Bab 12

1026 Words
Malam itu, lampu-lampu pesta bergemerlap. Musik lembut mengalun di antara gelak tawa tamu undangan. Ali melangkah mantap mengenakan setelan jas hitam, sementara di sampingnya, Amira berjalan anggun dalam balutan gaun warna salem yang jatuh lembut membentuk siluet tubuh rampingnya. Pashmina senada dibalutkan manis di kepalanya, menambah kesan anggun dan memesona. Semua mata langsung tertuju pada pasangan itu saat mereka memasuki ballroom. “Masya Allah… cantik banget, ya, istri barunya Ali,” bisik seorang tamu wanita kepada temannya. “Iya, kayak artis! Gimana ya caranya bisa dapet empat istri yang semuanya cakep begitu?” Amira mendengar bisik-bisik itu. Wajahnya sedikit memerah, tapi ia pura-pura tak tahu. Ia menatap lurus ke depan, menjaga sikap. Tapi dalam hatinya, ada rasa geli dan sedikit bangga. Mereka berhenti di dekat panggung utama, di mana Irwan, sang pengantin pria, menyambut tamu pentingnya. “Ali!” seru Irwan sambil menjabat tangan sahabatnya erat. “Selamat datang, Bro. Tapi... kali ini istri yang mana yang kamu bawa? Kok gue belum pernah lihat sebelumnya?” Ali tersenyum, lalu merangkul bahu Amira dengan bangga. “Ini Amira. Istri keempatku.” Mata Irwan langsung membulat, melirik ke arah Amira yang hanya tersenyum tipis sambil menunduk sopan. “Astaga! Keempat?! Gue pikir kamu udah berhenti di tiga!” Ali terkekeh. “Rezeki nggak bisa ditolak, Irwan.” Irwan menggeleng cepat, setengah kagum setengah bingung. “Gila… empat istri, dan semuanya cakep-cakep. Gimana caranya, Bro? Bagi resep dong! Biar gue siap-siap buat nikah lagi—” “CUBIT!” “Aww!” Irwan langsung melompat kecil, meringis sambil memegangi pinggangnya. Istrinya, Lala, berdiri di sampingnya dengan senyum manis tapi mata melotot. “Baru juga akad belum kering, udah mikirin nikah lagi aja kamu, Mas!” semprot Lala. Ali tertawa geli. “Jangan ditiru, Wan. Butuh nyali dan napas panjang.” Amira nyengir kecil mendengar itu. Ia berbisik pelan ke Ali, “Kamu senang banget ya dikenalin sebagai suami empat istri.” Ali menoleh sambil menatap wajah istrinya yang mulai jahil. “Bukan. Aku bangga karena kamu yang ada di sebelahku.” Mendadak, pipi Amira kembali merona. Ia pura-pura melihat ke arah lain, tapi hatinya berdebar tak karuan. Ada rasa aneh di dadanya—semacam geli, malu, dan… senang? Beberapa tamu lain datang menyalami mereka, mengucapkan selamat dan memuji kecantikan Amira. Ia meladeni semua dengan sopan, meski sesekali masih merasa canggung dengan status barunya sebagai istri keempat. Namun malam itu, untuk pertama kalinya, Amira merasa... tidak keberatan digandeng Ali. Bahkan, saat lelaki itu menggenggam tangannya di tengah keramaian, ia membalas genggaman itu. Perlahan, hatinya mulai melembut. Mungkin… hanya mungkin… Ali tidak seburuk yang ia sangka di awal. --- Ali tengah berbincang dengan salah satu koleganya ketika matanya melirik ke arah Amira yang sedang duduk di dekat meja hidangan. Wanita itu tampak ceria, sesekali tertawa kecil sambil menatap gelas minuman berwarna merah muda di tangannya. "Eh itu minuman apa? Kok ada yang berwarna biru, merah, kuning, hijau, ungu, dan pink. Udah kayak pelangi aja!" Pelayan baru saja meletakkan beberapa minuman warna-warni di meja, dan Amira, yang sejak tadi tertarik melihat penampilannya yang cantik dan menggoda langsung mengambil satu gelas yang berwarna pink dan menyesapnya perlahan. “Hmm, enak juga...” gumamnya pelan. Rasanya manis, sedikit pahit di ujung, tapi segar. Satu gelas pun habis. Penasaran dengan yang berwarna biru, ia pun mengambil satu gelas lagi. Tak lama kemudian, tubuh Amira mulai terasa ringan. Bumi yang dia pijak seolah berputar pelan. Ia bangkit dari duduknya, tertawa sendiri, lalu berjalan mendekati Ali dengan langkah yang sedikit goyah. “Abi... Aaaabii... Tahu nggak? Tadi Mira minum, minuman yang warna-warni, lucuuu banget yaa... Kayak pelangi!” ujar Amira sambil menunjuk ke atas meja makanan, matanya berbinar tak fokus. Ali yang melihatnya langsung pasang alis. “Mira?” panggilnya heran. Amira malah tertawa. “Abi suka yang warna apa? Mira udah coba yang warna pink, lalu coba lagi yang warna biru, Bi... Nanti, Abi coba ya!” Ia menunjuk wajah Ali dengan gaya manja yang tak biasa. Ali langsung sigap menghampiri Amira dan menggenggam tangannya. “Kamu minum apa barusan?” tanya Ali serius. “Minuman cantik yang ada di meja ituu... warnanya pink! Lalu Mira ambil lagi yang biru!” Amira tergelak sendiri, sementara para tamu mulai memperhatikan tingkah lucunya. Ali mendesah panjang. “Astaghfirullah, itu cocktail...!” Ia segera berpamitan singkat pada Irwan dan menggandeng Amira keluar dari pesta. “Abi... aku pengen peluk kamu,” rengek Amira saat mereka berjalan di parkiran. “Tapi kamu suka nyebelin, tahu nggak? Suka bikin jantungku berdebar! Aku kan jadi bingung...!” Ali membuka pintu mobil dan membantu Amira duduk. “Kamu mabuk, Mira. Nggak sadar kamu ngomong apa,” katanya sembari memasang sabuk pengaman untuk istrinya. “Tapi aku sadar... Aku sadar kamu itu tampan banget, Bi... Ugh! Aku kesel!” Amira mendengus, lalu meletakkan kepalanya di bahu Ali. “Kenapa kamu harus kayak gitu sih... bikin cewek-cewek jatuh cinta... huh!” Ali menggeleng sambil menahan senyum. “Ya Allah, Amira…” Selama perjalanan pulang, Amira terus meracau tak jelas. "Aku tuh sebenarnya suka bunga yang kemarin kamu kasih," ujar Amira sambil tersenyum malu-malu, lalu menyender ke bahu Ali. Ali kaget. “Oh, kamu suka ya? Katanya nggak suka?” “Suka, cuma akunya gengsi!” Amira tertawa sendiri. Ali yang awalnya tak begitu memperhatikan racauan sang istri, jadi gemas sendiri lihat istri kecilnya mulai manja. “Yuk kita pulang.” Sesampainya di rumah, Amira masih clingy dan cerewet. Dia menggoda Ali terus-menerus. “Aku tuh penasaran sama kamu Abi… kenapa tiga istrimu bisa betah sama kamu, akur lagi?” Ali mengangkat alis. “Mau aku kasih tau?” “Mmm… tunjukin aja.” Ali terdiam. Dia tahu Amira sedang tidak sepenuhnya sadar, tapi juga tidak sepenuhnya mabuk. Dia menunduk, menatap mata Amira. “Kamu yakin?” Amira mengangguk malu-malu. Ali pun bingung, antara menuruti keinginan Amira, atau ... Ali pun meletakkan istrinya di atas ranjang, lelaki itu tersenyum tipis membayangkan apa yang akan Amira lakukan jika dia benar-benar menuruti keinginan Amira. “Semoga besok kamu lupa semua omonganmu malam ini…” Amira menarik tubuh Ali dan bergumam, “Jangan pergi, Abi… Peluk aku… Cium ak...” Tubuh Ali mematung seketika. Apa yang harus dia lakukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD