REAPER

1005 Words
Pukul delapan malam di kamarnya. Shuuya tengah sibuk mencatat pelajaran dari buku catatan Ao yang lengkap dan super rapi. Setiap malam juga begitu. Shuuya paling malas belajar di kelas. Duduk diam dan mendengarkan guru hanya akan membuatnya tertidur. Semua demi efisiensi waktunya yang berharga. Selama nilainya masih baik tak akan ada yang curiga dengan apa pun yang ia lakukan. Shuuya tidak harus belajar untuk masa depannya. Masa depan sudah terlihat jelas bagi setiap manusia yang menerima tawaran shinigami untuk menjadi seorang Rieki Shinmei. Seperti nasib. Jika tidak menang, ya pasti mati. Karena untuk memenangkan seleksi ini setiap Rieki Shinmei harus bertarung melalui pilihan kemudian saling membunuh. Di balik itu semua Shuuya masih memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya. Mengapa sahabatnya… Ao Kun… “Shuuya.” Shuuya memutar kursinya cepat. Mendapati sosok dengan jubah dan jas hitam itu di hadapannya. “Dasar. Sudah kubilang kalau mau datang hubungi aku dulu,” kata Shuuya sambil bertopang dagu. “Aku tidak punya waktu untuk itu. Sebaiknya kau curigai pemuda yang datang menjemput temanmu barusan,” saran Erick. “Ia kan hanya pelayan. Ayolah.” Shuuya kembali memutar kursinya menghadap meja. Ia melanjutkan catatannya yang masih tersisa banyak. “Lagipula hal wajar siswa di Hakuseki membawa pelayan pribadi maupun bodyguard. Jika Ao benar-benar seperti yang pemuda itu katakan. Semuanya malah terlihat semakin wajar. Malah diwajibkan oleh sekolah. Yatsuhisha kan merupakan salah satu perusahaan paling besarbdan berpengaruh di Jepang. Mungkin aku memang sedikit terkejut. Tapi, aku senang juga.” “Kau terlalu mencabut kecurigaan pada Ryukamine Ao, Shuuya san. Padahal semua sudah jelas. Sebelum datang penyesalan sebaiknya cepat kau perintahkan aku untuk mencabut nyawanya.” Shuuya berhenti menulis. Ia menengadahkan kepalanya. “Aku tak akan menyesali apa pun karena berpegang teguh pada komitmenku. Kau sendiri yang bilang begitu. Kau hanya bisa melakukan sesuatu berdasarkan perintahku. Aku tuanmu. Lalu, kini mengapa kau begitu tergesa? Kau hanyalah fasilitas untuk seleksi ini. Sisanya biarkan aku yang memutuskan.” Erick berkata, “Kalau boleh jujur aku merasa punya sedikit kecurigaan pada orang bernama Akihara itu. Terasa ada hal yang aneh dan mengganjali perasaan. Padahal ini bukan hal yang biasa untuk seorang dewa kematian seperti aku. Aku rasa memang ada yang tidak benar.” Shuuya memutar kursinya lagi. Ia lemparkan senyum lebar saat menatap wajah penuh rasa curiga Erick. “Kalau menurutku sendiri sepertinya semua orang itu bisa saja membuatmu curiga, Erick. Kau tahu aku bukan seorang skeptis. Kami sudah membuat janji untuk selalu saling berkata jujur perihal apa pun dalam situasi yang bagaimanapun. Ia adalah adik laki-lakiku yang manis dan lemah. Tak akan ada sesuatu yang bisa merubah fakta itu,” balasnya, cenderung membela. Erick langsung merespon ucapan Shuuya dengan senyum sarkastis. Berkata, “Apa kau serius dengan ucapanmu? Padahal kau sendri sedang membohongi anak itu saat ini. Munafik sekali.” Shuuya mengernyitkan dahi saat melihat Erick. “Hah? Apa maksudmu?” “Berbohong padanya berarti membohongi dirimu sendiri. Karena ia adalah dirimu. Ia adalah separuh nafasmu. Ia percaya padamu. Tak miliki keraguan padamu walau hanya sedikit pun. Namun, kau tetap harus bohongi dia. Kebohongan yang miliki makna sama dengan kehilangan sedikit demi sedikit fragmen jiwa. Setiap berbohong kau akan menghilangkan sekeping jiwa yang ada dalam hatimu.” Shuuya terdiam mendengar ucapan Erick. Mungkin dia benar. Mencabut nyawa Ao mungkin akan memuluskan jalannya menuju impian yang suci. Tapi, untuk apa impian suci itu jika tanpa alasan? Alasan untuk memberikan hidup sempurna bagi sahabatnya. Orang yang paling penting baginya. “Hashimoto san… keluarga sangat berarti untuk menangis maupun tertawa. Seharusnya mereka selalu bersama bukan? Tapi, mengapa ada yang pergi lebih cepat? Bahkan mengapa ada yang tidak pernah datang?” Bagaimanapun nasib yang jahat ini harus dibenahi. Melihat kematian yang dilakukan oleh Rieki Shinmei lainnya mungkin hanya aku Rieki Shinmei yang berpikir seperti itu. Maka aku harus jadi pemenang. Akulah calon tuhan yang mengetahui apa yang terbaik untuk umatnya. “Apa yang akan terjadi jika aku menang?” tanya Shuuya. “Memberitahu dia dapat diartikan sebagai sebuah pelanggaran. Score-mu akan dipotong tiga perempat,” respon Erick. “Baiklah. Hei, Erick. Apa kau pernah merasa kehilangan?” tanya Shuuya lagi. “Sudah aku katakan, bukan. Kami ini para dewa kematian tidak memiliki perasaan,” jawab Erick. “Tapi, kenapa wajahmu tampak penuh dengan penderitaan? Hal apa yang telah buat dirimu memiliki wajah seperti itu? Kapan musibah yang menyesakkan d**a itu terjadi padamu? Apakah kau telah kehilangan harapan untuk seluruh masa depan yang mungkin terjadi?" tanya Shuuya. Erick membalas, "Kau tidak harus mengetahui apa pun soal itu. Aku juga tidak punya ketertarikan untuk mengatakan hal semacam itu padamu, Shuuya san." "Katakan padaku, aku tuanmu!" paksa Shuuya. Erick tak berbicara sepatah kata pun lagi Membiarkan ruangan itu tertelan oleh kediaman. Shuuya menaruh kedua tangannya di belakang kepala. Ia mulai memutar-mutar kursi dengan tampang resah. “Mulai esok hari yang baru akan dimulai. Aku tidak harus menyingkirkan Ao sahabat yang paling aku hargai. Yang harus segera aku singkirkan saat ini adalah tempat bernama IQCI. Mereka yang telah merebut Ao dariku. Dari sisi calon ‘tuhan’ untuk segala kematian.” Seketika pakaian Erick berubah menjadi pakaian seragam Hakuseki. Kemeja dengan dasi hitam dan blazer berwarna putih. Sorotan Shuuya mengungkapkan tanya apa yang akan shinigami-nya lakukan. “Besok kelasmu akan ujian Matematika bukan?” tanya Erick. Shuuya membalas, “Aku bingung bagaimana seorang shinigami bisa mempelajari hal seperti ini.” Erick membolak-balik buku catatan Shuuya yang kebanyakan hanya diisi oleh tulisan terburu-buru yang berantakan. Sejujurnya ia ingin mengomentari kebiasaan tuannya ini. Tapi, segera ia tunda untuk ucapan yang lebih penting. Untuknya. “Memang kau pikir aku ini sudah hidup berapa lama?” tanya Erick dengan tatapan tajam mengiringi senyum mematikan. Mempertanyakan logika yang sejak awal tak punya dasar. Karena sebagai manusia kadang memang tak punya pijakan saat buat keputusan. Bukan hanya satu atau dua tahun. Erick telah menikmati dunia yang tak pernah semua manusia pernah jangkau sebelumnya. Masa lalu bahkan masa depan. Namun, tetap saja ada hal yang tak bisa diketahui. Sebuah rahasia... yang akan segera terkuak kenyataannya. Realita yang tak akan bisa siapa pun sangkal keberadaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD