Part 13 Pertemuan Tak Sengaja

860 Words
Setelah pulih dari keguguran, aku mulai bangkit. Membahagiakan diriku sendiri dan orang-orang yang tiap hari berinteraksi denganku di rumah dan toko. Tubuhku mulai pulih. Aku sempatkan olahraga tiap pagi, meski hanya beberapa menit saja. Aku juga sering mengantar pesanan bersama Pak Nardi. Dari seorang ibu rumah tangga, sekarang aku mulai berperan penting di toko kue ibu. Kenalan juga bertambah, terutama para pelanggan yang kebanyakan dari orang kantoran. Bahkan ada yang menawarkan pekerjaan kantor, setelah mereka tahu aku seorang sarjana ekonomi. Namun, aku lebih menikmati peranku sekarang. Sebagai ibu yang bisa bekerja sambil mengawasi anak. Tiap hari ada saja jadwalku ikut mengantar pesanan sekaligus mengantar Syifa sekolah. Mas Ilham masih seperti biasa, datang seminggu dua kali ke rumah. Kami berbincang seperlunya, karena aku memang memilih sibuk daripada nanti susah untuk melupakannya. Sejak Nura tahu rumah tanggaku bermasalah, perempuan itu semakin berani pamer foto di media sosialnya. Foto saat mereka meeting, saat di lokasi proyek, atau di kantor pemerintahan saat sedang mengurus sesuatu dengan suamiku. Dia semakin berani menciptakan genderang perang denganku. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Sampai pria bernama Ilham Bagaskara, S.H sanggup menceraikanku. Tunggulah saat itu. Mungkin Nura akan menang, tapi menang sebagai pecundang. "Kamu bisa bertanya pada karyawan kantor, Vi. Hubungan kami tidak seperti yang dia posting di medsosnya. Mas telah mengambil jarak. Karena Mas menginginkan kalian kembali," ucap Mas Ilham suatu hari. Mana yang sekarang bisa kupercaya. Meski pun yang Nura posting itu foto lama mereka, tetap saja membuatku terluka. Bermakna benar, 'kan, kalau mereka memang sering jalan bersama saat aku masih tinggal serumah dengan Mas Ilham. Apalagi foto itu memang sengaja di ambil atas keinginan mereka. Terlihat sekali mereka bahagia, menampilkan senyum di foto selfi. Semua melukaiku lagi dan lagi. Aku makin kecewa disaat Mas Ilham berusaha kembali. "Mbak, ayo, berangkat!" Suara Pak Nardi membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan mengambil kertas alamat pemesan. PT Karya Bumi Persada. Ini perusahaan tempat Mas Ilham bekerja, hanya saja beda kantor dan alamat. Perusahaan multinasional itu memang memiliki dua kantor besar di kotaku. Biarlah, karyawan di sana belum tentu kenal siapa aku. "Bu, aku berangkat dulu, ya!" Pamitku pada Ibu yang sibuk menyuapi Syifa di toko. "Mama pergi dulu, Sayang." Kedua orang terkasihku melambaikan tangan. Pesan untuk berhati-hati tidak lupa diucapkan Ibu. Perjalanan kami tempuh hampir satu jam dari rumah. Karena jalannya yang memutar dan ada bagian jalan yang rusak karena sering dilewati truk yang mengangkut material pembangunan jalan tol. "Mbak Vi, tidur saja kalau ngantuk. Nanti sampai saya bangunkan," kata pria umur enam puluhan yang tengah mengemudi. "Nanggung, Pak. Nanti saja setelah pulang baru tidur." Akhirnya kami sampai di halaman kantor yang tidak kalah besar dengan kantornya Mas Ilham. Aku mendatangi resepsionis yang sedang istirahat siang. "Assalamu'alaikum, Mbak. Maaf ganggu. Saya dari Toko Roti dan Kue Ananda mau mengantar pesanan." Wanita umur empat puluhan yang setengah mengantuk itu segera duduk dengan tegak. "Eh, iya, Mbak. Alhamdulillah sudah sampai." "Maaf ya, saya ganggu istirahatnya." "Enggak apa-apa. Saya juga sambil nunggu Mbak datang. Habisnya Pak Bos nanya aja sejak tadi. Beliau jatuh cinta sama roti dan kue tokonya, Mbak." "Terima kasih, Mbak." Mbak resepsionis segera memanggil seorang OB untuk membantu Pak Nardi membawa seratus kotak kue dari dalam mobil. Kemudian wanita itu menelepon atasannya. "Mbak, dipanggil bos ke ruangannya. Beliau ingin bertemu. Mari saya antar." Aku mengikuti langkah wanita itu ke sebuah ruangan di lantai dua. Suasana sepi, karena masih jam istirahat. Tidak ada plang nama di sana. Setelah mengetuk pintu, ada suara mempersilakan kami masuk. "Mbak, masuk aja. Saya mau menyusun pesana tadi. Habis istirahat akan dibawa ke lokasi proyek." Setelah aku mengangguk, dia membukakan pintu lalu pergi. "Selamat siang, Pak," ucapku pada pria yang sedikit rebah di kursi putarnya. "Siang," jawabnya sambil menoleh. Dan kami sama-sama terkejut. "Pak Alex." Pria itu tersenyum. "Vi, kita bertemu lagi akhirnya." Pak Alex berdiri, mendekat, dan menyalamiku. Dia terlihat lebih matang sekarang. Terakhir aku bertemu saat dia menghadiri pernikahanku dengan Mas Ilham. "Apa kabar?" "B-baik, Pak." "Duduklah!" Meski ragu aku duduk juga di kursi depannya. Rupanya dia juga di angkat jadi kepala cabang. "Aku tidak menyangka Ilham menelantarkan wanita sebaik kamu. Kenapa dia membiarkan istrinya bekerja keras seperti ini. Aku tahu gaji dia berapa? Karena posisi kami sama." Aku tersenyum. "Saya yang mau, Pak. Lagian saya membantu Ibu sendiri." "Oh, jadi toko roti itu milik ibumu?" Aku mengangguk. Kami awalnya berbasa-basi mengenai usaha Ibu. Hingga aku tahu kalau ternyata Pak Alex mengetahui hubungan antara Mas Ilham dengan Nura. "Wanita itu sering posting foto-foto mereka di media sosialnya. Kami berteman, jadi aku tahu." "Pak Alex, kenal dengan wanita itu?" "Tidak. Aku hanya tahu saja. Apa kalian sekarang bercerai?" Aku menggeleng. Sekarang banyak orang sudah tahu tentang mereka, bagaimana dengan perasaan Mas Ilham? Meski caption-nya di postingan itu mengenai pekerjaan. "Dia sudah menyakitimu seperti itu. Masa masih tetap mau bertahan." Aku diam, karena dia tidak harus tahu apa jawabanku. Kemudian aku pamitan, Pak Alex mengantar hingga di lantai bawah. Ketika sampai di ruangan resepsionis, aku terkejut karena ada Mas Ilham di sana. Sedang bicara dengan seorang karyawan sambil memperhatikan tumpukan kotak kue. Tulisan di sana tercetak jelas dari toko Ibu. Kami saling pandang karena sama-sama kaget. Tidak menyangka bertemu dalam situasi seperti ini. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD