Setelah meninggalkan kantor pengacara, kini mereka bertolak ke suatu tempat, di dalam mobil kembali diselimuti kesunyian yang tegang. Naina duduk membeku di kursi penumpang, pandangannya kosong menatap jalanan yang berlalu di luar jendela. Dalam hatinya, gelombang kemarahan masih bergolak. Setiap kali mengingat isi perjanjian pra-nikah yang dibuat oleh Chandra semakin membuat dirinya kesal sendiri.
Dia sebagai pihak kedua tidak boleh mengajukan cerai! Gila! Dipikirnya siapa dirinya?
Naina menggerakkan rahangnya, gigi-giginya terkunci menahan amarah. Dia membayangkan sedang mengumpat Chandra dengan kata-kata paling kasar yang bisa dia pikirkan di kepalanya. Pria yang dulu dia hormati dan sangat disegani sebagai bos, kini berubah menjadi sosok yang paling dia benci dalam hidupnya. Ya, karena pria itu telah bersikap semena-mena terhadap dirinya.
Napasnya terdengar berat dan berisik di dalam kesunyian mobil, sampai-sampai Chandra melirik sebentar ke arahnya. Naina tahu itu, tapi dia sengaja tidak peduli. Biarlah pria itu tahu betapa marahnya dia.
Mobil mulai melambat memasuki gerbang megah sebuah cluster eksklusif. "Aruna Cluster" terbaca dengan jelas di papan nama bergaya modern. Naina menyapu pandangannya melalui jendela, melihat deretan rumah mewah dengan taman tertata rapi, tapi hatinya masih tertutup untuk mengagumi keindahan itu.
Chandra akhirnya menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah minimalis modern dua lantai. Desainnya elegan dengan dinding beton ekspos dan garis-garis arsitektur yang bersih.
"Ayo turun," ujar Chandra sambil melepas sabuk pengamannya. "Lihat rumah yang akan jadi tempat tinggalmu."
Naina terkesima. Matanya membulat saat menatap bangunan cantik di hadapannya. Mulutnya sedikit terbuka, namun tak bersuara. Rumah ini jauh lebih indah dari yang pernah dia bayangkan.
Udara masih terasa baru dan segar ketika mereka melangkah ke teras rumah. Perumahan ini memang masih dalam tahap akhir pengembangan, tapi sudah dihuni oleh beberapa keluarga, terlihat dari beberapa tirai yang telah tergantung dan taman yang mulai dirawat.
Chandra mendorong pintu utama hingga terbuka lebar, mengundang Naina untuk memasuki ruang tamu yang cukup luas. Mata Naina langsung menangkap satu set sofa minimalis berwarna netral dan sebuah bufet pajangan yang elegan. Dinding-dindingnya dicat dengan warna pastel lembut yang memantulkan cahaya matahari sore dengan sempurna.
Dengan langkah mantap, Chandra berjalan menuju bagian dalam rumah. Naina mengikutinya dari belakang, matanya menyapu setiap sudut. "Ada dua kamar di lantai satu," ujarnya sambil menunjuk ke sebuah koridor, "dan satu kamar utama di lantai atas. Kamar kita." Dia berhenti sebentar, menatap Naina. "Di belakang dekat gudang juga ada kamar untuk ART."
Naina melirik tajam ke arah Chandra, bibirnya mencibir hampir tak kasat mata. "Kamar kita pisah?" tanyanya. Suaranya datar namun mengandung sengatan halus.
"Tentu saja tidak, kita sudah menjadi suami istri, kenapa harus tidur terpisah?" balas Chandra santai.
Wajah Naina berkerut seolah baru mencium bau tidak sedap. "Saya lebih suka kamar sendiri." Tanpa menunggu respon lebih lanjut, dia langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan Chandra sendirian di bawah.
Chandra hanya tersenyum tipis. Ekspresinya lebih mencerminkan rasa terhibur oleh reaksi Naina daripada kegembiraan yang tulus.
Naina menjelajahi lantai atas yang ternyata lebih luas dari perkiraannya. Kamar utamanya dilengkapi toilet pribadi yang mewah, dilengkapi bathub dan shower glass. Ruang santai dihiasi satu set sofa leather dan sebuah bufet TV dengan layar besar nan tipis yang terpampang di dinding. Di sisi lainnya, terdapat sebuah ruangan kosong yang masih perawan, seolah menunggu untuk diisi dengan kenangan baru.
Saat berdiri di balik jendela besar yang menghadap ke taman kompleks, sebuah pertanyaan mulai mengusik benak Naina. Bagaimana mungkin Chandra sudah menyiapkan semuanya dengan begitu sempurna, sementara pernikahan mereka sendiri terjadi secara mendadak hanya dua hari yang lalu?
"Dia memang CEO," bisiknya dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Dengan kekuatan finansialnya, dia bisa menyelesaikan apapun dalam hitungan jam."
Namun naluri wanitanya terusik. Matanya meneliti setiap sudut ruangan, tidak ada debu di sela-sela furniture, tidak ada bekas tinggal penghuni sebelumnya, semuanya terasa terlalu ... baru. Terlalu sempurna.
"Meskipun dia kaya dan berkuasa," gumam Naina sambil meraba kusen jendela yang masih mengkilap, "persiapan segini butuh waktu. Kecuali ...."
Kecuali rumah ini memang sudah dipersiapkan sejak sebelum pernikahan. Dan yang lebih mengganggu, rumah ini terletak di cluster paling eksklusif di kompleks ini, sesuatu yang pasti butuh perencanaan matang, bukan sekadar impulse purchase. (Pembelian secara spontan tanpa rencana sebelumnya)
Setelah puas melihat-lihat lantai atas, Naina memilih turun ke bawah. Dari arah tangga dia bisa mendengar suara Chandra yang tampaknya sedang berbicara di telepon dengan nada yang tidak biasa—lebih lembut dan penuh pertimbangan.
"...Saya hanya ingin tahu berapa total biaya yang Bapak keluarkan untuk resepsi pernikahan kemarin?" tanya Chandra, membuat Naina berhenti di anak tangga terakhir, alisnya berkerut penuh keheranan.
"Tidak, sungguh," lanjut Chandra, "Saya ingin mengganti semua biayanya. Oh, jangan sungkan ... Ini keinginan saya sendiri. Lagipula, bukankah sekarang saya sudah menjadi bagian dari keluarga besar Bapak?"
Mendengar Naina mendekat, Chandra dengan cepat mengakhiri percakapan tersebut. "Baik, kita bicara lain waktu, Pak. Salam untuk Ibu."
Begitu telepon ditutup, Naina langsung menyergap. "Apa maksud Bapak mau mengganti semua biaya resepsi?" tanyanya, tangan terlipat di d**a.
Chandra meletakkan ponselnya di atas meja makan. "Bukankah tadi kamu yang menyinggung perihal biaya pernikahan yang sudah dikeluarkan oleh papamu? Sebagai mempelai pria yang sebenarnya, wajar jika saya yang bertanggung jawab."
Naina menggeleng tak percaya. "Baru dua hari jadi suami saya, bapak sudah bertingkah menyebalkan seperti ini?"
Chandra balas menyeringai. "Baru dua hari jadi istri saya, kamu sudah banyak keluhan?"
Naina tidak percaya ini. Bosnya benar-benar sangat membuatnya jengkel. Kenapa juga mereka harus menikah?
"Kalau Bapak tidak suka mendengar keluhan saya," desis Naina, suaranya bergetar antara marah dan putus asa, "seharusnya Bapak terima saja tawaran saya untuk membatalkan pernikahan ini. Masih dua hari, kita belum melakukan apa-apa. Belum terlambat untuk menghentikan sandiwara ini."
Chandra menghela napas, menatapnya dengan campuran kesabaran dan kelelahan. "Kamu terus mengulangi hal yang sama, Naina. Apa iya di dalam hati kecilmu, kamu benar-benar ingin pernikahan ini batal?"
Naina mundur selangkah, wajahnya mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Saya memang ingin menikah, tapi bukan Bapak yang ingin saya nikahi! Itu yang ingin saya katakan dari awal!"
"Jadi kamu masih berharap bisa kembali dengan si pengecut itu?" tatapan Chandra menjadi tajam. "Percayalah, kamu akan menyesal seumur hidup jika itu yang terjadi."
Sekali lagi, Naina dibuat bingung oleh kalimat-kalimat samar Chandra. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan itu membuatnya semakin frustrasi.
"Apa Bapak sebenarnya mengenal Randy?" tanyanya, mencoba mengejar kebenaran.
"Tidak," jawab Chandra pendek, menghindari pandangannya. "Saya hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat untuk menolongmu." Dia mengambil napas dalam. "Coba pikirkan-andai orangtuamu mendengar kamu masih mempertahankan keinginan untuk bersama pria yang hampir menghancurkan keluargamu, pasti mereka akan sangat kecewa."
Naina terdiam, terpojok oleh kata-kata terakhir Chandra yang menyentuh rasa bersalahnya yang paling dalam.
Sore itu mereka meninggalkan rumah baru yang akan segera dihuni Naina. Dalam perjalanan pulang, Chandra memecah kesunyian di dalam mobil.
"Kamu boleh mempekerjakan ART," ucapnya, dengan mata yang tetap tertuju pada jalanan. "Tapi usahakan dia tidak tinggal di rumah."
Naina memiringkan kepalanya, alisnya berkerut tanda tak paham. "Tapi tadi Bapak bilang ada kamar khusus ART di dekat gudang?"
"Saya tahu. Saya hanya tidak nyaman ada orang lain tinggal di rumah," jawabnya singkat.
Naina menghela napas pelan, menatap luar jendela. Sungguh pria yang penuh kontradiksi.
"Kamu pindah besok," tambah Chandra tiba-tiba. "Saya akan datang setiap Rabu, kamis, dan Jumat. Sisanya saya di rumah bersama Kayla."
Sebentuk senyum kecut menguar di bibir Naina. "Tentu saja. Bapak harus bersama istri pertama."
Chandra mendengus kesal. "Bisa tidak kamu berhenti memanggil saya 'Bapak'? Saya bukan ayahmu. Lagipula usia saya tidak tua-tua amat."
Naina menyeringai. "Itu sudah jadi kebiasaan sejak di kantor, Bapak," katanya dengan mempertegas kata ‘Bapak’ diakhir kalimatnya.
"Saya suamimu sekarang."
"Lantas mau dipanggil apa? 'Sayang'? Iyuh!" ejeknya dengan nada menusuk.
"Itu lebih baik," balas Chandra dingin, tanpa peduli dengan ejekan Naina.
"Tidak mau!" potong Naina, bersikukuh pada pendiriannya. Dia akan tetap memanggil pria itu dengan sebutan ‘Bapak’ seperti di kantor tidak peduli dengan keberatannya.
Udara dalam mobil kembali menebal, dipenuhi ketegangan yang belum terselesaikan antara dua insan yang terikat pernikahan tanpa cinta.
Setelah mengantar Naina pulang ke rumah orangtuanya, Chandra bergegas menuju rumah utamanya. Hari yang dihabiskannya terbagi antara urusan kantor hingga siang hari dan mengurus segala keperluan Naina di sore hari.
Begitu melangkah masuk, suara riang Kayla langsung menyambutnya. "Papa, lihat! Kayla punya hamster baru!" seru gadis kecil itu dengan mata berbinar, menarik tangan Chandra menuju kandang kecil di sudut ruang keluarga.
Chandra berjongkok, memperhatikan hewan kecil itu dengan senyum lembut. "Harus dirawat baik-baik, ya. Jangan seperti kura-kura kemarin yang akhirnya dibawa Tante Alisa karena tidak terurus," ingatnya sambil mengelus kepala Kayla.
Kayla mengangguk cepat.
Chandra masuk ke kamar utama. Dan, mendapati Davina sedang duduk di meja rias, menyisir rambutnya yang masih basah. Aroma parfum mahal memenuhi udara.
"Aku dengar kamu beli unit eksklusif di Aruna Cluster," ucap Davina tanpa menoleh, suaranya datar namun penuh makna. "Untuk istri baru?"
Chandra melepas jam tangannya, meletakkannya dengan hati-hati di meja. "Ya," jawabnya singkat.
Davina berputar perlahan, matanya menatap Chandra yang sedang membuka kancing kemejanya. "Aku kira kamu akan membawanya tinggal di sini. Aku bahkan sudah mempersiapkan diri untuk menyambut adik maduku." Senyum tipisnya mengandung ironi yang tajam.
Chandra menghela napas, berdiri dan menghadapnya. "Dia tidak akan pernah tinggal di sini, Vin." Katanya dengan tegas sebelum berbalik dan masuk ke dalam kamar mandi, menutup pintu dengan rapat.
Davina bangkit, mendekati pintu kamar mandi yang terkunci. "Meski kamu berusaha menyembunyikannya, cepat atau lambat aku akan bertemu dengannya," bisiknya pada pintu tertutup, senyum dingin masih mengembang di bibirnya.
Dari balik pintu toilet, suara Davina masih terdengar samar-samar. Chandra berdiri membelakangi pintu, air membasahi wajahnya yang terlihat lelah. Sebenarnya, tidak ada yang perlu disembunyikan. Pernikahannya dengan Naina cukup meriah, foto-foto yang beredar di kalangan sosialita, semua itu bagian dari strateginya.
Dia sengaja tidak merahasiakan keberadaan Naina, bahkan dari Davina sendiri. Setiap kali Davina menyebut-istri barunya, Chandra sengaja menjawab dengan jujur tanpa penyesalan. Ini semua adalah bagian dari rencananya: menunjukkan kepada dunia bahwa pernikahan mereka selama ini hanyalah ilusi, bahwa di balik kemewahan dan senyum manis, ada kenyataan pahit yang sengaja ditutup-tutupi.
Dia ingin Davina merasakan betapa tidak nyamannya menjadi bahan perbincangan masyarakat melihat bahwa keluarga "harmonis" mereka ternyata rapuh. Dengan membawa Naina ke dalam kehidupan mereka secara terbuka, Chandra sedang mempercepat proses kehancuran yang memang sudah lama dinantikannya. Tidak peduli jika namanya rusak.