Enam

1846 Words
Mata Jo masih fokus pada bibir ranum milik Sena. Setan dalam hatinya terus berteriak. Cium Jo! Cium! Ayo! Rasakan sensasinya! Jo memberanikan diri makin mendekat, tapi tiba-tiba sesuatu menghentikan aksinya. DUK!!! Dengan sengaja Sena membenturkan dahi mereka cukup keras. "Aduh!" Jo menjerit kecil sambil mengusap dahinya. Sena menatapnya sangar. Dan akibat tatapan yang sangat menakutkan itu, ambyar sudah khayalan tingkat tingginya Jo. "Apa lo? Mau ngapain tadi?" "Ngapain apanya? Gue cuma itu, anu, itu kok, cuma-" "Nyari kesempatan ya? Dasar bodoh!" ucap Sena lagi sambil menoyor kepala Jo. "Dih, enggak kok, siapa bilang? Lagi pula siapa yang tertarik padamu? Udah galak, cerewet, tukang marah, tukang noyor kepala juga, dih, yang ada gue jantungan tiap hari!" "Baguslah, lagian gue juga gak bakalah suka sama cowok cengeng dan manja kayak lo!" "Kak, ini obatnya!" Suara Diwan membuat mereka berdua berhenti berdebat. Keduanya nampak canggung. "Sini!" Sena mengambil obat dari tangan Diwan. Lalu pergi keluar. Jo meringis dan masih mengusap-usap dahinya, lalu mendekat ke arah Diwan. "Wan, kakak lo mau kemana?" "Kerja." "Lagi?" "Iya, kan kakak tahu, Kak Sena hari sabtu gini pasti ke toko klontongan." "Oh, gitu. Kok gue gak diajak? Kan kemarin-kemarin kalo dia mau ke toko suka bareng gue." "Gak tahu, Kak. Kenapa kakak gak ngomong kalo kakak mau ikut?" Masalahnya gue hampir mencium kakak lo tadi. Jo gak berani bilang. Ah sial! Kenapa otaknya jadi gesrek begini ya? Padahal sudah sebulan ini tinggal sama Sena dan Diwan, Jo tak pernah lagi main perempuan. Dan baru kali ini melihat Sena tersenyum padanya, jiwa kelelakiannya meronta-ronta. Jo meraba dadanya. Tuh kan? Mengingat Sena tersenyum seperti tadi, jantungnya kembali berulah. Berdegup kencang, tapi sangat menyenangkan. Duh, rasanya Jo ingin membawa Sena pergi ke tempat yang indah, lalu membuat gadis itu terus tersenyum padanya. Dunia Jo serasa melayang. "Kak?" Ah, atau Jo membawa Sena naik motor dengan kecepatan tinggi, lalu Sena memeluknya erat. Ugh, Jo akan merasa jadi pria yang paling hebat. "Kak Jo?" Atau yang lebih keren dari itu, Jo akan membawanya ke sebuah pulau kecil yang indah. Ya, Jo akan menyiapkan helikopter khusus untuk mereka berdua, aish! Indahnya. "KAK JONATHAN!!!" "WOY!!! APAAN SIH?!" Jo terperanjat kaget, khayalannya ambyar seketika. "Kak Jo melamun ya?" Diwan menatap curiga. Jangan bilang kalau pria di depannya ini mulai tertarik pada kakaknya? "Eh, apa? Eng-enggak kok." "Dipanggil kagak nyahut-nyahut juga?" "Kali aja lo manggilnya kayak orang baca mantra, ya kagak dengerlah gue!" Diwan mengerutkan keningnya. Benarkah dia seperti baca mantra? Tapi perasaan, ia berteriak tadi. Entahlah, Diwan mengangkat bahu. *** "Ini untuk bulan kedua," Renata menyodorkan amplop coklat pada Sena. Ya, gajinya yang kedua kali dalam mengurus Jo. Tapi Sena belum juga mengambil uang itu. Bukannya sombong dan tidak butuh, tapi rasanya ia menjadi orang jahat yang menipu Jo. "Kenapa? Apa jumlahnya kurang?" tanya Renata dengan wajah heran. "Bukan seperti itu, Nyonya. Tapi ..." "Ah, atau putraku berbuat macam-macam?" "Tidak, Nyonya. Hanya saja ..." "Begini, aku mengerti kalau kau merasa terbebani dengan Jo. Tapi sejauh pemantauanku selama ini, Jo banyak berubah. Yah, Jonathan-ku banyak berubah. Dia mau bekerja, meski kadang aku tak tega melihatnya membawa karungan beras yang menguras tenaga itu. Tapi aku senang, dia jadi tidak terlalu kolokan dan sedikit tahu tentang sulitnya kehidupan." "Ah, maafkan saya Nyonya! Dari awal sudah saya bilang jika kehidupan saya memang seperti ini." "Tidak perlu minta maaf, Sena. Justru aku senang dengan perubahan Jo. Jadi kumohon, terimalah Sena! Setidaknya sampai bulan depan. Kau mau kan menolongku lagi?" Sena menghela nafas. Menatap amplop yang ada di hadapannya. "Saya merasa jadi orang jahat yang menipu Jo, Nyonya." "Tentu saja tidak. Justru apa yang kau lakukan lebih dari kebaikan. Kau menggantikan tugasku sebagai orang tuanya." Sena menghela nafas, "baiklah, sampai bulan depan." Renata tersenyum dan memegang tangan Sena, "terimakasih Sena! Dan tolong jaga Jo kami! Dia memang sangat manja, tapi sebenarnya dia anak baik." Sena hanya mengangguk dan tersenyum. Renata meninggalkan Sena yang masih duduk. Amplop coklat itu juga masih tergeletak di atas meja. Dengan ragu-ragu, Sena mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tas. Mata Sena melirik jam di tangannya. Sudah waktunya ke toko. Sena bangkit dan segera meninggalkan tempat itu. Batinnya sedikit berperang. Antara memakai uang ini atau tidak. Apalagi sebentar lagi masuk ajaran baru. Ini artinya ia harus membayar uang semesteran dan juga biaya biaya awal tahun adiknya. Belum lagi Diwan tahun ini masuk kelas 12. Ini artinya pengeluaran tahun ini cukup besar. Dengan dalih kepepet, boleh mungkin ia pakai dulu. Nanti kalau dirinya sudah mapan, ia berjanji akan segera menggantikannya. "Sen, jangan ngelamun! Itu angkut dus air minum ke dalam!" Perintah Bu Astri membuyarkan lamunan Sena. "Oh, iya, siap, Bu!" Sena bangkit dan berjalan menuju mobil box. Saat tangannya menjulur hendak mengambil kardus, tangan lain mendahuluinya. Tatapan Sena beralih pada Si Empu tangan yang mengambil alih kardus yang ia ambil. "Lo? Ngapain kesini?" tanya Sena dengan nada ketus. "Harusnya gue yang nanya, napa lo ke toko gak ngajak-ngajak?" jawab Jo tak kalah ketus. Lalu pria itu mulai mengangkut kardus-kardus itu. "Tumben datangnya gak barengan Jo?" "Eh, iya, Bu. Tahu nih Sena, main tinggal saja." "Eh, salah siapa lo malah bikin ulah di pagi hari!" "Lo yang salah! Lihat siapa yang bikin tangan gue jadi melepuh kayak gini coba?" "Sudah-sudah! Malah ribut kalian! Ayo kerja lagi! Jo, tolong bereskan barang belanjaan ibu ini!" Jo dan Sena saling menatap sengit. Lalu pria itu mengangguk sopan pada ibu-ibu super menor yang menatapnya dengan tatapan memuja. "Duh, gini nih enaknya belanja di tokonya Bu Astri, dilayanin sama cowok keren kayak gini. Coba kalo tajir dikit, udah saya pepet dijadikan selir!" "Ah, Sis bisa aja, hehe. Dia masih anak-anak," jawab Bu Astri sambil tersenyum. Memang sih, sejak Jo ikut Sena kerja di sini, pelanggannya makin banyak. Bukan hanya ibu-ibu genit saja, tapi juga banyak para gadis yang malah sengaja membeli ke tokonya hanya untuk bersenda gurau dengan Jo. Bisa dibilang, anak itu pembawa hoki. Omset penjualannya naik berkali lipat sejak Jo datang. Walaupun yah, dia harus menahan mual saat Jo digoda oleh tante-tante. Atau keributan yang terjadi antara Jo dan Sena setiap hari. Kedua anak itu seperti kucing dan anjing. Selalu saja ada yang diributkan. Entah apa itu. Bahkan hal sepele seperti air minum Sena yang diambil oleh Jo. "Lo ambil sendiri kek, ngapain ngambil punya gue, bodoh?" "Ck, mana gue tahu ini punya lo? Lagian ini tergeletak begitu saja di meja. Gue haus, ya minum!" "Kembalikan!" "Enggak!" "Siniin Jo!" "Ambil saja kalo bisa!" Jo mengangkat tinggi-tinggi botol minum milik Sena. Sebenarnya sih, bukan botol minum mahal. Bahkan itu hanya botol bekas teh manis kemasan yang Sena cuci dan ia jadikan tempat air minumnya saat kerja. Dan sialnya kaki Sena terlalu pendek. Ia menyerah. Matanya menatap sengit ke arah Jo. "Heh! Kolor Jojon! Awas lo ya? Gue gak akan kasih lo makan!" Jo kaget, "mana bisa begitu? Gue kan sekarang ikut nyumbang biaya makan juga?" "Gak ada jatah makan pokoknya! Titik." "Sena! Kok lo gitu sih?" Sekarang giliran Jo yang mengikuti Sena sambil memohon-mohon. Mereka baru berhenti ribut saat pelanggan berdatangan lagi. Bu Astri hanya menggelengkan kepala. Dua bocah berisik tapi pembawa berkah bagi tokonya. Kuatkan mental dan telinga saja. Dan kesibukan itu seperti tak ada hentinya. Pelanggan terus berdatangan. Sebagian besar wanita. Yang paling membuat Sena mual adalah saat Jo malah melayani gadis-gadis genit yang menggodanya. Jo malah sengaja cengar-cengir sambil tebar pesona. Sambil sesekali melirik Sena yang memasang tampang masam. "Heh! Ramah dikit 'napa? 'Ntar pelanggan pada lari lihat wajah asem lo!" bisik Jo dengan sedikit menyenggol sikut Sena. "Ck, diem lo! Gaya lo kayak cowok hidung belang aja," jawab Sena ketus. "Lo cemburu ya?" Bisik Jo lagi. Wajahnya masih memasang senyum meladeni pelanggan yang memesan gula pasir. "Ada lagi, Mbak?" "Ada, pesen hati Masnya boleh gak?" "Waduh, metong dong saya? Jangan ambil hati saya lah, ambil saja separuh nafas saya," jawab Jo sambil mengedipkan sebelah matanya. Si Mbak-mbak langsung merona. Tangan Jo menyenggol lengan Sena lagi, ia berbisik tanpa mengalihkan pandangannya dari Mbak tadi, "Sen, lo cemburu kan? Tuh lihat! Ini cewek ke 20 yang jatuh dalam pesona gue!" ucap Jo dengan bangga. "Idih, amit-amit! Pacar bukan, teman bukan, lo itu cuma parasit menyebalkan dalam hidup gue!" bisik Sena sambil memasukkan barang belanjaan pelanggan dalam kantong plastik. "Parasit, tapi tampan kan? Jujur aja deh lo!" ucap Jo lagi. Kali ini pelanggan sudah mereka layani semua. "Ternyata benar! Kamu di sini!" terdengar suara seseorang. Jo masih hendak menggoda Sena, tapi tatapan Sena fokus pada seseorang yang baru datang itu. Cantik seperti barbie. Bahkan Sena yakin, seumur hidup, baru kali ini melihat gadis sesempurna itu. "Sen, lo kenapa?" Dagu Sena mengarah ke belakang Jo. Dan betapa terkejutnya Jo saat tahu siapa yang datang. "Kamu?!" ucap Jo dengan nada terkejut. Tapi kemudian, ia tenang lagi. "Awalnya aku gak percaya kalau kamu benar-benar di sini. Tapi aku penasaran dan melihatnya sendiri." "Ya, ini aku. Jonathan. Kenapa? Kaget? Yah, aku memang sedang jatuh miskin." "Jo, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Tanya gadis barbie itu. "Ceritanya panjang. Untuk apa kamu kesini? Aku sedang sibuk." "Jo... kamu kok gitu? Aku kangen tahu!" Jo melirik Sena yang mulai menampakkan wajah kesal lagi. Entah kenapa Jo sangat senang melihat Sena bermuka muram saat dirinya menggoda wanita lain. Dan ini kesempatan untuk mencari tahu seberapa peduli Sena padanya. Dan Jo punya keyakinan, Sena pasti tengah cemburu padanya. "Ekhm, kamu merindukanku?" tanya Jo. Sudut matanya melihat Sena sibuk membereskan uang dalam laci. "Tentu saja, Jo. Jalan yuk?" "Ah, bentar deh, aku kenalin dulu sama seseorang. Sen! Sini dong!" "Apa?" jawab Sena ketus. Matanya masih fokus pada uang lembar dua ribuan lecek yang ia rapikan. "Sini lo!" Jo menyeret paksa lengan Sena hingga gadis itu hampir kejedot etalase. "Apaan sih lo?" "Kenalin, ini Sena. TTM aku. Teman tapi mesra. Dan Sena, kenalin ini mantan calon tunangan gue. Namanya Femina." Sena melotot. Apa? TTM? Apa otak Si Kolor Jojon itu sedang kerasukan? "Hai Sena! Aku tahu, Jo memang player. Tapi calon istrinya cuma aku." "Mantan calon, Fem. Mantan!" Jo mengoreksi. "Kok mantan sih sayang?" rengek Femina dengan nada manja. Iwh, bikin Sena makin mual saja. Cantik sih, tapi jika merengek seperti ini, malah ancur pamor cantiknya itu. "Iya kan mantan? Sebab aku bukan anak Papi lagi." "Mak-maksudnya apa Jo?" "Aku diusir dari rumah." Femina menutup mulutnya tak percaya. Ini tidak mungkin, bukankah Jo adalah anak kesayangan Om Abimanyu dan Tante Renata? "Dia anak durhaka, kalau kamu mau tahu, calon tunangan Jojo, ah ralat, mantan calon ya?" ucap Sena, lalu ia meninggalkan pasangan aneh itu. Mantan calon? Apaan itu? Dasar orang-orang kaya aneh! "Jo, katakan apa yang terjadi?" tanya Femina menatap Jo dengan khawatir. "Ck, aku juga gak tahu. Udah ah, aku masuk dulu! Yang gantiin aku udah datang!" jawab Jo lalu masuk ke dalam. "Jo! Tunggu!" teriak Femina, tapi tidak didengar oleh Jo. Kening Femina berkerut. "Ini aneh sekali. Kenapa Jo diusir? Dan lebih aneh lagi saat Oma Deswita membiarkan cucu kesayangannya berkeliaran di tempat kumuh begini?" Femina terus berpikir, ini pasti ada maksud lain. Femina bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD