Part 7 Gerimis

1158 Words
POV Ilham "Sil, mulai sekarang jangan biarkan siapa pun masuk ruangan saya tanpa memberitahu saya lebih dulu!" Aku bicara pada gadis dua puluh lima tahun yang menjadi sekretaris pribadiku. Silvi. "Kecuali Bu Nuraini, Pak?" "Berlaku untuk siapa saja." "Baik, Pak." Aku melangkah masuk ruangan. Orang lain saja bisa meraba dengan apa yang terjadi antara aku dan Nura. Mana mungkin Vi tidak merasa, sebagai pasangan hidup tentunya ia sangat peka. Namun, dia hanya diam. Menungguku sadar dan berubah. Sayangnya aku terlena dengan jalan yang salah. Dari balik kaca jendela, kulihat gerimis turun tengah hari itu. Gerimis pertama di musim yang baru berganti. Gerimis pertama tanpa bidadari-bidadariku. Rintik hujan yang menimbulkan riak rindu menggebu. Aku hanya takut dia telah nyaman dengan kondisi kami yang berjauhan. Hingga membuatnya makin susah untuk kembali kugenggam. Bunyi telepon kantor membuyarkan lamunan. Bergegas aku menjangkau telepon di meja kerja. "Pak, sudah ditunggu di ruang meeting sekarang." "Ya, sebentar lagi saya datang. Siapkan semua berkas yang kemarin." "Baik, Pak." Aku masuk ruangan meeting dengan pikiran bercabang. Padahal yang akan dibahas nanti tentang beberapa permasalahan yang akhir-akhir ini terjadi di lapangan. Aku butuh konsentrasi, karena tumpuan kantor pusat dilimpahkan padaku, yang selama ini sukses mengatasi kendala yang ada. Bahkan saat mengharuskan menempuh jalur hukum. Nura memandang seperti biasanya ke arahku. Benar kata Vi. Pandangan Nura begitu memuja. Dan itu yang membuatku terlena beberapa tahun ini. Aku tergoda masa lalu yang kisahnya kandas kala itu. Dia bergabung meeting karena perusahaan tempatnya bekerja terlibat dalam urusan yang akan kami bahas sekarang. Aku harus memimpin meeting ini. Makanya dengan susah payah menepis pikiran terburuk tentang rumah tanggaku. "Tunggu, Vi. Mas yakin kita pasti akan baik-baik saja." Meeting yang menyita waktu karena banyak pembahasan yang rumit. Kami break sejenak untuk makan siang. "Mas, lagi ada masalah?" tanya Nura ketika menjajari langkahku di lorong menuju ruang jamuan. "Tidak ada," jawabku sambil tanpa memandangnya. "Susah banget sekarang dihubungi. Bosan ya mendengar keluh kesahku?" "Maaf, aku sibuk akhir-akhir ini." Kami duduk berhadapan di ruangan yang biasa untuk menjamu tamu atau para karyawan yang selesai meeting. "Dini ngotot banget pengen ketemu papanya. Dia enggak mau kalau hanya sekedar video call. Sementara papanya sendiri jauh di luar pulau dan enggak peduli dengan anaknya lagi. Dia sudah punya pengganti kami. Anaknya perempuan juga, baru berumur dua tahun." Ilham terdiam, membayangkan Syifa dalam posisi anaknya Nura. Dadanya kembali dilanda nestapa. "Katanya hari Sabtu ini di kantor Mas ada acara family gathering? Rencana mau pergi ke mana?" "Ke Cemoro Kandang, cuma nginap dua hari saja." Nura mengangguk-angguk. "Rabu depan kita juga ada kunjungan di proyek lama dekat pelabuhan, Mas." Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil menikmati tanpa selera menu catering siang itu. * * * Mendung hitam menggantung di angkasa saat aku pulang kerja. Mobil melaju bukan ke arah jalan pulang. Namun ke rumah Vi. Saat aku datang Vi sibuk melayani pembeli bersama tiga orang karyawan Ibu. Dia hanya tersenyum sekilas lantas sibuk lagi. Aku melangkah lewat samping toko untuk menuju ke rumah. Antara toko dan rumahnya ada jarak halaman seluas lapangan basket. Biasanya aku langsung masuk dan parkir di sana, tapi karena gang itu terhalang oleh beberapa motor pembeli, ku parkir mobil di depan toko. "Nak Ilham," sapa Ibu yang kebetulan keluar dari rumah. Aku tersenyum, menyalami, dan mencium tangannya. "Baru pulang dari kantor?" "Iya, Bu." "Ayo, masuk. Syifa baru saja selesai mandi. Mau berangkat ngaji enggak jadi karena mendung ini. Kalau Vi ada di toko." Aku mengangguk. Setelah Ibu pergi ke depan, aku melepaskan sepatu dan masuk rumah. Syifa yang melihat langsung mencium tanganku. Beberapa saat setelah Syifa menghafal Asmaul Husna, ada seorang anak yang memanggilnya dari pintu samping. Gadis kecilku langsung lari ke luar. Pamitan hendak ke dapur toko untuk melihat karyawan mengadon kue. Setahuku bocah perempuan yang usianya lebih tua dari Syifa itu anak salah satu karyawan Ibu. Vi masuk sambil membawakan teh botol dan sepiring brownis. Wajahnya yang tampak lelah itu masih terlihat menarik. Tubuhnya agak kurus daripada terakhir aku ke sini. Jilbab warna biru yang menutupi rambutnya senada dengan warna tunik yang dipakai. "Ayo, di cicipi, Mas. Ini resep baru Ibu," ucapnya setelah meletakkan nampan di meja. Ketika hendak pergi, kuraih lengannya. Namun lengan itu menggeliat melepaskan diri. "Boleh kita bicara sebentar?" kataku memohon. Ia mengangguk lantas duduk. "Sabtu ini ada acara family gathering di kantor. Ayo, kita ajak Syifa pergi sama-sama. Hanya dua hari saja." Tanpa berpikir lama, Vi langsung menggeleng. "Enggak, Mas. Terima kasih." Kami terdiam. Dia tidak memandangku, perhatiannya tertuju pada layar televisi yang menyala. Sebeku itukah hatinya sekarang? Kenapa dia makin dingin saat aku dilanda penyesalan. Sementara masih bisa melayaniku dengan baik saat kami masih serumah, meski saat itu pun dia sudah tahu tentang kegilaanku dengan Nura. Dia masih bisa melayaniku dengan sempurna. Bukan hanya mengurus makan dan pakaian saja, tapi memenuhi kebutuhan batin yang kutuntut sewaktu-waktu. Vi, apakah kamu ingin membunuhku dalam penyesalan? "Loh, kuenya enggak di makan, Nak Ilham? Ibu baru nyoba resep baru," seloroh Ibu yang masuk rumah. "Iya, ini saya makan, Bu," jawabku mengambil sepotong brownis. Ibu tersenyum lantas masuk kamar. Beliau keluar lagi sambil membawa buku tebal dan kembali pamit ke toko. Sementara di luar gerimis mulai turun dan sesaat kemudian hujan deras mengguyur bumi. Kami berdua terjebak dalam hening. Kuperhatikan Vi yang mondar-mandir sibuk menutup jendela dan melakukan pekerjaan yang tidak penting. Hanya untuk menghindariku. Mungkin salah jika aku kesal, tapi kenyataannya aku benar-benar geram melihatnya seperti itu. Kudekati Vi yang sedang membereskan mainan Syifa di karpet depan TV. Kuraih jemarinya dan kugenggam erat saat ia menarik tangannya. Kulihat di jari itu tidak ada lagi cincin pernikahan kami. Dari saku kemeja kuambil kartu ATM yang ditinggalkannya di laci meja rias. "Bawa ini untuk kebutuhan kamu dan Syifa." Vi memandang sekejap. "Jangan merepotkan Ibu," tambahku lagi. "Ibu enggak merasa kurepotkan." "Kamu dan Syifa tanggungjawab Mas." "Ini sudah sebulan aku pulang. Apa berkas-berkas perceraian kita sudah masuk ke pengadilan?" "Mas tidak akan mengurusnya." "Kenapa enggak segera di urus. Kasihan yang sudah menunggu," sindir Vi sambil berdiri. "Apa aku saja yang mengurusnya. Biar nanti kucari pengacara." Aku terhenyak dengan ucapan Vi. Sepertinya dia memang sedang tidak main-main dengan perpisahan ini. "Siapa saja perempuan yang meminta dicerai oleh suaminya, tanpa alasan apapun, maka dia diharamkan untuk mencium aroma surga." (H.r. Abu Dawud dari Tsauban). Aku sedikit berdalil. "Aku punya alasan dan Mas pun tahu itu," ucapnya sambil menatap lekat ke arahku. Kami berdiri dan saling berpandangan. Kuraih dagunya, tapi ia mengelak saat hendak kucium. "Jangan seperti ini. Kita akan semakin sulit untuk berpisah. Kalau Mas tulus mencintaiku, apa pun alasannya Mas enggak akan kembali ke masa lalu. Di saat orang lain sedang kasmaran di tahun-tahun awal pernikahannya, tapi Mas justru kembali terlena pada wanita itu padahal baru setahun kita menikah." Vi berhenti sejenak untuk menarik napas. "Ketika pria lain bahagia disaat istrinya mengandung, tapi Mas malah sibuk menghibur duka wanita lain dan menciptakan luka hati istri sendiri." Telak ucapan Vi kali ini. Membuat lidahku kelu tidak bisa berkata-kata lagi. Meski untuk mengatakan kata maaf. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD