Mulanya aku sempat khawatir kalau the valet guy akan mendatangi apartemenku lagi untuk meminta penjelasan akan sikapku yang seolah tidak menikmati seks bersamanya. Tetapi setelah seminggu berlalu, aku tahu kalau semua itu hanya sekedar kekhawatiran yang sia-sia.
Sejujurnya dalam hati kecilku, aku kecewa, sangat. Ini berarti the valet guy memang tidak naksir padaku dan hanya menganggapku teman kencan satu malam saja yang seharusnya patut aku syukuri karena berjalan sesuai keinginanku.
Aku tidak pernah lagi mendatangi the crown dan juga restoran Asia tempat the valet guy kerja. Aku hanya tidak ingin bertemu dengannya yang kemungkinan besar akan membuatku ingin kencan lagi dengannya.
Aku terus meyakinkan diri kalau apapun yang kurasakan pada the valet guy hanya euphoria sementara karena aku sudah terlalu lama sendiri. Tubuhku hanya rindu mendapatkan afeksi layak dari laki-laki bukan sekedar satu sesi makeout di kelab malam akibat h***y.
Tiga minggu pun berlalu dan aku hampir melupakan segalanya tentang the valet guy saat pintuku diketuk.
"Beth, ada kiriman untukmu."
Aku mengernyit saat Sophie muncul di pintu dengan membawa bouquet bunga aster di tangannya. Wajah Sophie sama bingungnya denganku mungkin karena selama lima tahun aku bekerja di sana aku tidak pernah mendapatkan bunga dari siapapun.
"Dari siapa?" tanyaku sambil menghampiri Sophie untuk melihat lebih jelas bunga di tangannya sambil mencoba mencari kartu yang tersemat di sana.
"Dean A William." Aku mengernyit membaca goretan pena di atas kartu. "Siapa dia? Aku tidak kenal nama Dean sebelumnya."
"Tunggu, biar aku cek surat bukti penerimaan barang agar kita tahu siapa pengirimnya." Sophie bergegas meninggalkan ruanganku sedangkan aku memandangi bunga yang kini berada di tanganku sambil memikirkan siapa Dean karena aku tidak pernah kenal orang dengan nama itu.
Sophie kembali membawa kertas yang merupakan surat bukti tanda terima barang. "Di sini tertulis dari Life Care, Inc." Dahinya mengernyit. "Bukannya Life Care adalah perusahaan alat kebersihan dan kesehatan tubuh lainnya itu?"
"Maksudmu perusahaan shampo?"
"Bukan hanya shampo, Beth, mereka juga membuat sabun, pasta gigi, detergen, pelembut pakaian, pembersih lantai dan setauku mereka juga mulai menambah ke sektor makanan."
"Apa perusahaan mereka bekerja sama dengan penerbitan kita?" tanyaku bingung.
Sophie menggeleng. "No, untuk apa kita kerja sama dengan perusahaan alat kebersihan," jawabnya seolah pertanyaanku barusan adalah pertanyaan paling bodoh sedunia. "Kenapa tidak kau cek saja di google siapa tahu ada info tentang siapa itu tadi, Dean A William?"
Ide bagus. Tidak salah Sophie menjadi asistenku selama setahun belakangan ini. Lalu setelah Sophie keluar dari ruanganku, aku mencari tahu siapa si pengirim bunga tersebut.
Tidak banyak info yang aku tahu terkait Dean A William selain foto yang membuatku tercengang karena ternyata dia adalah the valet guy. Hal itu aku dapati dari sebuah foto yang terhubung ke akun facebooknya. Jadi selain bekerja di restoran Asia dan The Crown, the valet--ah maksudku Dean bekerja di Life Care juga? Tapi bagaimana dia tahu nama dan kantorku karena aku dan dia malam itu sama sekali tidak bertukar nama dan informasi pribadi. Tiba-tiba aku merinding, apa jangan-jangan selama dia menghilang dia membuntutiku seperti stalker?
"Beth!" Aku tersentak saat Sophie lagi-lagi muncul di pintuku. "Bagaimana? Kau sudah cari tahu?"
Aku buru-buru menekan tombol close pada komputerku. "Dia kenalanku."
"Oh? Kau sudah ingat?"
Aku mengangguk. Lalu Sophie meninggalkanku yang masih menatap kosong pada layar komputerku.
***
Keesokan harinya aku kembali mendapatkan bunga, tapi kali ini seikat bunga lili. Jika di hari pertama aku mendapatkan tatapan bingung Sophie, hari ini gadis itu malah senyum-senyum seolah meledekku.
"Kenalan, ya?" Sophie menyindirku sambil meletakkan bunga itu di meja. "Yakin bukan teman kencanmu?"
Aku hampir saja memuncratkan chamomile tea yang sedang kuminum mendengar kata 'kencan'. Sophie langsung tertawa atas reaksiku pada kata-katanya yang seolah menkonfirmasi kalau bunga itu memang dari teman kencanku, which is not wrong because he is my date... even just for one night stand.
Kali ini tulisan di kartu sedikit lebih panjang dan semoga Sophie tidak sempat membacanya.
Hi, kau pasti terkejut. Kemarin aku hanya memperkenalkan diri. Ada banyak yang ingin kubicarakan denganmu tapi aku tidak ingin menggangu kalau kau memang tidak ingin bicara denganku aku tidak akan mengirimkan bunga lagi, kau bisa mengatakannya pada kurir.
-Your Valet Guy
Aku menggigit bibir. Apa aku mau bicara dengannya? Atau aku mau dia tidak menggangguku lagi? Aku jelas tidak bisa bicara lagi dengannya karena itu berarti membiarkan diriku dimainkan lagi oleh cinta. Tetapi aku juga tidak benar-benar ingin dia berhenti mengirimiku bungan karena meski aku tidak terlalu suka bunga tapi menerimanya membuatku...tersanjung.
Akhirnya malam itu aku memutuskan ke the crown. Setidaknya aku harus bertemu dengannya dan berpisah secara baik-baik. Lol, ini terdengar seperti pasangan yang ingin putus.
The valet guy--maksudku Dean tidak terlihat di tempat para petugas valet menunggu. Karena aku datang pada Rabu malam, antrian valet tidak ramai malam itu. Aku mempertimbangkan untuk langsung bertanya saja pada salah satu dari mereka apa Dean masuk hari ini atau tidak. Tapi karena aku punya gengsi yang tinggi maka aku memutuskan untuk bertanya nanti saja setelah minum.
Tapi aku hanya memesan soda malam itu karena aku harus menyetir mobilku pulang. Hingga aku pulang, Dean masih tidak terlihat di sana alhasil aku menekan gengsi dan bertanya langsung pada salah satu petugas valet.
"Permisi."
"Ya, nona? Ada yang bisa saya bantu?"
Aku mengusap lenganku, merasa gugup. "Apa hari ini Dean tidak masuk?" tanyaku berusaha terdengar sekasual mungkin. Aku tidak ingin menimbulkan kesan mencurigakan.
Petugas valet itu mengangguk. "Ya, nona, Dean masuk hari ini. Tunggu sebentar."
Aku menunggu dan seorang petugas valet lain menghampiriku. "Apa nona mencari saya?" tanyanya begitu sudah berdiri di hadapanku.
"Apakah kau Dean?"
"Ya, nona, saya Dean Scott. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah maaf, maksudku Dean William. Apa Dean William ada hari ini?"
Mata petugas valet bernama Dean Scott itu membulat sejenak. "Ah, Mr. William hari ini tidak datang nona. Biasanya Mr. William hanya berkunjung akhir pekan." Penjelasan petugas valet membuatku mengernyit, terutama dengan bagaimana petugas valet itu menyebut Dean dengan sebutan formal.
"Apa kita sedang membicarakan orang yang sama?" tanyaku memastikan. "Apa Dean yang kalian maksud dan aku maksud bukan orang berbeda? Aku membicarakan Dean A William, yang waktu itu melayani parkir valetku."
"Mr. William memang beberapa kali membantu kami saat antrian membludak, nona." Petugas valet di hadapanku tersenyum. "Tapi bisa dipastikan kita sedang membicarakan orang yang sama. Mr. William adalah owner kelab malam ini."
Aku betul-betul ingin bertemu dengan Dean saat ini untuk menguliti kepalanya.