"Aku berangkat kerja dulu. Setelah ini kamu bisa langsung tidur."
Abraham berdiri di hadapan Sabrina sambil menatap istrinya itu.
"Iya."
"Tidak ada niat untuk mencium punggung tanganku? Aku pernah mendengar ustadz berbicara Jika seorang istri harus mencium punggung tangan suaminya ketika suaminya akan berangkat bekerja atau akan keluar rumah." Abraham memiringkan kepalanya ke samping. "Kamu tidak melakukannya?"
Sadar jika Abraham sedang menyindirnya, Sabrina kemudian mengulurkan tangannya pada pria itu.
"Nah, seperti ini istri yang baik." Tidak lupa pria itu menepuk kepala Sabrina dengan gerakan pelan. "Kalau begitu aku berangkat bekerja."
Abraham tidak lupa mengedipkan matanya pada Sabrina. Lalu memilih berangkat kerja karena memang saat ini ia mendapatkan shift malam.
Sedangkan Sabrina sendiri langsung masuk ke dalam kamarnya.
Baru saja akan merebahkan tubuhnya, tiba-tiba Sabrina merasa haus. Mengedarkan pandangannya, perempuan cantik itu menemukan teko di dalam kamar sudah kosong.
Mau tidak mau Sabrina mengambil teko tersebut kemudian melangkah pergi keluar kamar menuju lantai dasar untuk pergi ke dapur mengambil air minum.
Sangat manja jika harus memanggil pelayan sementara dirinya sendiri masih bisa melakukannya.
"Oh, baguslah kalau kamu sudah ada di sini. Jadi saya tidak perlu repot-repot harus naik ke atas untuk memanggil kamu. Saya minta kamu untuk membersihkan seluruh ruangan yang ada di lantai satu ini. Kamu harus mengepel sampai bersih karena besok pagi teman-teman saya akan mengadakan arisan di sini."
Baru saja menuangkan air minum ke dalam teko ketika mendengar suara Antika--Ibu mertuanya--yang saat ini sudah berada di dalam dapur.
"Kenapa aku? Bukankah sudah ada pelayan di rumah ini?" Kepala Sabrina miring ke samping menatap polos wanita yang berstatus sebagai ibu tiri Abraham itu.
Tangan Antika yang terlipat di d**a langsung turun menghampiri Sabrina. "Kamu jangan terlalu banyak protes. Tinggal kerjakan apa yang sudah saya perintahkan. Kenapa saya harus meminta pelayan yang sudah seharian bekerja sementara ada kamu yang tidak bisa saya manfaatkan tenaganya? Mau menumpang gratis di rumah ini?"
Ekspresi wajahnya terlihat sangat kejam menatap Sabrina. "Kamu harus ingat kalau kamu itu adalah menantu yang tidak diinginkan. Jadi turuti perkataan saya sebelum saya akan mengadukan kamu pada ibu mertua saya. Kamu tahu, ibu mertua saya pasti akan berada di pihak saya."
"Jika aku tidak mau?" Sabrina mengerjap polos menatap Antika yang tersenyum sinis.
"Kalau kamu tidak mau, mudah saja, saya tinggal membuat drama di mana kamu akan dimarahi habis-habisan oleh ibu mertua saya." Antika merapatkan tubuhnya pada Sabrina kemudian berbisik dengan suara yang agak pelan. "Kamu hanyalah menantu yang tidak diharapkan di rumah ini. Jadi jangan besar kepala hanya karena Abraham membela kamu."
Antika menegakkan tubuhnya. Perempuan itu memanggil Ina, pelayan kepercayaannya untuk mengambil semua perlengkapan mengepel.
"Lakukan tugas kamu dengan baik atau kamu akan menderita tinggal di rumah ini." Antika menatap sinis Sabrina sebelum berbalik pergi meninggalkan Sabrina dan juga Ina.
Sebagai pelayan senior di kediaman Smith dan juga orang kepercayaan Antika tentunya Ina merasa dirinya agak superior.
Perempuan berusia 26 tahun itu menatap Sabrina dengan tatapan remeh.
"Apa gunanya menjadi seorang istri dari tuan Abraham, kalau ujungnya kamu masih harus mengerjakan pekerjaan rumah dan tidak dianggap menantu sama sekali." Ina dengan kasar mendorong peralatan mengepel ke arah Sabrina. "Kerjakan semuanya karena kamu akan berada di dalam pengawasan saya. Kalau kamu tidak bisa mengerjakannya, saya akan mengadukan perbuatan kamu pada Nyonya Antika."
"Kerjakan sekarang juga." Ina melotot pada Sabrina kemudian menariknya untuk keluar dari dapur agar perempuan muda itu bisa segera mengepel sesuai dengan perintah Nyonya Antika.
Sabrina sendiri menganggukkan kepalanya. Perempuan itu akhirnya mulai mengepel lantai pertama di mana banyak ruang dan juga furniture yang tertata dengan sangat rapi termasuk guci-guci kesayangan Warti yang sangat dijaga oleh wanita tua itu.
Ina yang mengawasi melipat tangannya di d**a menatap cara kerja Sabrina.
"Sudah ahli sekali mengepel lantai. Memang seharusnya kamu seperti itu, tidak usah bermimpi untuk menjadi nyonya di rumah ini. Kamu itu tidak akan cocok," ujar Ina menatap Sabrina.
Tidak puas melihat Sabrina yang sudah hampir selesai mengepel lantai, Ina kemudian dengan sengaja mengambil sop buah yang langsung ia tumpahkan ke lantai, membuat Sabrina segera menolehkan kepala menatapnya.
"Kenapa kamu buang sop buah itu ke lantai? Kamu lihat aku baru saja selesai mengepel di situ," kata Sabrina.
Ekspresi wajah Ina berubah menjadi angkuh sambil menatap Sabrina dengan senyum miring.
"Sengaja aku lakukan. Biar pekerjaan kamu tidak selesai-selesai." Perempuan itu mengatakan dengan angkuh kemudian kembali ke dapur untuk meletakkan mangkok bekas sop buah tadi.
Sabrina menggelengkan kepalanya. Membersihkan tumpahan minuman tentu agak menyulitkan baginya sehingga ia harus menyiapkan tenaga ekstra.
Ina duduk di sebuah sofa yang tersedia, dengan kaki dilipat di atas paha, menatap Sabrina.
Keduanya tidak menyadari jika saat ini sebuah mobil sudah melaju masuk ke dalam pekarangan kediaman Smith.
Sosok pria dengan kemeja hitam yang digulung sampai batas siku turun dari mobil membawa tasnya.
Ekspresi wajahnya tampak dingin seperti biasa. Melihat rumah yang seperti istana di hadapannya ini, tidak membuat perasaan pria itu tenang.
Entah dimulai sejak kapan, namun pria itu merasa jika rumah ini bagai neraka hingga membuatnya enggan untuk terus menetap di sini sehingga ia membuat seribu alasan agar bisa keluar dari rumah dan tidak tinggal tetap di sini.
Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya memang terbuka. Saat mengedarkan pandangannya, dia justru menemukan pemandangan yang tampak aneh.
Bagaimana tidak, dengan matanya sendiri ia melihat sosok perempuan yang menumpahkan sesuatu ke lantai, tidak sampai di situ saja perempuan yang ia tahu sebagai seorang pelayan di rumah ini kini justru duduk dengan angkuh membiarkan perempuan yang seharusnya menjadi Nyonya di rumah ini bekerja.
Langkah kakinya membawa ke tempat di mana keduanya berada.
"Dunia memang sudah terbalik. Pelayan meminta majikan untuk membersihkan lantai, sementara pelayan duduk santai." Suara dinginnya memecahkan keheningan, membuat Ina yang sedang duduk bersantai spontan berdiri menatap takut pada sosok yang baru saja tiba.
"T-tuan Adam."
"Terkejut melihatku disini?" Adam menatap Ina dengan sebelah alis terangkat. "Mulai malam ini, kamu kemasi barang-barangmu. Kamu saya pecat."
Ina segera membelalakkan matanya. Perempuan itu langsung berlutut di hadapan Adam sambil meminta agar tidak dipecat.
"Saya mohon jangan pecat saya, Tuan. Kalau saya dipecat, terus saya harus kerja apa? Saya sudah betah dan nyaman tinggal di sini. Saya mohon, tolong jangan pecat saya." Ina langsung menangis. Tak terbayang dalam benaknya jika apa yang dilakukannya hari ini ternyata ketahuan oleh salah satu majikannya. Padahal kemarin malam Sabrina diminta untuk mencuci dalam jumlah yang banyak tidak ketahuan sama sekali.
"Kamu masih bertanya kalau kamu dipecat, kamu akan kerja apa?" Adam menggelengkan kepalanya. "Terus pekerjaan kamu apa sebenarnya di sini? Kamu meminta majikan kamu sendiri untuk mengepel lantai. Sebenarnya di sini yang menjadi pelayan kamu atau Sabrina? Kamu tidak mungkin tidak tahu kalau Sabrina adalah istri dari adik saya 'kan?"
Adam menggelengkan kepalanya tidak peduli Ina yang sudah berlinang air mata.
"Tuan--"
"Sabrina, kembali ke kamarmu. Ini bukan tugas kamu karena kamu bukan pelayan di sini," titah Adam pada Sabrina.
Sabrina memang gadis yang penurut. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Baik, Kak."
"Letakkan saja alat pembersih di situ. Biarkan pelayan lain yang menyimpannya."
Sabrina langsung meletakkan peralatan pembersih lantai kemudian langsung pergi menuju lantai 2.
Jangan tanyakan Adam yang kini sudah berbalik pergi menuju kamarnya sendiri meninggalkan Ina yang terus memohon dan para pelayan yang kini sudah mengintip apa yang terjadi.