnya setuju. "Ba... baiklah... sini kuikatkan. Membaliklah!" perintah Ansel sambil memutar pundak Ossena agar memunggunginya.
Ia menarik gaun Ossena yang setengah melorot dari pundak gadis itu dan mulai mengikat tali korset, mulai dari yang paling bawah di pinggang gadis itu.
Kulit Ossena bergesekan dengan sarung tangan yang di pakai Ansel, membuat pria itu menelan ludahnya berusaha untuk mengendalikan gejolak yang sering dirasakannya ketika berada di dekat gadis itu, yang kini mulai semakin susah untuk di kendalikan. Dengan terburu-buru Ansel menarik tali-tali itu agar punggung Ossena secepatnya menghilang dari pandangan.
"Aw... An! Kau menarik terlalu keras, aku tidak bisa bernafas," seru Ossena ketika Ansel sedang mengikatkan simpul terakhir di punggung Ossena.
"Oh maafkan aku." Ansel menarik lepas simpulnya dan mengikatkannya kembali, kali ini agak longgar.
"Baiklah, selesai!" seru Ansel.
"Terima kasih ," balas Ossena sambil membalikkan badan menatapnya. "Bagaimana menurutmu?"
Ossena bertanya sambil memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Melakukan hal yang sering dilakukannya ketika bermain tuan putri bersama Ishmenia ketika kecil.
Ansel menatap gadis itu tanpa berkedip. Gaun biru pilihannya dengan sempurna menutupi kulit Ossena dari ke leher hingga pergelangan kakinya, memeluk setiap lekuk tubuh gadis itu. Rambutnya yang panjang keperakan diikatnya ke dalam kepangan, dan digulung ke atas. Jika tidak tertutup oleh cadar, Ansel yakin siapapun yang menatap Ossena pasti akan tersedot ke dalam pusaran daya tarik yang dimiliki gadis itu.
"Sempurna..."
Jawaban Ansel membuat Ossena tersenyum lebar. Gadis itu meraih sarung tangan, cadar, dan mantelnya dari atas meja, memakainya, dan mengait lengan Ansel sambil menariknya keluar.
"Baiklah ayo kita berangkat," seru Ossena.
Ansel menyiapkan kereta kuda untuk membawa Ossena ke istana malam itu. Sementara Irukandji, sesuai perintah Raja Gregory, dilarang untuk menampakkan diri dan terpaksa harus menunggu di Menara Hitam.
Ossena yang semula girang kini mulai gelisah. Belum pernah ulang tahunnya dirayakan sebelumnya, disebuah pesta kerajaan pula. Ia lalu teringat akan keributan yang terjadi dipasar kemarin dan bagaimana marahnya Ansel pada dirinya. Bagaimana bila kejadian itu terulang lagi?
Gadis itu melongokkan kepalanya keluar jendela berusaha melihat bayangan Kota Illia yang berkerlap kerlip penuh dengan cahaya kuning obor melawan gelapnya malam. Ansel yang berkuda di sebelah kereta membungkukkan badannya ke arah Ossena.
"Masukkan kepalamu, O! Udara malam ini dingin sekali." Ansel berteriak berusaha melawan deru angin dan suara dari derap langkah kuda.
Ossena menurut dan memasukkan kepalanya kembali ke dalam kereta. Dadanya semakin berdebar tidak karuan ketika dirasanya kereta kuda mulai melambat karena harus melewati perbatasan kota. Ketika kereta akhirnya berhenti dan Ansel membukakan pintu, Ossena sudah hampir tidak bisa merasakan tangannya yang kini kebas karena dari tadi digunakan untuk meremas ujung gaunnya.
Pria itu menjulurkan tangannya ke arah Ossena membantunya turun. Ia menaikkan kerudung mantel Ossena hingga menutupi dahinya sebelum kemudian menggandengnya masuk. Ansel yang bisa merasakan cengkeraman erat dari Ossena, menunduk dan berbisik.
"Jangan khawatir, O. Aku akan disisimu sepanjang malam dan tidak akan melepaskanmu."
Ossena mengangguk, sedikit lega akan janji Ansel untuk tidak meninggalkannya. Ia melangkah mengikuti tarikan tangan Ansel melewati gerbang tinggi pintu istana. Sebuah lampu yang tergantung di langit-langit istana membuat Ossena menengadahkan wajahnya. Cahaya lilinnya bergoyang terlihat seolah sedang menari karena terkena hembusan angin ketika dirinya lewat.
Ansel terus menggandeng Ossena melewati lorong berlantai batu halus yang dijaga oleh prajurit bertombak disetiap sudut, yang selalu menunduk hormat ke arah Ansel setiap pria itu lewat. Hingga keduanya tiba di sebuah pintu kayu berwarna coklat yang dijaga oleh dua orang prajurit. Masing-masing berdiri di sisi kanan dan kiri pintu yang terdengar memancarkan suara gelak dan tawa ramai dari dalamnya.
Kedua prajurit yang berjaga di pintu membungkukkan badannya sebelum meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Suara keramaian yang tadi terdengar samar kini langsung menggema di telinga Ossena, membuatnya makin merapatkan tubuhnya di sebelah Ansel.
Seorang pria berjubah panjang yang berdiri di sisi pintu, melirik sekilas ke arah Ansel dan Ossena sebelum kemudian berdehem dan meneriakkan nama keduanya ke seisi ruangan.
"PANGLIMA ANSEL RENARD DAN NONA OSSENA!"
=======
Author Note:
Berlanjut yah sodara-sodara. Rutin up bulan Juli. Dijadwalkan sekitar jam 9.
Ready?!