2. Merindu Waktu

1747 Words
Sudah hampir enam bulan lamanya setelah kejadian di atas bukit itu Mahesa Manggala memendam rindu. Entah untuk siapa rindu itu. Mungkin saja untuk wanita itu. Wanita yang tidak pernah ia ketahui namanya. Wanita yang menghilang begitu saja setelah mengobarkan hasrat liar dan bermalam panas dengannya. Mahesa tidak seperti lelaki kebanyakan yang bisa melakukan one night stand lalu melupakannya begitu saja. Ia bukan type lelaki yang gampang melupakan seseorang, apalagi seseorang yang meninggalkan jejak dalam ingatan. Sebagai seorang pengacara sukses dan terkenal, Mahesa tidak mau sampai melalaikan tanggung jawab. Statusnya sebagai seorang ayah tunggal dari seorang putri yang baru berusia lima tahun menuntutnya untuk selalu bersikap seperti seorang ksatria. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Ia tidak mau karmanya nanti akan menimpa putri semata wayangnya. Bagaimanapun, ia sudah tidur dengan wanita itu. Terlepas wanita itu adalah wanita baik-baik atau bukan, Mahesa tidak mempermasalahkannya. Ia hanya ingin bertemu dan minta maaf padanya atas peristiwa malam itu. Apakah setelah itu hubungan mereka akan berlanjut atau tidak, yang terpenting ada kejelasan dari kedua belah pihak. Ketukan pintu di ruang kerjanya membuyarkan lamunan. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan melongok ke dalam ruangan. "Masuk saja, Bu Farah!" perintah Mahesa dari balik meja kerja. Wanita berwajah bulat dengan hijab abu-abu dan setelan blazer berwarna hitam itu melangkah masuk dengan anggun. Senyuman ramah terlontar dari bibirnya yang dipulas lipstik berwarna merah marun. "Permisi, Pak Mahesa. Ada Pak Umar di luar. Dia ingin bertemu dengan Bapak," kata Farah dengan hati-hati. Mahesa menyatukan kedua alisnya dan menatap Farah penuh tanya. “Ada apa ya, Bu Farah?” "Katanya sih ada yang perlu disampaikan pada Bapak. Penting katanya, Pak." "Baiklah. Minta dia masuk, Bu Farah.” “Baik, Pak.” Farah keluar dan beberapa menit kemudian asisten baru Mahesa itu kembali ke ruangan bersama dengan seseorang berseragam polisi. Mahesa menyambut polisi itu dengan senyuman. “Selamat datang di kantor saya, Pak Umar.” Mahesa beranjak dari tempat duduknya menuju sofa khusus untuk tamu yang terletak beberapa meter di depan meja kerjanya. “Selamat siang, Pak Mahesa. Saya akan mengganggu Anda sebentar nih,” ucap Umar dengan nada akrab sambil mengulurkan tangan pada Mahesa. Mahesa menjabat tangan Umar. “Mengganggu lama juga tidak apa-apa, Pak Kasat. Oh, iya. Silakan duduk.” Umar duduk di sofa panjang di seberang meja berhadapan dengan Mahesa. Wajah polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi itu kini tampak menegang. Hal itu membuat Mahesa penasaran. Saat ini ia sedang tidak menangani kasus kriminal. Ia hanya sedang menangani kasus perdata pengusaha tambang timah. Kasus itu masih bergulir di lingkar perdata dan belum berubah menjadi pidana. Jika seorang Kepala Satuan Reserse Kriminal yang datang langsung, itu artinya ada sesuatu yang serius. “Kopi, Pak Umar?” tanya Mahesa berbasa-basi. “Boleh.” Mahesa mengalihkan pandangannya pada Farah yang masih setia berdiri di samping sofa menunggu perintah sang bos. “Bu Farah, tolong buatkan kopi hitam dua ya. Tanpa gula.” “Baik, Pak.” Farah segera menunaikan perintah Mahesa. “Pak Mahesa ternyata masih ingat kalau saya suka minum kopi tanpa gula,” cetus Umar. “Kebetulan saya juga tidak suka minum kopi dengan gula, Pak Umar. Kita punya kebiasaan yang sama dalam meminum kopi. Ngomong-ngomong, tumben nih Bapak main ke sini sendirian. Biasanya duet maut terus dengan Pak Kanit.” “Pak Kanit sedang sibuk. Iya, seharusnya dia yang menyampaikan berita ini pada Pak Mahesa, tapi saya ingin menyampaikan sendiri berita ini.” Ucapan Umar membuat Mahesa semakin terpancing untuk segera mengetahui berita yang dibawanya. Ia menunggu kalimat penjelasan Umar dengan penuh antisipasi. “Sebenarnya ada apa, Pak Umar?” “Begini, Pak Mahesa. Kami mendapat kabar dari Sat Reskrim Raja Ampat bahwa adik Anda, Rafandra Tarangga Van Hezkiel, tenggelam ketika melakukan snorkeling bersama tunangannya di gugusan pulau tersebut. Tepatnya di perairan desa Yenbuba. Mereka masih belum menemukan jasad adik Anda sampai saat ini.” Penjelasan Umar langsung menikam jantung Mahesa. Tiba-tiba saja rasa sesak dan penyesalan menghinggapi jiwa dan raganya. Penyesalan karena selama beberapa tahun terakhir ini hubungannya dengan Rafandra tidak harmonis. Keegoisan menjadi pemicu renggangnya hubungan di antara mereka. Beberapa tahun ini juga Mahesa tidak pernah ingin melembutkan hati untuk sekadar mencari tahu keadaan Rafandra. Baik Mahesa maupun Rafandra keduanya mempunyai sifat yang sama keras. Yang Mahesa ingat dan tahu, Rafandra tengah menjalankan perusahaan keluarga mereka. “Bapak bilang dia bersama tunangannya?” “Iya, betul. Tunangannya berada di tempat kejadian saat saudara Rafandra menghilang.” Great! Rafa sudah bertunangan dan aku tidak tahu. Mahesa menahan amarah dalam hati. Adiknya itu benar-benar sudah tidak menganggapnya ada. Ia selalu melakukan apa yang dia mau tanpa memikirkan orang-orang di sekitarnya. Mahesa pun yakin orangtua mereka tidak mengetahui masalah pertunangan Rafandra karena selama ini orangtua mereka tinggal di tanah kelahiran ayah mereka, Rotterdam, Belanda. Sesaat kemudian Farah datang membawa dua cangkir kopi. Sebelum ia meletakkan cangkir-cangkir itu di atas meja, wanita itu mengamati wajah sang bos dan atmosfer di sana yang sudah berubah tegang. “Silakan diminum, Pak,” tutur Farah dengan sopan pada Umar. “Terima kasih, Bu.” Umar merespos dengan cepat, sebelum Farah kembali keluar. “Silakan diminum, Pak,” imbuh Mahesa. “Iya, Pak Mahesa. Anda juga sebaiknya minum dulu supaya tidak tegang dan panik. Saya tahu hubungan Anda dengan Adik tidak baik. Itu sudah menjadi rahasia umum. Maklum, kehidupan crazy rich selalu jadi sorotan publik. Namun, saya yakin Anda sangat terpukul dengan kabar ini,” saran Umar kemudian. Mahesa mengangguk. Rafandra sudah membuat hidupnya hancur berkeping-keping. Rafandra sudah merenggut semua impiannya. Seharusnya ia senang adiknya yang tidak tahu adat itu sudah hilang ditelan gelombang perairan Raja Ampat, tetapi ia tetap tidak bisa terlalu membencinya. Sebarbar apa pun perilaku Rafandra, Rafandra tetaplah adiknya. Setelah berbincang dengan Umar selama beberapa puluh menit, Mahesa berencana untuk mengambil cuti supaya bisa pergi ke Raja Ampat. Ia ingin mengetahui kronologis hilangnya Rafandra secara langsung dari orang-orang terdekat Rafandra. Ia masih tidak habis pikir perenang hebat dan penyelam handal seperti adiknya bisa tenggelam. ○○○ "Yakin lu mau terbang ke Raja Ampat sore ini juga?" tanya Bima, sahabat sekaligus rekan kerjanya di firma hukum ketika Mahesa mengungkapkan keinginannya. "Gue perlu kejelasan tentang kematian Rafa. Gue masih belum percaya Rafa sudah nggak ada, Bim. Gue perlu ketemu tunangan adek gue itu. Gimana ceritanya adek gue sampai bisa ngilang tanpa jejak gitu? Secara, dia perenang hebat." Mahesa menatap jalanan ibukota yang sedikit padat siang itu dari balik kaca jendela ruang kerjanya. "Elu enggak bisa pergi sendiri ke sana. Emosi elu nggak stabil kalau kayak gini. Gue tahu meski elu berusaha tegar saat ini, tapi di dalam sana ...." Bima menunjuk ke arah dada Mahesa. " Elu pasti nangis. Gue ikut elu ke sana.” "Gue nggak mau ngerepotin elu, Bim. Gue berangkat sendirian saja. Siapa tahu gue bisa bantu penyidik di sana.” Mahesa berusaha menolak tawaran Bima. Selama ini Bima selalu menjadi bagian dari cerita hidupnya. Pria berkulit sawo matang dengan rambut plontos ala Vin Diesel itu selalu siap membantunya. Namun, kali ini Mahesa tidak mau merepotkannya. Bima sedang menangani kasus besar. Ia tidak mau mengacaukan pekerjaan sahabatnya hanya karena ia butuh teman. "Eh, denger ya. Gue nggak mau ditolak. Elu pikir bantu penyidik itu mudah. Elu perlu partner yang handal kayak gue, Man," pangkas Bima. "Gue tahu, Bim. Pekerjaan kayak gitu kerjaan monoton. Pekerjaan tanpa penghargaan, berbahaya, dan penuh konfrontasi yang menantang kestabilan mental. Kalau elo mau ikut gue, terima kasih banyak. Kita berangkat sore ini." Akhirnya Mahesa menyerah. Disadarinya atau tidak, ia memang selalu membutuhkan sosok Bima di kala kestabilan emosinya dipertaruhkan. "Essa gimana? Elu mau ninggalin Essa sama asisten rumah tangga lu?" Bima mengingatkan Mahesa akan putri semata wayangnya. "Tadi gue ngabarin Alaric soal Rafa. Dia dan Andra minta Essa tinggal sama mereka sementara kita cabut ke Raja Ampat. Elu kan tahu sendiri Andra sayang banget sama Essa." Mahesa tersenyum tipis membayangkan wajah wanita yang sempat singgah di hatinya. "Elu masih berhubungan sama mereka?" Dahi Bima berkerut dan memandang heran Mahesa. "Elu pikir karena Andra balikan sama Alaric terus gue harus musuhin mereka, gitu? Gue harus marah sama mereka? Unfaedah banget. Sakit sih iya, tapi gue milih jadi temen mereka daripada memusuhi mereka. Berfaedahkan. Mereka bisa dititipin Essa sekarang?" “Azas manfaat lu.” “Ya, harus.” Berbekal keterangan dari Umar, sore itu juga Mahesa dan Bima pergi ke Raja Ampat. Perasaan tak menentu dirasakan pengacara berwajah maskulin itu. Antara marah sekaligus sedih bergelung dan berkecamuk di hatinya. Selama dalam perjalanan Mahesa tak banyak bicara. Dia hanya menatap awan putih dari balik kaca jendela pesawat yang ditumpanginya. Sementara Bima yang duduk di sampingnya sudah terlelap dalam mimpi indah. Sampai di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Mahesa dan Bima melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Sorong. Setelah tiba di sana, Mahesa harus merogoh kocek dalam-dalam karena sarana transportasi air sudah tidak beroperasi pada jam malam. Ia harus menyewa sebuah helikopter untuk sampai di desa yang dituju. Sungguh perjalanan yang memerlukan perjuangan ekstra. "Kenapa elu nggak pake fasilitas bokap lu aja sih sampe harus sewa heli begini?!" Bima sengaja sedikit berteriak lantaran suaranya harus bersaing dengan suara mesin dan baling-baling meskipun sudah memakai headphone. "Gila lu, Bim. Gue udah segini gede masih harus ngandelin fasilitas bokap? Gue bukan anak yang enggak tahu diri, Bim!" Mahesa pun berbicara dengan nada yang sama tingginya. "Tapi ini kan demi anaknya juga. Adek elu, Hes." "Oh iya, Bokap sama Nyokap tiri gue jangan dikasih tahu dulu ya sampai gue dapat kabar yang pasti." "As you wish, Bro." Tiba di desa Yenbuba di pulau Mansuar, Mahesa dan Bima segera menuju sebuah homestay yang ditunjuk Umar dalam keterangannya tadi siang. Penerimaan yang ramah dan kooperatif dari pemilik dan karyawan homestay membuat Mahesa dan Bima merasa lega. Salah satu karyawan mereka yang merupakan anak asli Papua bersedia mengantar Mahesa dan Bima ke bungalow yang ditempati tunangan Rafandra. Melewati jalanan berpasir yang diterangi cahaya lampu dari bohlam yang sengaja digantung berjauhan di sepanjang jalan lantaran minimnya listrik, ketiganya berhasil mencapai barisan bungalow yang berdiri di tepi pantai di atas air laut. Bungalow-bungalow yang berdinding dan beratap daun nipah kering serta bambu itu tampak eksotis tertimpa sinar bulan. Mahesa tidak sabar untuk melihatnya di siang hari nanti. Karyawan homestay itu mengetuk pintu pelan dan penuh kehati-hatian. Ia tahu wanita yang berada di dalam kamar itu sedang bersedih karena baru saja kehilangan orang yang dicintainya. Tidak lama, seorang wanita bergaun hijau sebatas lutut dan tanpa lengan yang menyanggul rambut cokelat sembarangan membuka pintu. Mahesa tersentak melihat wajah wanita itu. Meskipun wajah cantiknya dihiasi airmata dan terlihat sangat kacau, dia ingat betul siapa wanita yang berdiri di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD