4

1977 Words
Hari yang melelahkan. Matahari bersinar sangat terik di atas kepala. Polusi udara juga masih setia menambah buruk siang hari di Jakarta. Tapi itu tak sedikit pun menyurutkan semangat Sena untuk bekerja. Ya, dia baru pulang dari kampus dan saat ini ia menuju tempat kerjanya. Hari ini Sena tidak ke toko, melainkan ke warteg saja. Sebab saat hari kuliah, majikannya di toko klontongan membolehkan tidak bekerja. "Eh lo Sen, tumben udah dateng?" Riri, rekan kerjanya yang senang bersolek itu menghampirinya. "Iya, kebetulan aja jam terakhir dosennya gak ada. Jadi gue bisa datang lebih cepat ke sini." "Sena!" Sena dan Riri menoleh ke sumber suara dari dalam warteg. "Mbok Surti manggil tuh!" "Iya, paling juga nyuruh nyuci kangkung. Ya udah, gue ke dalem dulu ya? Mau ganti baju." "Eh Sen, lo gak mau dandan gitu, buat narik pelanggan. Atau setidaknya lo bisa gaet pelanggan cowok yang keren-keren, siapa tahu jodoh." "Ah lo, kayak gak tahu gue aja, mana bisa gue pake kayak gituan?" "Mau gue dandanin?" "Ogah, kagak biasa. Gak nyaman gue!" "Lah, emang lo ya, cuek banget. Kalo gue punya wajah kayak elo, udah dandan tiap hari deh! Gue yakin, cowok antri buat dapetin gue." "Jodoh gak dateng dengan make up, Riri sayang! Tapi karena takdir." "Ya setidaknya lo jemput bola lah, pake lipstik dikit kek." "Sena!!" "Wah, teriakannya makin kenceng tuh! Udah ya, lo lanjutin lap mejanya, oke?" Buru-buru Sena masuk ke dalam. Dan Riri kembali asyik melap meja sambil melempar senyum genitnya pada tukang cilok muda yang lewat ke depan warteg. Ternyata benar, kangkung yang sudah disiangi menunggu untuk dicuci. "Cuci yang bersih ya? Habis itu, ambil daging yang masih di lemari es." "Siap, Mbok!" Dengan cekatan Sena mencuci sayuran hijau itu. Pekerjaan yang biasa ia lakukan. Mencuci sayur, mengiris bawang atau kalau warung sedang rame, ia ikut menyajikan makanan ke depan, atau ngangkut belanjaan dari mobil. "Gimana udah ready semua? Udah ada pelanggan yang parkir di depan." Sang Pramusaji alias Riri datang ke dapur. Memeriksa beberapa menu yang sudah siap disajikan ke depan. "Angkut menu-menu yang sudah matang!" jawab Bu Retno, Sang Koki utama. "Siap, komandan!" Dengan cekatan, Riri memindahkan menu makanan yang masih mengeluarkan asap itu ke meja depan. Sebuah meja panjang yang terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama berisi osengan dan sayur berkuah di ujung meja. Sedang tingkat kedua diisi dengan berbagai pepes dan gorengan. Ah, ada juga meja paling depan, khusus diisi dengan daging dan ikan yang siap digoreng atau dibakar dadakan. Sedangkan Sena masih sibuk di belakang bersama Mbok Surti. Mengiris bawang sampai matanya berair. "Sen, ada yang nyari tuh!" Riri kembali ke belakang dan menghampiri Sena. "Siapa? Adek gue?" "Bukan! Dia cakep lho, walau agak resek sih, siapa dia, Sen?" "Lah, gue juga gak tahu, siapa dia?" "Masa? Jangan bohong lo! Dia bilang dia pacarnya lo?" "Pacar? Orang gila kali! Gue gak punya pacar!" "Kalo gak percaya, sono temuin dulu! Kalo lo gak mau, buat gue boleh ya? Ntar mau gue pepet dah!" "Serah lo!" Sena membuka celemek yang terpasang di badannya. Siapa yang mencarinya ya? Sebelum Sena menemui orang itu, terlebih dahulu ia minta ijin ke Mbok Surti yang masih anteng ngulek bumbu. "Mbok, saya ijin keluar dulu ya?" "Kemana? Lah kan baru masuk kerja? Kenapa udah keluar lagi?" "Bukan keluar warteg, Mbok. Tapi keluar dapur, Riri bilang ada yang nyari saya di depan." "Oh, kirain! Ya udah sono! Kali aja dapet kabar bagus, semisal menang hadiah atau uang kaget gitu, ntar bagi-bagi sama Si Mbok ya?" "Pasti Mbok, kalau ada uang kaget, ntar aku kasih separo ke Mbok deh." "Cah pinter! Udah sono keluar!" Sena hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ibu 55 tahun itu memang selalu membuatnya tersenyum. Rekan kerja yang mengasyikkan walau sudah tak muda lagi. Mbok Surti sudah lama bekerja di warteg ini hingga ia mampu menyekolahkan anaknya meski hanya sampai SMA. Katanya sih, yang penting punya modal buat masuk ke pabrik. Minimal punya ijazah SMA juga sudah cukup. Terdengar sedikit keributan di depan sana. Ada apa sih? Sena mendekat. Dan matanya melonjak hampir keluar, melihat siapa yang datang. Yah, Jo. Si anak manja itu. Dia sedang duduk dengan songongnya di kursi pelanggan. Kakinya diangkat ke atas meja. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan kesal. "Lo, ngapain ke sini?" "Gue mau makan!" "Heh! Kalau mau makan di sini, bayar!" "Busyet! Masa gue harus bayar? Kan lo kerja di sini! Setidaknya lo punya jatah makan kan? Nah, kasih ke gue!" "Dih, minta atau ngerampok lo? Enak aja! gak bisa! Pergi sono!" Sena menarik baju Jo dan mendorongnya keluar. "Heh, gadis barbar! Benar-benar ya? Lo gak punya perikemanusiaan sama sekali! Gue lapar! Butuh makan tahu!" Sena membuang muka, lalu berpangku tangan sambil menatap tajam ke arah Jo. "A-apa?" Jo tergagap. Sumpah, ternyata Sena bisa jadi sangat menakutkan seperti ini. "Lo punya uang?" "Belum." "Jawab yang jelas, anak manja! Lo punya uang?" "Enggak!" Jawab Jo dengan kesal. "Pergi dari sini!" "Lah, kok diusir lagi sih? Lo dikasih makan di sini kan?" "Tentu saja." "Gue minta jatah lo dong!" "Lo mau dapat uang?" "Gue bisa dapat uang kok, mudah, tinggal minta ke ..." "Lo mau dapat uang?!" tanya Sena dengan menaikkan nada suaranya beberapa oktav. "Iya, mau. Gue mau dapat uang. Ya, gue butuh uang. Puas lo?" "Bagus! Lo mau tahu gimana caranya?" "Gue tahu. Tinggal minta ke ... " "Kerja!" "Apa?" "Kerja. Kalau lo mau dapat uang, ya harus kerja." "Iya gue tahu, dodol! Tapi asal lo tahu ya, gue gak perlu kerja juga nanti bisa kaya raya." "Jangan mimpi, anak manja! Gak kerja sama dengan gak ada uang. Gak ada uang sama dengan gak makan." "Njir! Sadis lo! Gak makan, mati dong!" "Ya mau gimana lagi, lo pilih aja. Kalau mau makan ya cari uang. Kalau mau uang, ya kerja." "Sen, lo bantuin gue dong! Sekali ini saja. Lo tahu? Gue belum makan dari tadi pagi. Masa lo tega sih?" "Amnesia ya lo? Yang ngabisin nasi goreng gue siapa?" "Ya kan itu cuma sarapan. Gue belum makan beneran." "Sudah ah, pulang sana! Gue mau kerja," jawab Sena sambil bersiap pergi. Tapi Jo memanggilnya lagi. "Sena!" "Apa lagi?" "Sen, gue tahu kalau gue gak punya uang. Tapi gue janji ntar gue bayar deh kalau sudah punya uang, ya, ya?" "Enggak. Sekali enggak ya enggak." "Ck, pelit amat sih!" "Mau punya uang?" "Iya, iya, iya, gue udah denger dari lo ratusan kali, mau uang gue harus kerja! Puas lo?!" "Begitulah, hidup gak semudah pikiran lo, bocah! Enak aja main minta!" "Njir, lo ngatain gue bocah!" "Yang tahu minta uang siapa lagi kalau bukan bocah? Adek gue aja yang masih SMA udah bisa nyari uang." "Ha? Adek lo?" "Iya. Udah ah, gue mau kerja lagi!" Sena hendak masuk lagi ke dalam. Tapi Jo buru-buru menahan lengannya. "Sen, Sen, tunggu-tunggu! Jangan gitu dong! Okelah, gue mau kerja. Tapi bantuin lo aja ya? Boleh?" "Gue bukan bosnya. Gak bisa nerima karyawan sembarangan." "Bantuin apa aja deh, yang penting gue dapet makan aja dulu." Sena diam, "serius?" "Iya, serius gue laper banget ini. Seharian bersihin kontrakan lo yang kumuh itu." "Lo udah bersihin kontrakan?" "Iya, bener kok, gue lap semua sampai bersih banget pokoknya," jawab Jo bersemangat. "Ya udah, lo bantu gue ngangkut belanjaan dari mobil!" "Oke, siap!" Sena meminta ijin pada Bu Retno. Awalnya Bu Retno menolak bantuan Jo, sebab wartegnya belum butuh karyawan tambahan. Tapi Sena berhasil meyakinkan Bu Retno kalau Jo cuma minta makan gratisan sebagai upahnya. "Ini isinya apaan sih? Berat banget nih karung." "Itu kentang, masa berat? Paling cuma 15 kilo. Cemen lo!" Jo menggerutu pelan. Seumur-umur belum pernah ia menjadi kuli panggul kayak gini. Mana upahnya cuma makan doang lagi. Lima karung dari mobil sudah dikeluarkan. Jo melap keringat yang mengucur dari dahinya. Sena sedikit melirik dengan ekor matanya. Kasihan juga nih anak! Ia lalu bangkit dan mengambil seporsi makanan ke atas piring. "Apaan itu?" Jo menatap heran pada menu yang dibawa Sena. "Ini namanya nasi pake sayur lodeh. Makan!" "Makan kayak ginian? Gue kan udah kerja tadi. Masa dikasih yang ginian sih? Ada steak gak?" Sena menoyor pelan kepala Jo. "Ck, mimpi lo! Mana ada steak di warteg ini! Lagian juga udah untung lo diterima ama Bu Retno. Udah bersyukur dapet jatah makan juga!" Jo menatap aneh pada menu yang diberikan Sena padanya. "Ini apa?" tanyanya sambil menunjuk benda yang mirip ikan tapi sangat-sangat gosong itu. "Itu namanya ikan asin, bodoh!" "Ikan asin? Kok gosong?" "Bukan gosong! Tapi emang kayak gitu tampilannya. Makan aja kenapa sih?" "Kalau jatah lo mana?" Sena berdecak sebal, ia lalu mengambil lagi jatah makan untuknya. "Nih, sama kok. Ini jatah buat karyawan. Ntar kalo warteg tutup dan masih ada sisa menu. Lo boleh ambil!" "Masa? Gue mau ayam goreng, Sen!" "Ya belilah! Kalo enggak tunggu aja sampe jam 9 malam nanti. Dan berdoa semoga ayamnya sisa. Tapi kalau Bu Retno tahu, bisa dipecat lo!" "Sadis amat ya?" "Namanya juga kerja. Kalau gak bisa nurut sama majikan ya ditendang lah, apalagi yang butuh kerja banyak banget." Jo malah menatap ragu pada piring di depannya. Lalu melirik punya Sena. "Apa lo? Lihat-lihat piring gue?" Sena sudah memasukkan satu suap ke mulutnya. Jo menatap ngeri saat Sena mulai mengunyah makanannya. Ikan gosong itu dimakan juga sama Sena? Tiba-tiba Jo mengambil piring Sena. "Heh! Apa-apaan lo?!" "Tuker ya? Punya lo lebih enak kayaknya!" "Ck, ish!" Sena tidak jadi memaki. Bu Retno menghampiri mereka berdua. "Sena, kalau temen kamu giat bekerja, boleh kok besok kerja lagi ke sini." "Mm, maaf, Bu. Apa nanti bayaran teman saya hanya makan gratis lagi?" "Haha, enggaklah Sen! Saya juga profesional. Dia akan dapat bayaran yang sesuai kok." Jo yang dari tadi asyik dengan eksperimen nyoba-nyoba makanan di piringnya langsung mendongak. Menatap Bu Retno. "Serius saya bakalan dapat uang, Bu?" "Iya, asal kamu rajin kayak Sena. Tekun dan gak banyak protes." "Wah, terimakasih, Bu!" "Ya, sama-sama. Ayo lanjutkan makannya! Nanti jam 4 sore bantu kirim nasi dus ke pelanggan." "Siap, Bu." Sepeninggal Bu Retno, Jo menepuk dadanya dengan bangga. "Lo lihat? Semudah itu kan gue dapet kerja? Makanya jangan remehin gue!" "Ck, sombong lo!" "Bukan sombong, tapi fakta. Di dunia ini gak ada yang bisa nolak pesona gue! Ntar deh, kalo gue gajian pertama, gue akan traktir lo sama adek lo makan yang enak." Sena mencibir, "emang lo tahu bakal dapet gaji berapa?" "Tenang aja. Gajinya pasti gede lah, kalau lihat dari cara kerjanya sih kayaknya sekitar 3 sampai 5 juta lah." Sena menoyor kepala Jo, "mimpi lo ketinggian bocah!" "Lah, emang iya kan?" "Lo, kerja cuma bantuin ngambil-ngambil barang doang pengen gaji segitu? Mimpi!" "Emang berapa?" "Lo lihat aja ntar, lewat satu juta juga udah untung." "Njir, tenaga gue terkuras cuma dapet segitu?!" "Gak mau juga gak apa-apa." Sena bangkit dan kembali sibuk di dapur. Sementara Jo masih melongo tak percaya. Apa? Dapat sejuta udah untung? Gila! Padahal tenaganya terkuras hampir serasa mau mati. Kehidupan macam apa ini?! Coba kalau ayahnya gak mengusir dia, beuh, uang sejuta gak ada apa-apanya. Paling dia pake buat ngejajanin gebetannya. Itu juga masih kurang. Baju wanita kadang harganya melebihi harga perhiasan ya? Tapi ya berhubung uangnya banyak saat itu, ia gak masalah. Jo mengusap wajahnya. Bisa mati perlahan jika ia terlalu lama hidup di lingkungan ini. "Jo! Cepet bantu angkut barang-barang ini! bengong aja lo!" "Eh kadal buluk!!" Anjir, hampir Jo mengumpat saking kagetnya mendengar lengkingan ibu tua yang tiba-tiba berdiri di depannya. "Apa lo bilang? Kadal buluk?! Bocah edan! Orang tua dipanggil kadal buluk!" "Ma-maaf, Bu. Saya suka latah kalo kaget." "Panggil Mbok Surti! Bukan ba-bu ba-bu, gue bukan emak lo bocah!" Jo meringis. Di belakang Mbok Surti, Sena berdiri sambil menahan tawa. Si Mbok mulai nge-ospek anak baru rupanya. Mata Jo menatap kesal ke arah Sena, seakan mengisyaratkan 'apa lo?' Sedang Sena hanya mengangkat bahu cuek sambil berjalan melewatinya. Saat mereka berdekatan, Sena berbisik pelan tapi tegas. "Selamat datang di neraka, Tuan Jonathan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD