Melupakan permasalahan yang baru saja muncul, Adam berusaha untuk terlihat santai dan tidak menampakkan jika ia sedang banyak pikiran di hadapan dua anaknya.
Tika dan Adreanne memasak berdua di sore harinya untuk menu makan malam. Pada pukul tujuh malam, keluarga kecil itu sudah berkumpul di meja makan.
Mata Adam tak sengaja menatap leher Adreanne yang dihiasi kalung yang tidak pernah ia lihat.
"Dari mana kamu mendapatkan kalung itu?" tanya Adam. Wajahnya mengeras ketika sadar bahwa kalung itu berbeda dengan kalung biasa.
"Aku mendapatkannya dari Edzard, Yah," cicit Adreanne. Ia tidak berani mengangkat wajahnya kala mendengar suara dingin dari Adam.
"Bunda baru lihat, kapan kamu mendapatkan kalung itu?" Kini Tika yang bertanya.
"Beberapa hari yang lalu," jawabnya jujur.
Sedangkan Damien hanya memperhatikan kalung cantik yang dipakai adiknya.
"Eh itu batu ruby nggak sih? Cantik banget!" seru Damien heboh. Bahkan lelaki itu memegang kalung itu langsung dari leher Adreanne, melihatnya secara jelas.
"Berikan kalung itu pada Ayah," ujar Adam tegas. Pria itu mengulurkan tangannya meminta kalung tersebut.
Adreanne hanya diam seraya memegang kalung yang masih bertengger di lehernya. "Kenapa? Ayah mau sita? Kan, ini hadiah dari Edzard buat aku," protesnya.
"Jangan buat Ayah mengulangi ucapan Ayah, Rea," desis Adam.
Tika yang sadar akan perubahan suaminya pun segera bertindak. "Ikuti apa kata Ayah kamu. Jangan protes, sayang."
Dengan berat hati Adreanne memunggungi Damien dan meminta Abangnya untuk melepaskan kalung itu. Damien melakukan apa yang pinta adiknya tanpa protes.
Setelah kalungnya lepas, Adreanne memegang kalung itu sejenak dan akhirnya memberikan kalung cantik itu pada sang Ayah.
Adam meneliti bentukan batu ruby di kalung itu dengan seksama. Tiba-tiba pria itu berdiri lalu menjatuhkan kalung itu di lantai dan menginjaknya hingga hancur.
Mata Adreanne terbelalak kaget atas aksi Ayahnya yang tak terduga, begitu pula dengan Damien yang terkejut. Adreanne langsung berdiri dari kursinya dan menatap kalung pemberian Edzard dengan nanar. Kalung cantik itu, ia sangat menyukainya.
"Kenapa Ayah hancurin?!" tanya Adreanne tanpa sadar mengeraskan suaranya.
"Berani kamu mengeraskan suaramu pada Ayah?!" bentak Adam marah.
Adreanne terkesiap, tubuhnya mundur sedikit lantaran terkejut dengan bentakan keras dari Adam.
Tak lama, mata gadis itu berlinang, menatap Adam dengan kecewa. Tanpa mengucap sepatah katapun lagi, ia berlari meninggalkan meja makan. Adreanne berlari menaiki tangga dan memasuki kamarnya, lalu ia mengunci pintu.
Di lantai bawah, Adam seolah sadar dengan apa yang baru saja ia perbuat. Selama ini, ia tidak pernah membentak putri kesayangannya. Ya Tuhan, bisa-bisanya ia lepas kendali!
"Ayah boleh emosi, tapi ditahan juga. Rea jadi kaget gitu," cicit Damien membuka suara.
Tika mengelus punggung suaminya dengan halus. "Nanti aku bicara sama Adreanne, ya."
Adam menatap istrinya dengan pandangan sayu. "Aku, sebenarnya tidak bermaksud memarahinya."
Tika mengangguk paham. "Iya aku mengerti. Sekarang Ayah tenang dulu."
Adam duduk kembali di kursinya lalu meremas rambutnya. Kini ia tahu mengapa pria itu menemuinya tadi siang. Inilah penyebabnya. Kalung itu!
Damien menatap Ayahnya dengan bingung, nafsu makan pun telah hilang. Makanan yang telah disusun sudah tidak terlihat menarik lagi. Pemuda itu berdiri dan pamit pada kedua orangtuanya.
"Aku bujuk Rea dulu."
Adam tidak merespon, sedangkan Tika menganggukkan kepalanya.
Setelah itu, Damien berjalan dengan langkah lebar menuju kamar sang adik. Sepeninggalan Putranya, Tika langsung duduk di sebelah Adam.
"Ada apa? Kalung itu kenapa, Yah?" tanyanya lembut.
"Kalung itu dapat melacak keberadaan Myrania. Darahku mengalir di darah Adreanne. Semua terlalu rumit, aku harus bertemu dengan anak ingusan Edzard itu!" ujar Adam berapi-api.
Tika yang baru paham sedikit itu mengelus punggung sang suami dan berkata sabar dan tahan emosi.
"Semua akan baik-baik saja. Besok pagi, Edzard pasti ke sini. Aku akan menyuruhnya untuk bertemu dengan Ayah sebentar."
"Apa selama aku pergi, anak itu sering ke sini?" tanya Adam.
Tika mengangguk samar. "Aku tidak bisa melarangnya tanpa bukti yang jelas. Maafkan aku."
Adam menggelengkan kepalanya. "Semua sudah terjadi. Sekarang aku memang harus bertemu dengannya dan bertanya apa mau dan motif anak itu mendekati Adreanne."
Tika hanya menganggukkan kepalanya.
***
Di sisi lain...
Dante baru saja tiba di Kerajaan Airya. Langsung saja ia menghadap ke hadapan Raja yang sudah menunggunya di ruang singgasana.
"Salam, Yang Mulia," ucap Dante sembari membungkukkan badannya.
"Laporkan padaku kegiatan Edzard selama kau pantau, Dante," titah Raja Philips tanpa basa-basi.
Dante mengangguk. "Pangeran menjalankan aktivitasnya dengan santai. Ia masuk ke sebuah sekolah manusia untuk menghilangkan rasa bosan selama di Bumi. Bahkan hari ini Pangeran mengikuti sebuah lomba, Yang Mulia."
"Lomba apa itu?" Raja Philips tampak tertarik dengan perkataan Dante.
"Em, saya kurang mengerti juga. Perlombaan seperti menjawab soal-soal materi pembelajaran, Yang Mulia. Sebelum hari lomba, Pangeran sudah berlatih menguasai beberapa materi pelajaran di sekolah manusia."
Raja Philips menganggukkan kepalanya, "Untuk apa dia serius mempelajari pelajaran manusia? Pada akhirnya itu tidak berguna untuknya," komentar sang Raja.
Dante hanya tersenyum. "Pangeran hanya ingin menambah pengalaman dan menuntaskan keinginan tahuannya, Yang Mulia."
"Benar, anak itu selalu penasaran dengan segala hal hingga melanggar aturan Kerajaan dan berakhir menghabiskan masa hukuman di Bumi."
"Dia tidak membuat masalah, kan?" tanya Raja Philips memastikan.
Dante menggeleng. "Pangeran tidak membuat masalah apapun. Dia menjalani harinya dengan santai, Yang Mulia."
Kedua sudut bibir Raja Philips terangkat membentuk senyuman. "Bagus. Sampai waktu yang telah ditentukan, kau harus memantaunya dan melaporkan segala kegiatannya padaku. Sekarang kau boleh kembali, Dante."
"Saya ada permintaan, Yang Mulia."
"Apa itu?"
"Bisakah saya kembali turun nanti? Saya ingin mengunjungi Ibu saya terlebih dahulu, Yang Mulia."
Raja Philips terkekeh pelan. "Tentu boleh. Kalau begitu kunjungilah Ibumu dan kembali ke Bumi."
"Baik, terimakasih, Yang Mulia."
Dante membungkuk hormat pada sang Raja hingga akhirnya melangkahkan kaki dengan berwibawa meninggalkan ruang singgasana.
Setelah berada di luar, Dante langsung ditarik oleh Edrea yang sejak tadi sudah menunggunya di balik pilar.
"Kau lama sekali! Ayo ke perpustakaan!" gerutu Edrea.
"Baik, Putri."
Keduanya berjalan menuju perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, tidak ada penjaga yang Dante lihat.
"Ke mana penjaga perpustakaan, Putri?" tanya Dante heran.
"Oh, Wils aku suruh keluar dan istirahat. Jadi kita bebas mengakses semua yang ada di perpustakaan ini."
"Baik, kalau begitu kita mulai pencarian mengenai Negeri Myrania dan Kaumnya, Putri."
Edrea mengangguk dan mulai memisahkan diri.
Keduanya larut mencari buku-buku lama di berbagai rak. Namun, satu jam berlalu, pencarian tidak membuahkan hasil.
Tidak ada buku tentang Negeri dan Kaum Myrania. Yang tersedia hanya sejarah Airya, Voresha dan Negeri lainnya.
"Sepertinya tidak ada di sini, Putri," ujar Dante lesu.
"Pasti ada di suatu tempat. Buktinya, buku sejarah tiap kerajaan ada di sini. Pasti disembunyikan," ujarnya yakin.
"Waktu saya telah habis, Putri. Saya harus segera kembali ke Bumi, sudah tengah malam."
Edrea berdecak. "Ya sudah kau pulang sana!"
"Sebaiknya anda juga istirahat Putri. Saya akan mengatakan pada Pangeran jika buku itu susah ditemukan."
Edrea mengangguk acuh. "Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku."
Dante mengangguk dan membungkuk hormat. "Selamat malam, Putri."
***
to be continued...