Move On!

2726 Words
“Disini saja, Railyn…” Degup jantung Norika yang serasa berlarian tadi langsung terhenti ketika nama pacar Gyan—atau lebih tepatnya, nama mantan pacar Gyan kembali disebutkan. Jadi ciuman tadi itu hanya halusinasi Gyan? Jadi Gyan menganggap Norika adalah Railyn?! “Railyn…” Lagi dan lagi nama itu tersebut. Dan kemudian, Bug! Norika mendorong Gyan begitu saja di sofa, tak perduli bahwa Gyan masih sakit. “Argh!” Gyan merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. “Pusing…” “Sialan!” Umpat Norika sambil beranjak berdiri dan menatap Gyan dengan kesal. Pada akhirnya kekesalan Norika harus ia pendam karena bel intercom apartemen Gyan berbunyi. Ada seorang pria memakai kaus polo berkerah ketika Norika membuka pintunya. Pria itu terlihat rapi, wangi semerbak parfumnya yang maskulin langsung menyapa indra penciuman Norika ketika mereka berhadapan, bingkai kacamata yang pria itu gunakan sangat pas dengan wajahnya dan menambahkan kesan tampan. Norika bergeming sesaat sampai pada akhirnya bertanya, “siapa ya?” “Dokter.” Jawab pria itu dengan santai. “Mbaknya panggil dokter kan tadi? Siapa yang sakit?” “Ohh! Saya tadi minta tolong teman saya buat panggilin dokter kesini.” Norika lalu memundurkan tubuhnya. “Silahkan masuk, dok. Jadi, yang sakit itu atasan saya. Suhu tubuhnya tinggi sekali dan… sampai halusinasi.” Seketika Norika teringat ciuman yang menyebalkan tadi. “Coba saya periksa dulu, ya?” Dokter itu kemudian mulai memeriksa Gyan yang kini bahkan semakin terkapar lemah. “Udah dari kapan panas kaya gini, mbak?” “Eh? Itu mungkin baru saja hari ini, dok.” Norika terlihat kebingungan saat menjawab. “Soalnya hari ini Pak Gyan absen.” Dokter itu mengangguk-angguk paham. “Panasnya cukup tinggi dan karena terlalu tinggi jadi menyebabkan halusinasi.” Dokter itu lalu tertawa kecil menatap Norika yang hanya tersenyum masam. “Nggakpapa kok ini. Saya suntik obat penurun panas dulu, ya? Karena bapaknya kan terlalu lemah untuk minum obat sendiri.” “Itu nanti bikin makin halu nggak sih, dok?” Dokter itu tertawa kecil lagi. “Enggak kok, mbak. Malah bikin tidur biar bisa istirahat. Kenapa? Halunya parah, ya?” “Y-ya, lumayan…” jawabnya sambil melihat kearah lain. Pipinya seketika memanas. Jelas halusinasi Gyan parah! Karena sampai mencium Norika dan menganggap Norika adalah Railyn. “Sudah.” Dokter itu kemudian dengan santainya duduk diatas karpet dan menulis resep obat di meja ruang tamu. “Saya resepkan obat untuk ditebus ya. Setelah bapaknya bangun bisa dibantu minumkan obatnya.” “Jadi saya harus nunggu atasan saya bangun?!” Norika ikut duduk di karpet dan terlihat keberatan dengan ucapan dokter itu. Dokter itu menatap Norika sejenak, lalu mengangguk dan lagi-lagi tertawa kecil. “Ya kalau mbaknya mau jagain sih nggakpapa. Atau kan bisa juga ngasih notes setelah menyiapkan obat dan taruh di meja ini kalau mbaknya ingin pulang.” Dokter itu lalu menggeser kertas bertulisan resep obat kepada Norika. “Tapi lebih baik dijagain sih, mbak.” Norika melirik Gyan sekilas sambil mengerucutkan bibirnya. Jelas ia tidak keberatan menjaga Gyan karena Norika sangat menyukai Gyan. Bahkan menatap wajah Gyan ketika lelaki itu tertidur selama berjam-jam juga Norika betah-betah saja. Tapi yang membuatnya tidak ikhlas merawat Gyan adalah karena ciuman salah alamat itu! Kemudian Norika menatap dokter itu lagi. “Pembayarannya gimana, dok?” “Bisa di transfer ke rekening saya kalau nggak ada cash.” Norika segera mengeluarkan ponselnya. “Nomor rekeningnya?” Dokter itu memberikan nomor rekeningnya sampai kemudian namanya tertera di ponsel Norika. “Ezra?” Norika mengangkat wajahnya menatap dokter tampan itu. “Tadi saya telepon teman saya yang namanya Sarah untuk bantu panggilkan dokter. Jangan bilang dokter ini—” Lagi-lagi dokter itu mengangguk kecil. “Iya, saya sepupunya Sarah.” “Astaga! Sarah sering cerita soal dokter!” Norika akhirnya heboh dan tertawa sendiri. “Akhirnya saya ketemu sama dokter Ezra yang selebgram ini. Pantesan kok tadi wajahnya nggak asing.” Ezra menggaruk peilisnya salah tingkah. “Sarah cerita apa aja soal saya? Pasti yang aneh-aneh, ya?” “Ya nggak aneh juga, sih. Paling suka cerita soal Ezra sepupunya yang dokter tapi mau-mau aja jadi supir pribadi Sarah waktu weekend.” Lagi-lagi Ezra tertawa dan mengangguk. “Saya memang sering dikerjain Sarah.” “Ngomong-ngomong, makasih ya dok udah mau repot-repot datang malam-malam begini.” Ucap Norika. “Dokter pasti lagi santai ya, tadi?” Seketika Ezra menatap bajunya sendiri. “Kebetulan saya tadi habis pulang jaga di rumah sakit. Jadi santai saja dan jangan panggil dok-dok begitu dong, saya jadi nggak enak.” “Loh kan emang dokter? Terus saya harus panggil apa, dong? Ezra?” “Iya, Ezra aja.” Norika sontak tersenyum ramah, senyum yang membuat Ezra bisa menyimpulkan dengan cepat bahwa wanita dihadapannya ini cukup menarik. “Sudah saya transfer, dok.” Ucap Norika. Ezra melihat ponselnya dan tersenyum membaca nama terang pengirim. “Terimakasih, Norika.” *** Sayup-sayup mata Gyan terbuka ketika ia mendengar suara nyaring panci yang jatuh dari arah dapur. Gyan hanya mengerang pelan sambil memegangi kepalanya yang sedikit pening. Ia lalu berhedam dan mulai duduk di sofa sambil merenung. Kemudian ia memegang tengkuknya, keningnya dan pipinya sendiri. “Udah nggak panas.” Gyan berdeham lagi karena tenggorokannya yang begitu pening. Dengan segera ia mengambil segelas air mineral diatas meja dan menengguknya. Ketika bibir gelas itu masih menempel pada bibirnya, seketika ingatannya tertarik ke kejadian semalam. Ketika ia membaca pesan dari Railyn yang meminta putus. Kemudian Norika yang datang saat ia sakit, hingga ingatan Gyan pada saat mencium Railyn. “Railyn?” Gyan memejamkan matanya sambil menyentuh kening. “Railyn kan masih di Belanda. Saking kangennya sama dia sampai gue mimpi cium dia?” Tanpa sadar Gyan memegang bibirnya sendiri. Masalahnya ciuman itu terasa sangat nyata. Gyan bahkan masih mengingat manis dan lembutnya bibir wanita yang ia lumat malam itu. “Udah mendingan, Pak Gyan?” Suara wanita dari belakang membuat Gyan terkejut bukan main. Bahkan jantungnya serasa ingin melompat. “Norika?! Kok kamu masih disini?” Norika menghela napas, sambil menaruh nampan berisi bubur, air mineral dan piring kecil berisi obat-obatan. “Pak Gyan suka bubur sayur, nggak? Saya masakin sendiri loh buat bapak.” Norika menghiraukan ucapan Gyan. “Silahkan dimakan.” “Kok kamu masih disini?” Gyan mengulangi pertanyaannya lagi. Sontak Norika menatapnya sejenak. “Pak Gyan nggak inget kalau semalam disuntik sama dokter?” “Dokter? Kamu manggil dokter?” Tanya Gyan. “Kok saya nggak sadar ya?” “Yaiyalah nggak inget, orang Pak Gyan aja sampai halu.” Jawab Norika begitu saja. Lagi-lagi teringat ciuman itu. “Halu?” Gyan terlihat terkejut hingga heran sendiri. “Emang saya halusinasi gimana?” Norika hanya diam melirik Gyan sambil mengulum bibirnya. Karena ia bingung harus menjawab bagaimana, maka ia langsung menyuruh Gyan untuk makan. “Udah Pak Gyan makan aja. Keburu dingin buburnya.” Gyan terdiam sejenak. “Saya… nggak melakukan hal yang melukai kamu, kan?” Lalu ia berdeham. “Maksud saya, melukai hati kamu, mungkin?” “Enggak.” Jawab Norika. “Pak Gyan cuma ngomong ngelantur aja semalem saking panasnya suhu badan bapak.” Gyan lalu hanya mengangguk pelan dan mulai memakan buburnya. “Maaf ya saya malah merepotkan kamu.” “Nggakpapa, Pak. Habis makan jangan lupa diminum obatnya.” Norika yang masih duduk diseberang Gyan mulai berbicara kembali. “Ngomong-ngomong, kulkas di apartemen Pak Gyan kosong. Saya tadi sempat belanja dulu buat masak bubur. Di lemari juga kayaknya bahan-bahan makanan hampir habis. Air dispenser juga habis.” Gyan menghela napasnya, sepertinya ia semakin terbiasa dengan Norika yang banyak bicara dalam sekali bicara. “Kamu malah kayak ibu saya, selalu mengecek stock makanan saya.” “Tapi emang kosong kerontang.” Gyan sampai hampir tersedak makanannya sendiri. “Memang. Saya dari dulu nggak pernah ngurusin stock makanan. Semenjak tinggal bareng Railyn, selalu dia yang mengurus stock makanan dan lain-lain. Tapi sekarang—” Keadaan menjadi hening karena Gyan yang tiba-tiba saja tak melanjutkan ucapannya. Ia terlihat terdiam untuk sesaat dan hanya mengaduk-aduk buburnya, kemudian langsung meminum obatnya tanpa menghabiskan bubur yang Norika buat. Gyan menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi sambil memejamkan matanya sejenak. Baru kemudian ia membuka mata dan menatap Norika yang pandangannya sedari tadi tak lepas dari wajah tampannya. “Saya putus sama Railyn, Ka.” “Hah?! Kok bisa?!” Sungguh Norika sangat terkejut.  Ia memang sangat menyukai Gyan, tapi mendengar kabar putusnya mereka berdua juga membuat Norika menyayangkan hal itu. Karena bagaimanapun juga, Norika sangat tahu bagaimana Gyan saat mengejar Railyn dulu sebelum berpacaran dan Norika membantu Gyan untuk dekat dengan Railyn. Memang tidak seharusnya Norika yang suka Gyan malah membantu Gyan dekat dengan wanita lain. Tapi Norika melakukan hal itu karena masih takut dengan perasaannya. Ia merasa tidak pantas bersanding dengan Gyan dan lagipula, Norika tulus mencintai Gyan hingga membantu Gyan dekat dengan wanita yang memang Gyan sukai dan layak bersanding dengan Gyan. “Railyn bilang dia nggak bisa ldr dan saya juga diberitahu orang kantor di Belanda kalau Railyn sudah dekat dengan pria lain. Bahkan beberapa kali pergi bersama dan bermesraan di kantor itu.” Jelas Gyan, dadanya begitu sesak menceritakan hal ini pada Norika. “Loh, dekatnya dengan orang kantor yang sama di Belanda?” Gyan mengangguk. “Kami sudah break sebelumnya. Saya dan Railyn juga sadar hubungan kami beberapa bulan kebelakang tidak sehat. Tidak ada komunikasi sama sekali.” “Sama sekali? Bahkan dalam sehari itu kalian bisa nggak saling kirim kabar?” “Hampir satu bulan tanpa komunikasi sama sekali juga pernah.” “Pak Gyan,” Norika kemudian pindah duduk disebelah Gyan dan mengusap bahu pria itu untuk menenangkannya. “Pak Gyan sampai sakit gini apa gara-gara kepikiran Mbak Railyn?” “Cuma menyayangkan hubungan ini sih, Ka. Saya dan Railyn sudah berhubungan tiga tahun lebih dan… kandas begitu saja.” Untuk sesaat Norika hanya diam, mengusap-usap bahu Gyan yang juga hanya diam dan menatap kosong kedepan. Dilihat dari jarak yang lebih dekat seperti ini, memang Gyan menjadi berbeda sejak Railyn pindah kerja ke Belanda. Rambut Gyan menjadi sedikit gondrong dan acak-acakan, kumis tipis tumbuh di dagunya dan matanya juga sayu. Tidak ada mata cerah dan senyuman manis yang menatap Norika seperti dahulu. Memang cinta bisa memberikan energi positif bagi yang merasakannya, namun cinta juga bisa membuat seseorang menjadi mati rasa dan enggan melakukan apapun. “Tapi Pak Gyan juga nggak boleh terpuruk terus seperti ini. Pak Gyan harus sibuk dalam kepositifan dan melakukan hal yang membuat Pak Gyan melupakan patah hati ini, mungkin?” “Saya harus melakukan apa lagi? Kerja juga sudah suntuk?” Tanya Gyan sambil menatap Norika. Norika tanpa permisi menempelkan punggung tangannya pada dahi Gyan, membuat Gyan terkejut untuk sesaat. “Badannya dah nggak panas.” Norika kemudian berdiri. “Ayo kita belanja, Pak! Kita isi apartemen Pak Gyan lagi!” “Norika—” “Tapi kayaknya saya harus pulang dulu deh, Pak. Saya mau mandi sama ganti baju. Gimana kalau nanti sore aja?” Tanya-nya. “Sekalian Pak Gyan sekarang istirahat lagi. Baru nanti sore kita pergi. Oke?!” Gyan masih diam. “Oke Pak Gyan?!” Norika menagih. Gyan akhirnya hanya mengusap wajahnya dengan frustasi. “Iya-iya!” *** Norika rasanya ingin menutupi wajahnya saja dengan apapun itu! Masalahnya ia sekarang tidak bisa menyembunyikan senyumannya seusai berbelanja dengan Gyan tadi. Mereka berbelanja semua kebutuhan makanan, minuman dan hal lain sebagainya untuk mengisi apartemen Gyan. Bahkan Norika membuatkan daftar belanjaan untuk Gyan. Gyan yang mendorong troli, sedangkan Norika yang memimpin dan mengambil belanjaan yang mau ia beli. Sesekali Gyan juga mengambil asal barang yang tiba-tiba ia inginkan dan diluar daftar belanjaan Norika. Selama belanja, Norika merasa mereka seperti pasangan pengantin baru yang sedang belanja bulanan. Gyan juga sangat baik. Tadi Norika sudah menyendirikan belanjaan untuk dirinya sendiri dan ingin membayarnya sendiri. Tapi Gyan membayarkan sekalian untuknya sebagai tanda terimakasih karena sudah ditemani belanja. Mereka juga mampir makan di restoran sushi di mall tersebut, kemudian membeli yogurt. Intinya baru kali ini mereka berdua benar-benar menghabiskan waktu bersama. Sampai malam hari dan mereka kini sedang menata stock makanan, minuman serta sayur dan buah-buahan di dapur apartemen Gyan. Untuk sesaat, Gyan hanya berdiri diam memperhatikan Norika yang sedang membantu menata makanannya di kulkas. Sampai kemudian Gyan berdiri di belakangnya, mengambil sekaleng soda dari dalam kulkas dan menempelkannya ke pipi Norika. “Ah! Dingin tauk, Pak!” Dumal Norika sambil membalikkan badan menatap Gyan. Namun dirinya cukup terkejut karena jarak diantara mereka berdua yang terlalu dekat. Gyan tertawa kecil sambil membuka tutup kaleng soda itu dan memberikannya kepada Norika. “Udah malam. Kamu harus istirahat.” Norika meminum minumannya sedikit. “Nggakpapa, Pak. Ini juga mau selesai.” Namun Gyan dengan malah menutup pintu kulkasnya dan menarik tangan Norika sehingga jarak diantara mereka berdua semakin dekat. “Saya semakin merasa bersalah karena sudah merepotkan kamu di hari libur.” “Kan saya yang mau, Pak. Lagipula saya melakukan ini semua biar Pak Gyan nggak sedih lagi.” Gyan sontak tertawa. “Siapa juga yang sedih?” “Siapa ya yang tadi pagi wajahnya sayu banget waktu cerita dan sampai sakit gara-gara putus?” Norika sontak terkekeh. “Ssstt!” Gyan juga ikut tertawa dan menempelkan telunjuknya di depan bibir. Sampai kemudian tawa diantara mereka reda dan Gyan belum juga melepaskan genggaman tangannya dari Norika. “Saya minta maaf.” Norika menghela napas kesal. “Minta maaf buat apalagi sih, Pak? Udah saya bilang kalau saya juga menemani Pak Gyan biar nggak sedih terus karena putus.” “Maaf karena tiba-tiba cium kamu malam itu.” Lidah Norika seolah kelu. Jantungnya berdegup semakin kencang dan matanya menatap Gyan dengan heran. “Waktu kamu pulang, saya lihat rekaman cctv di ruang tamu.” Jelas Gyan. “Waktu saya cium kamu, terekam di cctv.” “Ada cctv-nya?!” Norika terkejut. Ia memejamkan matanya dan mendesis malu. Gyan mengangguk pelan. “Saya penasaran, saya halusinasi seperti apa waktu sakit. Ternyata fatal sekali. Nggak salah kamu dorong saya malam itu karena saya cium kamu karena tiba-tiba.” “Bukan karena itu!” “Hah?” Norika serasa salah bicara. Ia menggigit bibir bagian bawahnya dan menatap Gyan takut-takut. “Bukan karena itu saya mendorong bapak.” “Lalu karena?” “Karena Pak Gyan menyebutkan nama Railyn waktu cium saya.” Jawab Norika jujur, lalu ia terdiam dan Gyan terdiam. “Pak Gyan nggak usah minta maaf. Itu kan karena Pak Gyan lagi sakit—” “Kalau saya cium kamu lagi dan tidak salah sebut nama, apa kamu akan mendorong saya lagi?” “Hm?!” Kini Norika sangat terkejut, matanya melebar tak percaya dengan ucapan Gyan. “P-pak Gyan ngomong apa?” “Nevermind, Norika.” Gyan lalu melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Norika, menumbuhkan rasa kecewa dari dalam diri Norika karena ia tahu Gyan malah akan menjauh karena bersalah. Namun yang seterusnya terjadi malah Gyan meraih tengkuknya, membawa Norika kedalam ciumannya, melumat bibir lembut Norika yang membuat kaki Norika langsung terasa lemas hingga Gyan juga meraih pinggangnya dan menghapus jarak diantara keduanya. Sesaat Norika hanya diam saat Gyan melumat bibirnya. Sampai Gyan hendak mengakhiri ciumannya karena tak ada respon, namun Norika kemudian mengalungkan lengannya pada tengkuk Gyan dan membalas ciuman pria itu. Norika seperti kehilangan akalnya, ia menurut saja saat Gyan mengangkat tubuhnya, membuat Norika melingkarkan kakinya di pinggang Gyan dan mereka terus berciuman dengan hausnya hingga Gyan melangkah ke kamarnya. Pintu kamar utama Gyan terbuka, kamar yang gelap dan hanya disinari cahaya gedung-gedung kota Jakarta di sekitarnya karena Gyan belum menutup tirai jendela kamarnya. Napas Norika tersenggal saat Gyan menidurkan tubuhnya ke kasur. Ia hanya mengulum bibirnya yang basah saat melihat Gyan menarik lepas kausnya keatas dan memperlihatkan tubuh six-packnya. Hingga Gyan merangkak keatas ranjang dan kembali mencium bibir Norika. Ciuman itu turun ke tengkuknya, membasahi tengkuk Norika dan membuatnya mendesah kegelian. “Euhm… Pak—” “Norika,” napas Gyan tersenggal saat mencium tengkuk Norika dan ciumannya turun ke belahan dadaanya. “Panggil Gyan saja.” Pipi Norika bersemu merah ketika Gyan memintanya hanya memanggil namanya saja. Ia hanya mengangguk dan membiarkan Gyan menarik tali bagian depan blouse yang ia pakai, kemudian menariknya keatas, membantu melepaskannya. Norika sedikit mengangkat tubuhnya dan membiarkan tangan Gyan bergerak kebelakang melepaskan kaitan bra-nya. Hingga Gyan kembali menunduk, mengecupi inci per inci kulit tubuh Norika dan tangannya bergerak nakal meremas gundukan kenyal hingga pada akhirnya mengulum lembut salah satunya bak bayi yang kehausan. Norika tak tahan lagi dan desahan itu lolos begitu saja. “Gyann, ahh!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD