Suasana ruang makan tampak dingin dengan suara dentingan yang agak dikeraskan oleh Warti.
Ekspresi wajahnya berubah tidak menyenangkan saat melihat kehadiran Sabrina di dalam ruang makan dan duduk satu meja dengan mereka.
"Bu, bisa pelankan sedikit suaranya? Suara garpu dan juga piring ibu sangat mengganggu," tegur Adnan pada ibunya. Ekspresi wajahnya tetap terlihat datar menatap wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Ibu hanya tidak senang saja ada orang asing yang berada satu meja dengan kita. Apa dia pikir, dia bisa duduk bersama kita hanya karena dia berstatus sebagai istri Abraham?" Warti sudah tidak lagi menahan emosinya. "Ibu lebih baik tidak usah makan daripada harus satu meja dengan perempuan miskin satu ini."
Warti mendorong kursinya dengan kasar kemudian berlalu pergi begitu saja.
Langkahnya sedikit pelan saat tidak ada tanda-tanda orang yang akan menahannya agar tidak pergi.
Mendengus kesal, Warti melangkahkan kakinya dengan gerakan kasar menuju kamarnya dan menutup pintu dengan suara yang dikencangkan.
Antika yang melihat ibu mertuanya sudah menghilang di balik pintu, menatap suaminya. "Mas, apa tidak apa-apa membiarkan Ibu merajuk seperti itu? Kasihan Ibu, beliau belum sempat menghabiskan sarapannya," tutur Antika pada suaminya. Suaranya terdengar sangat lemah lembut, hingga membuat Abraham merasa mual.
Abraham memberi kode pada Sabrina untuk segera mengisi piringnya dengan makanan yang sudah disediakan.
"Kalau kamu kasihan dengan ibu, mendingan kamu pergi ke kamar temani ibu. Tidak usah sarapan pagi bersama," ujar Adnan dingin.
Antika langsung terdiam dengan kepala menunduk. Tidak lagi berkomentar karena apapun yang diucapkannya pasti akan salah.
"Pa, Malam ini aku langsung berangkat ke Swiss. Mungkin satu bulan lagi aku akan pulang. Aku ada project film di sana." Aaron mengangkat kepalanya menatap sang papa. "Kalau papa ada keperluan soal pekerjaan, Papa boleh langsung hubungi aku."
"Kamu berangkat dengan siapa saja?" Adnan mengalihkan tatapannya pada Aaron yang memang berprofesi sebagai aktor dan sudah banyak membintangi judul film.
Ada banyak gosip yang menerpa Aaron yang mengatakan jika putranya adalah gay. Adnan tahu putranya seperti apa. Jadi, tidak mungkin Aaron memiliki kelainan.
"Bersama timku. Ada manager dan juga dua orang asisten yang akan menemaniku selama syuting di sana." Aaron menjawab dengan santai pertanyaan Papanya. "Untuk sementara, urusan perusahaan akan di handle oleh asisten pribadiku. Jadi, kalau ada urusan pekerjaan yang mendesak dan asistenku tidak bisa menghandle-nya, Papa langsung bilang saja pada."
Adnan menganggukkan kepalanya mengerti. "Kalau begitu kamu harus hati-hati. Pastikan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan."
"Baik, Pa." Aaron mengganggukan kepalanya. Tatapannya beralih pada sosok Abraham yang kini sedang menyantap hidangan sarapan paginya. "Kamu juga harus hati-hati, Abraham. Berhentilah membuat masalah."
Abraham mengangkat kepalanya dan menatap polos pada kakak-kakak serta papanya sendiri. "Kapan aku pernah membuat masalah? Aku tidak pernah melakukan kesalahan dan membuat orang marah."
Kecuali Omanya yang memang sudah menjadi langganan Abraham untuk membuatnya marah.
"Terserahmu saja." Aaron mengangkat bahunya. "Ngomong-ngomong, tahun ini Papa sudah mendapatkan menantu baru. Apa Papa berniat untuk mengadakan resepsi besar-besaran? Ini bentuk pengumuman pada orang-orang yang kita kenal jika Abra sudah tidak single lagi."
"Aku tidak setuju," ujar Abraham. "Aku tidak ingin mengadakan resepsi besar-besaran untuk sementara waktu. Begitu juga dengan istriku yang tidak ingin mengadakan resepsi besar-besaran dulu. Pernikahan kami masih dirahasiakan soalnya Sabrina juga masih mau bekerja di rumah sakit."
"Kenapa masih mau bekerja di rumah sakit? Bukankah kamu sudah menjadi istri dari seorang dokter? Kebutuhanmu pasti sudah bisa tercukupi," tanya Adam menatap Sabrina.
"Istriku masih ingin mencari pengalaman dengan bekerja. Bagiku tidak masalah. Usianya juga masih sangat muda, tidak masalah kalau dia mau mencari pengalaman dengan bertemu banyak orang." Abraham yang menjawab pertanyaan kakaknya.
Baik Adam maupun Aaron menganggukkan kepala mereka. Tidak masalah jika memang Sabrina masih ingin bekerja di rumah sakit.
"Kenapa tidak dibuka usaha aja? Misalnya seperti membuka toko pakaian atau kosmetik. Kalau bekerja di Rumah sakit sebagai cleaning service, akan terlihat sangat aneh. Orang akan menganggap remeh kita," ucap Antika, kurang setuju.
Keluarga Smith bukan keluarga sembarangan. Sudah patut diperhitungkan dengan kekayaan dan juga usaha yang mereka miliki. Apa kata orang-orang jika menantu dari keluarga Smith bekerja sebagai cleaning service di rumah sakit? Bukankah mereka pasti akan dianggap remeh? Batin Antika berucap tak terima.
Sayangnya, komentar wanita itu tidak dipedulikan oleh yang lain. Mereka fokus pada hidangan yang ada di hadapan mereka tanpa memberi respon apapun.
Seperti yang sudah dijanjikan oleh Abraham jika ia akan membawa istrinya untuk berbelanja.
Maka dari itu dengan mengenakan kulot panjang semata kaki yang dipadupadankan dengan mengenakan baju kaos lengan panjang, Sabrina bersiap melangkah pergi bersama Abraham.
"Mau ke mana kamu, Abra?"
Saat keduanya sudah hampir sampai di depan pintu utama, suara Warti terdengar.
Abraham dan juga Sabrina spontan menolehkan kepala mereka menatap Warti yang kini sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
"Aku mau mengajak istriku untuk jalan-jalan sekalian shopping. Kenapa, oma? Apa Oma mau menitip sesuatu?" Abraham menjawab santai pertanyaan Omanya. Tidak lupa dengan senyum manis yang menghiasi wajah tampannya.
"Shopping? Kamu membelanjakan dia? Apa kamu waras? Dia baru beberapa hari menjadi istri kamu, sekarang dia sudah mau menyedot uang kamu untuk membelikan dia pakaian baru. Benar-benar perempuan dari kelas bawah," cibir Warti, menatap sinis Sabrina.
"Oh, Oma, kalau begitu transfer aku uang 400 juta sekarang juga."
"Buat apa kamu uang 400 juta?"
"Hmm, begini." Abraham menghampiri Omanya dan berdiri di depan wanita tua itu. "Oma melarang aku untuk membelanjakan istriku pakaian dan Oma menyebutkan istriku wanita yang akan menyedot uangku. Kalau begitu, Oma memberikan aku uang biar istriku tidak disebut menyedot uangku, tapi menyedot uang Oma. Bagaimana?"
Sikap santai Abraham ketika membalas ucapannya tentu membuat Warti mendelik.
"Kamu jangan kurang ajar pada Oma kamu sendiri, Abra! Jangan hanya karena kamu sudah memperistri wanita kelas bawah seperti dia, kamu bisa berbuat seenaknya pada Oma. Bagaimanapun, Oma tidak akan merestui hubungan kalian berdua apalagi pernikahan kalian. Oma tahu kalau kalian pasti merencanakan sesuatu sehingga terjadilah pernikahan itu."
Warti yakin jika cucunya tidak mungkin menikah dengan perempuan dari kelas bawah seperti Sabrina. Terutama mereka berada di kelas atas dan jangan lupakan kepribadian serta lingkungan pergaulan Abraham yang tentunya tidak mungkin ada di level bawah.
"Restu dari Oma tidak terlalu penting. Bagiku yang penting papaku sudah mengizinkan dan aku sudah menikah." Abraham menggelengkan kepalanya. "Jadi kalau Oma tidak bisa menjadi donatur untuk shopping istriku hari ini, jangan banyak bicara."
Perlahan dengan pasti, Abraham membalikkan tubuhnya kemudian berbalik pergi meninggalkan Warti yang marah karena sikap kurang ajar cucunya itu.
Sayang sekali Abraham tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh wanita tua itu.
Keduanya masuk ke dalam mobil. Sabrina mengerut keningnya melihat cengkraman pada roda kemudi yang dilakukan oleh Abraham. Dari pengamatannya, sepertinya pria ini sedang memendam emosinya.
Sabrina menganggukkan kepalanya, tidak berkomentar karena memang bukan urusannya.
"Kita berangkat sekarang." Nada bicaranya yang dingin membuat Sabrina sedikit menoleh dengan pandangan terkejut.
Meski begitu perempuan cantik itu tetap duduk dengan tenang menatap pemandangan di luar.
Mobil melaju pergi meninggalkan kediaman Smith yang kini sudah dihancurkan oleh Warti karena kemarahannya pada cucu kandungnya sendiri.
Antika sebagai menantu bertugas untuk menenangkan Ibu mertuanya yang memang sangat emosional dan gampang tersulut emosi.
Satu-satunya cucu yang berani melawan Warti dan selalu meladeninya adalah Abraham. Jika Adam dan Aaron mereka memang jarang berada di rumah dan bisa dipastikan keduanya tidak akan merespon apapun yang dikatakan oleh Warti.
Ibarat kata, jika Warti berbincang dengan Aaron dan Adam, dirinya sama seperti sedang menghadap pada patung, karena kedua saudara kembar itu menganggap oma mereka seperti tembok.