Selama perjalanan pulang, tak ada satupun kata yang terucap dari mulut Elora. Lidahnya kelu dan rasanya sudah tak mampu berbasa -basi lagi. Ia sadar, kehadiran Miya benar-benar menyadarkan hatinya dengan keras bahwa ia berada dengan pria yang salah.
Sedangkan Satria juga sibuk dengan pikirannya. Ia menyadari bahwa perempuan yang duduk di sisinya pasti masih ada rasa padanya, sikap canggung Elora seolah menunjukan isi hati gadis itu.
Satria kembali teringat pertengkaran terakhir mereka sebelum berpisah dimana Elora ingin bertahan karena saat itu ia sudah jatuh cinta pada Satria.
“Mas, tolong turunkan aku didepan nasi goreng pak Jo,” pinta Elora ketika menyadari bahwa sebentar lagi ia sampai di tempat yang dituju.
Satria menoleh dan menatap gadis itu sesaat, kesukaan gadis ini tetap sama. Pasti sepiring nasi goreng ditambah sepiring sate tanpa lontong untuk membahagiakan hatinya.
“Ayo kita makan disana, aku juga lapar,” ucap Satria perlahan sembari mencari tempat parkir.
“Memangnya mas Satria belum makan malam?” tanya Elora basa basi karena terkejut dengan jawaban Satria yang juga ingin ikut turun.
Satria hanya menggelengkan kepalanya cepat. Sebenarnya perutnya tak terlalu lapar. Hari ini ia tengah senang, karena sejak siang tadi hati dan perasaannya sudah penuh diisi dengan bermesraan bersama Miya dan mendapatkan deal project baru dengan perusahaan pak Santoso. Jadi kali ini ia ingin berbaik hati menemani Elora makan sambil mengetahui kabarnya selama ini.
“Mas Satria makan di dalam mobil saja, diluar panas dan berdebu,” ucap Elora cepat ketika melihat Satria hendak ikut turun.
“Biar aku saja yang pesankan.”
“Tidak usah, kalau kamu makan diluar aku juga akan makan diluar,” jawab Satria sambil tetap turun dan merangkul bahu Elora spontan agar berjalan bersama kearah tukang nasi goreng.
Dirangkul dengan lembut membuat Elora tertegun dan segera mempercepat langkahnya sehingga rangkulan Satria terlepas. Ia terlalu terkejut dan tak menyangka akan kembali merasakan kelembutan sentuhan lembut Satria.
Mereka berdua segera duduk berdekatan karena tempat itu cukup ramai setelah memesan makanan. Lagi-lagi spontan Satria menarik bangku Elora agar menempel dengannya dan tanpa sungkan kembali merangkul pingang Elora agar mereka tetap dekat dan memberi ruang untuk yang lainnya.
Elora hanya bisa diam dan menatap jalanan dengan pandangan kosong. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, bahwa hatinya ternyata tak hanya merindukan Satria, tetapi lebih merindukan dan menginginkan untuk kembali disentuh ringan seperti ini.
Ada rasa nyeri di hati Elora, karena lagi-lagi akal warasnya memberitahu bahwa Satria memang pria yang penuh dengan sentuhan dan kelembutan tetapi ia melakukan itu pada semua perempuan, termasuk dirinya. Ini yang membuat dirinya tak bisa melupakan Satria.
Bayangan masa lalu saat Satria memanjakannya bahkan sampai meminjamkan apartemennya agar Elora bisa tinggal disana kembali terbayang dibenak Elora. Tentu saja sesekali Satria akan menginap bersama Elora di apartemen itu. Risikah Elora? Tentu tidak, bahkan saat itu ia berusaha menggoda Satria dengan berpakaian tidur yang cukup sexy walau akhirnya mereka hanya tetap tidur saja tanpa melakukan apapun.
Entah apa yang dulu membuatnya lupa diri merasa bahwa mereka tak lagi kekasih pura-pura tetapi menjadi kekasih sebenarnya. Bahkan Elora mulai berani untuk menunjukan kecemburuannya pada Miya.
“Hei, kok melamun?” bisik Satria lembut di telinga Elora.
Elora mengedipkan matanya sesaat dan tak berani menoleh kearah Satria yang ternyata kini wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahnya. Jika orang-orang itu melihat mereka, pasti semua berpikir bahwa mereka sepasang kekasih.
Elora menarik nafasnya perlahan dan terasa begitu berat. Oh, ini rasanya jatuh cinta dan patah hati disaat bersamaan. Sikap Satria yang seperti ini yang membuat Elora tergila-gila, bahkan hampir menyerahkan dirinya dahulu.
“Dasar, bloon!” caci Elora didalam hatinya mencaci maki dirinya sendiri.
Air matanya menggenang di pelupuk mata, dua tahun ia menggila karena merindukan semua tentang Satria. Kini ia kembali merasakan hal yang sama tetapi rasanya bukan bahagia tetapi sakit yang tak terkira, karena sentuhan indah itu sebenarnya tanpa rasa dari Satria.
Kini ia hanya bisa meremas pakaiannya, patah hati tapi tak sanggup untuk berdiri dan berjalan meninggalkan Satria, tubuhnya tanpa sadar sangat menginginkan diperlakukan seperti itu lagi oleh pria itu.
“Dua nasi goreng, 2 porsi sate gak pake lontong, 2 teh pucuk makan disini semua ya neng?” tanya tukang nasi goreng setengah berteriak sambil menoleh pada Elora mengulang pesanan mereka.
“Dibungkus aja pak!” ucap Elora cepat menahan sekuat tenaga suara paraunya agar Satria tak melihat bahwa ia hampir menangis.
“Kok dibungkus? Kita makan disini aja,” tanya Satria bingung.
Elora hanya bisa menutup matanya ketika bisa merasakan hangatnya nafas Satria dan aroma parfum pria itu.
Elora segera berdiri dan berjalan sambil membuka tasnya untuk mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa puluh ribu membayar pesanan mereka.
“Nanti tolong diantar ke mobil itu ya pak,” ucap Elora cepat lalu berjalan tampak linglung ke arah mobil dan kembali berbalik arah menuju jalan yang lain.
Ia menyadari rumahnya sudah dekat dan lebih baik ia jalan kaki untuk pulang daripada kembali naik mobil bersama Satria.
“Elora!” panggil Satria sambil menarik tangan Elora yang bersikap tak menentu.
Elora menatap pria itu perlahan dan menyadari bahwa Satria terlihat bingung dengan sikapnya.
“Ayo kita ke mobil,” bisik Satria sambil kembali menarik tangan Elora dan kali ini menggenggam jemari tangan perempuan itu spontan sambil melangkah menuju mobil.
Tangisan Elora rasanya ingin meledak karena hatinya senang di genggam jemari tangannya oleh Satria sekaligus ingin berteriak sedih karena ia menginginkan Satria. Pikiran dan hatinya kali ini benar-benar kacau.
“Mas, aku pulang saja,” ucap Elora perlahan sambil melepaskan genggaman tangan Satria.
“Masuklah, nanti aku antar,” ucap Satria sambil membuka pintu mobil.
“Aku …”
“Kita butuh bicara.”
Elora hanya bisa diam dan menurut dengan berjalan memasuki mobil, begitu juga Satria. Hening. Tak ada pembicaraan dari keduanya. Tetapi Elora tak peduli, ia tengah sibuk mencoba untuk tetap mengendalikan perasaannya sambil meremas rambutnya perlahan.
Tentu saja sikap Elora terbaca oleh Satria. Pria itu hanya diam dan melirik perlahan ke arah Elora yang bersikap gelisah. Perempuan ini benar-benar masih memiliki rasa padanya. Satria tahu Elora, sikapnya tak pernah bisa bohong.
Jelas- jelas Satria juga sadar, bahwa Elora masuk ke perusahaan yang sama karena ingin bertemu dirinya. Mereka pernah bersikap seperti kekasih cukup lama sehingga Elora mengetahui banyak hal tentang dirinya termasuk dimana ia bekerja.
“Kenapa kamu melakukannya?” tanya Satria perlahan.
“Melakukan apa?” Elora balik bertanya.
“Menyakiti dirimu sendiri dengan masuk menjadi karyawan di kantor.”
Mendengar ucapan Satria, Elora hanya memalingkan wajahnya agar Satria tak melihat matanya yang sudah basah. Harga dirinya sudah tak ada lagi di hadapan pria ini. Sejak dulu sebelum perpisahan mereka, Elora juga sudah menjatuhkan harga dirinya dengan mengutarakan cinta duluan pada Satria.
Wajar saja kalau kali ini Satria menganggapnya masih memiliki perasaan, toh hal itu memang benar adanya.
“Tenang saja, aku hanya 6 bulan. Kenapa? Mas Satria gak sabar ingin aku pergi? Kalau begitu tolong bayarkan saja uang pinaltinya, biar aku bisa segera angkat kaki dari kantor.”
“Bukan itu maksudku!”
“Mas Satria mau dengar apa?! Mau dengar tentang aku yang masih memiliki perasaan pada mas Satria?! Iya! Aku masih merindukan mas Satria 2 tahun ini, sehingga dengan bodohnya memutuskan untuk masuk perusahaan dimana mas Satria bekerja! Niatku bukan untuk mengganggu mas Satria, tapi aku hanya ingin melihat mas Satria dari jauh saja! “
Elora segera menghentakan kakinya kesal dan meremas rambutnya kuat-kuat, ia sudah tak peduli jika Satria semakin merendahkannya. Perlahan Elora menghapus air matanya kasar dan tetap memalingkan wajahnya dari Satria.
“Aku cuma rindu … aku tak ingin mengganggu …,” ucap Elora lirih dan kali ini mulai terisak.
“El…” panggil Satria segera bergerak mendekati Elora dan memeluknya.
Dipeluk Satria, tangisan Elora makin keras. Dadanya terasa sesak, karena menyadari kesalahan terbesarnya saat ini adalah dengan jatuh cinta dan terlalu mencintai Satria. Ia seperti orang bodoh mencintai seseorang seperti tak ada pria lain didunia ini, tetapi hati tak bisa bohong, sebesar itu cintanya pada Satria. Dan ia hanya bisa menangisi cintanya yang hanya bertemu sebelah tangan.
Perlahan Elora mendorong Satria agar melepaskan pelukannya dan menatap pria itu dengan tatapan sendu.
“El…”
“Setiap hari aku bertanya, apakah tak ada setitik rasa dihati mas Satria padaku? Setiap hari aku berharap bahwa rasa itu pernah ada dan aku pernah berharga, tetapi melihat mbak Miya, aku sadar, bahwa cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan. Hhhh, rasanya aku ingin marah sama kamu mas, kenapa kamu bersikap baik padaku dulu! Aku jadi berharap dan jatuh cinta!” isak Elora.
“Mulai besok jangan pedulikan aku mas, tolong jangan anggap aku ada. Andai kamu tahu 2 tahun ini aku berusaha untuk melepaskan perasaanku pada mas Satria, tapi aku tak bisa. Biarkan aku menyembuhkan perasaan ini dengan caraku sendiri. Percayalah, aku tak akan mengganggu kalian.”
Lagi-lagi hening. Satria tak ingin berkata-kata yang akan semakin membuat Elora sakit hati. Ucapan Elora membuatnya juga kembali teringat dengan masa lalu saat ia menghabiskan waktu berpura-pura menjadi kekasih Elora. Rasa nyaman saat bersama Elora tentu saja ada. Tak hanya itu ia pun merasa sayang, nafsu dan juga merindukan Elora. Gadis itu sempat mengalihkan dunianya dari Miya.
Ketukan halus dijendela dari tukang nasi goreng membuat Elora segera menghapus airmatanya dan segera merapikan dirinya. Satria segera menerima pesanan mereka dan menghidupkan mobil untuk mengantar Elora pulang.
Sesampainya di depan rumah Elora segera turun tanpa mengucapkan kata dan melupakan makanannya. Ia hanya ingin segera masuk kamar dan meluapkan perasaannya dengan menangis. Ia tak menyadari bahwa mobil Satria berhenti cukup lama di depan rumahnya.
Bersambung.