Sabrina baru saja memejamkan matanya dan berniat untuk tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Baru 10 menit memejamkan mata ketika pintu kamar diketuk dengan sangat keras sehingga menimbulkan suara yang begitu nyaring juga menghebohkan hingga membuat Sabrina langsung membuka kelopak matanya.
Gadis itu turun dari tempat tidurnya kemudian melangkah menuju pintu dan melihat sosok Antika bersama Warti berdiri di depan pintu dengan tangan yang diletakkan di atas pinggang.
"Enak sekali kamu mau tidur-tiduran setelah kamu seharian berleha-leha menghabiskan uang cucu saya. Kamu kira, kamu ini adalah ratu di rumah ini, hah?" Suara Warti sedikit melengking sambil mengarahkan telunjuknya mendorong jidat Sabrina. "Malam ini kamu harus mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk di ruang pencucian. Saya tidak mau tahu kamu harus melakukannya sekarang juga!"
Suaranya yang nyaring tentu menarik perhatian para pelayan yang kini sudah mulai mendekat.
Para pelayan menatap iba pada Sabrina yang diperlakukan dengan tidak layak oleh Warti.
"Kamu harus tahu diri, Sabrina. Kamu harus turuti apa kata Oma kamu. Kalau Oma bilang kamu harus bersih-bersih, berarti kamu harus bersih-bersih. Kalau Oma bilang kamu harus mencuci, berarti kamu juga harus mencuci." Antika berbicara dengan suara lembutnya.
Sabrina menatap keduanya dengan tenang. Tubuhnya mundur ke belakang kemudian segera menutup pintu, namun Antika tentu tidak tinggal diam.
Wanita itu mendorong pintu hingga membuat tubuh Sabrina terdorong ke belakang.
"Kurang ajar sekali kamu! Kamu mau melarikan diri dari tugas kamu untuk mencuci pakaian?" Warti berdiri. Segera wanita itu memberi kode pada Antika untuk menyeret Sabrina dari kamarnya kemudian membawanya turun ke lantai bawah.
Pemberontakan yang dilakukan Sabrina tentu sia-sia.
"Lepasin aku. Aku tidak mau melakukan pekerjaan yang kalian minta. Aku diminta oleh Mas Abraham untuk tidur di kamarnya." Sabrina terus melakukan pemberontakan, namun Antika dan juga Warti menulikan indera pendengaran mereka.
Sabrina di seret masuk ke dalam sebuah ruangan yang digunakan untuk mencuci pakaian.
Tubuh gadis itu didorong hingga akhirnya ia terjatuh dengan lutut yang mencium lantai.
"Kamu cuci baju ini sampai bersih dan selesai. Kalau kamu tidak bisa menyelesaikannya, kamu tidak boleh pergi." Warti berkata dengan nada dinginnya. "Kunci dia di dalam ruangan ini dan pastikan tidak ada yang mengeluarkan dia."
Wanita tua itu memberi kode pada kepala pelayan untuk mengunci ruang tempat mencuci pakaian tersebut setelah mereka keluar.
Sabrina yang ditinggalkan hanya bisa menundukkan kepalanya. Menghela napas, mau tidak mau Sabrina akhirnya mengerjakan tugasnya mencuci banyak sekali pakaian yang sudah terkena air.
Sabrina mencuci pakaian dari pukul 9 malam sampai akhirnya ia selesai pada pukul 12 malam karena sekalian untuk menjemurnya.
Sementara kepala pelayan menunggunya di luar dan tidak bisa membuka pintu penghubung karena takut dimarahi oleh Warti.
"Bu, saya sudah selesai mencuci pakaiannya." Sabrina tampak kelelahan saat mengetuk pintu, membuat kepala pelayan akhirnya membukanya.
"Maafkan saya, Nona. Saya hanya bekerja di rumah ini dan tidak memiliki daya sama sekali untuk membela nona," ucap kepala pelayan dengan penuh sesal. Apalagi ketika melihat wajah lelah Sabrina, membuatnya merasa tidak tega.
Ini sudah sangat malam. Tuan Adnan tidak ada di rumah. Begitu juga dengan Abraham yang sudah berangkat ke rumah sakit. Jangan tanyakan Adam karena pria itu sangat jarang berada di rumah. Sedangkan Aaron sendiri sudah berangkat ke Swiss.
Sabrina tersenyum sendu menatap kepala pelayan tersebut. "Tidak apa-apa. Setidaknya mengurangi pekerjaan pelayan besok pagi," ujar Sabrina. "Kalau begitu aku harus pergi dulu. Pakainya sudah aku jemur dan cuci."
"Sekali lagi maafkan saya, Nona Sabrina."
Sabrina menganggukan kepalanya. Gadis itu kemudian melangkah keluar dari ruang pencuci sekaligus tempat untuk jemur pakaian. Gadis itu melangkah menuju lantai 2 di mana kamarnya berada.
Jumlah pakaian yang dicucinya sangat banyak hingga membuatnya harus membutuhkan waktu yang agak lama dulu.
Pagi harinya, saat Sabrina bersiap untuk berangkat, mobil yang dikendarai oleh Abraham tiba lebih dulu di depan rumah utama.
Pria itu turun dari mobil dan menatap Sabrina yang mengenakan pakaian santai.
"Kamu sudah mau berangkat ke rumah sakit?" Pria itu bertanya seraya mendekati Sabrina, berdiri di hadapan gadis itu.
"Iya, Mas. Soalnya aku mulai kerjanya hari ini. Dapat shift pagi sampai siang." Sabrina menjawab sambil menatap wajah Abraham. "Kenapa, Mas? Apa Mas Abra membutuhkan sesuatu?"
"Tidak ada yang dibutuhkan. Mau ku antarkan? Kalau tidak, panggil sopir untuk mengantarkanmu."
Sabrina spontan menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Mas. Aku naik taksi aja," sahut gadis itu.
"Oh, ya sudah." Abraham menganggukan kepalanya kemudian melihat istrinya yang kini sudah pergi menuju gerbang utama di mana sudah ada taksi yang menunggu.
Pria itu tersenyum miring kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
"Istri kamu itu bangun tidur tidak mengerjakan apa-apa. Mau jadi istri yang baik bagaimana caranya, kalau dia bangun tidur saja banyak leha-leha."
Abraham baru saja menginjakkan kaki di ruang tengah yang begitu luas ketika mendengar suara Omanya langsung menyapa indera pendengarannya.
Pria itu menarik napas lalu beralih menatap Omanya. "Maksud Oma, memangnya istriku harus mengerjakan apa?"
"Dia nggak bisa masak? Tidak bisa beres-beres?" Warti menatap cucunya.
"Memangnya Oma bisa? Menantu kesayangan Oma juga bisa melakukan hal yang Oma sebutkan?" Pria itu terkekeh singkat menatap wanita tua itu. "Jangan mencari kesalahan istriku. Ingatlah untuk tidak ikut campur urusanku dan istriku."
Setelah memberi peringatan dengan mata tajamnya, Abraham berbalik pergi masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai 2. Terlalu malas meladeni celotehan Omanya yang begitu cerewet dan selalu mencari celah untuk mengusik kehidupan orang lain.
Sementara Sabrina sendiri yang sudah tiba di dekat area Rumah sakit langsung turun. Gadis itu tidak ingin turun di depan rumah sakit karena akan menarik perhatian rekan-rekannya sesama cleaning service.
Sabrina melangkahkan kakinya sampai kemudian ia mendengar suara klakson motor.
"Sab, ngapain kamu jalan kaki?" Firman, rekan kerja Sabrina menatap temannya itu.
"Aku tadi turun dari angkot langsung mau ke rumah sakit tapi angkotnya berhenti di sana karena mau mengantar penumpang ke arah lain." Sabrina menjawab pertanyaan Firman. "Kamu baru saja tiba juga?"
"Iya. Aku habis mengantar istriku ke tempatnya bekerja. Mau naik sekalian tidak? Jaraknya masih lumayan agak jauh dari rumah sakit. Kalau kamu jalan kaki, masih butuh waktu 5 menit lebih."
Sabrina menatap motor gigi yang dibawa oleh Firman. Gadis itu menganggukkan kepalanya kemudian segera duduk menyamping naik ke atas motor Firman sampai kemudian Firman melajukan kendaraannya menuju Rumah sakit tempat mereka bekerja.
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama, Sab. Sesama rekan kerja memang harus saling menolong." Firman tersenyum tipis dan melepaskan helmnya.
Keduanya kemudian melangkah melewati jalan lain untuk menuju tempat di mana mereka akan mengambil perlengkapan untuk bekerja.
"Sabrina!"
Sabrina menghentikan langkahnya ketika mendengar suara seseorang yang cukup dikenalnya memanggil.
Menoleh, Sabrina mengeluarkan senyum manis saat menatap Riyanti yang kini sudah berlari ke arah.
Di tangan Riyanti ada sebuah paper bag kecil yang membuat Firman ikut menghentikan langkahnya.
"Apa itu, Mbak?" Firman penasaran, memilih untuk bertanya.
"Ini ada kado buat Sabrina." Riyanti menjawab. "Nih, Sab, hadiah buat kamu. Maaf baru kasihnya sekarang, soalnya kamu baru munculnya hari ini. Untung aja aku bawa kadonya setiap hari jadi tidak ketinggalan."
Riyanti tersenyum manis mengulurkan tangannya pada Sabrina yang menyambutnya dengan tatapan bingung.
"Apa ini, Mbak?"
"Hanya hadiah murahan aja dari aku. Selamat ya, Sab. Maaf, Mbak cuma kasih hadiah murah aja."
"Buat aku? Terima kasih banyak, Mbak. Aku pasti akan menjaganya dengan sangat baik."
Firman menatap bingung pada keduanya. "Hadiah buat Sabrina? Hadiah buat apa memangnya?"
"Lho, ini hadiah buat Sabrina karena dia sudah Me--"
"Sudah berulang tahun beberapa hari yang lalu," sela Sabrina.
Tersadar dengan apa yang dilakukan olehnya, Riyanti tertawa canggung.
"Benar. Beberapa hari yang lalu Sabrina berulang tahun. Makanya, aku membelikannya kado."
Akhirnya Firman juga mengucapkan selamat pada Sabrina yang ditanggapi dengan senyum kecil gadis itu.