4.Nikah Siri

986 Words
Lidah Wahda kelu. Sekadar menanggapi ucapan sang bapak saja rasanya sulit. Semua yang didengar cukup membuat batinnya sakit. Banyak hal yang terjadi, tetapi ia tidak tahu sama sekali. “Masa depanmu masih panjang dan cerah, Nduk. Kamu masih bisa mencari pria lain yang lebih baik. Tapi adikmu? Kalau nggak ada pria baik yang mau menerima kekurangannya dan mampu membimbingnya, adikmu akan hancur. Tolong mengalahlah,” tutur Guntur lembut. Wahda mengangkat kepala agar genangan di matanya tidak tumpah. “Dan aku harus mengalah? Lagi?” Wahda menatap sang ayah, mengambil telapak tangan Guntur, menciumnya takzim. “Kenapa harus Damar-ku yang harus bertanggung jawab? Kenapa harus aku yang mengalah, Pak? Kenapa Bapak pilih kasih?” Kumala terus terisak-isak. Ia membelai kepala sang putri. “Maaf, maaf. Bukannya kami pilih kasih, tapi kami rasa ini keputusan terbaik. Mengertilah, Nduk.” Kepala Wahda yang masih berada di tangan sang bapak, terlihat terguncang. Dalam kondisi pelik dan mengejutkan seperti ini, ia bingung harus berbuat dan memutuskan apa. Bisa dibilang Wahda dan Damar hidup bersama atau berteman sejak kecil. Hubungan mereka bukan hubungan yang baru dimulai. Ikatan mereka bukan ikatan semu dan penuh hawa naf*su. Namun, semuanya terjalin alami dan berkelanjutan. Dari kecil sampai dewasa. Mereka seumuran. Hanya lebih tua Damar beberapa bulan. Damar adalah sosok kakak sekaligus teman bagi Wahda. Tidak ada rahasia apa pun di antara keduanya. Begitu ada, rahasia besar dan menyakitkan terkuak secara tiba-tiba. Wahda, Hana, dan Hana. Ketiganya berteman sejak masih kanak-kanak. Wahda ingin menjadi kakak egois dan tetap mempertahankan Damar. Namun, sisi lain hatinya tidak tega jika sang adik menderita. “Aku perlu berpikir dulu. Dan satu hal yang pasti. Kalian semua sudah menutupi semua ini.” Wahda mengurai diri dari tangan Guntur. “Kenapa?” Kumala menunduk. “Kami nggak sampai hati mengabarimu. Bagaimanapun juga, kami tahu kamu pasti juga terluka. Semua ini bukan kemauan kami, Nduk. Tapi semua ini musibah. Dan kami harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya, tapi tidak tega. Akhirnya semua terbongkar hari ini.” “Lalu Wirda? Apa dia menerima jika harus dinikahi Damar?” Guntur dan Kumala terdiam. “Kalian pernah berpikir nggak? Mungkin mereka memang ada main api di belakangku. Wirda sebenernya nggak diperk*sa, tapi memang itu anak Damar. Mungkin aja, kan, Pak, Bu?” “Wahda! Jaga ucapanmu!” bentak Guntur. “Kamu selama ini nggak ada di rumah. Mana tahu keadaan sebenarnya?” Wahda melengos. “Aku hanya berasumsi!” “Senggaknya jangan memfitnah adikmu! Sebagai kakak, harusnya kamu punya rasa prihatin meski sedikit. Tapi lihat? Adiknya kena musibah malah berpikir buruk!” “Pak, sudah!” Kumala menengahi. “Istirahatlah, Nduk. Kamu pasti capek.” Kumala menarik tangan Wahda, lalu menuntun menuju kamar. Sang putri hanya menurut dengan tubuh lesu. “Jangan dipikirkan perkataan bapakmu. Tidurlah dulu. Nanti Ibu siapkan makanan.” Wahda hanya diam. Ibunya benar. Mungkin ia terlalu lelah sampai bicaranya melantur dan mulutnya tidak bisa dikontrol. Keluarga Wahda bukan orang miskin. Mereka berkecukupan. Guntur memiliki usaha ayam petelur, baik telur ras maupun telur puyuh. Ada beberapa orang yang bekerja dengannya. Sementara Kumala hanya ibu rumah tangga biasa. Jika kasus pemerk*saan Wirda diusut, sebenarnya bisa saja Guntur menyewa pengacara. Namun, kata Kumala, Wirda selalu menolak dengan alasan malu kasusnya terangkat ke publik. Tiba di kamar, Wahda terduduk menyandar pada pintu. Ia terisak hebat. “Kenapa harus kamu, Damar?” Kenapa, kenapa, dan kenapa. Kata itu yang selalu berputar di kepalanya. ** Malam harinya, Guntur dan Kumala ke rumah sakit. Wahda sendirian di rumah. Wanita itu melamun di bibir jendela, menatap langit gulita. Ia lalu mengambil ponsel, menelepon Hana. “Aku udah pulang.” “Loh, loh. Kapan tibanya? Kamu sekarang di rumah? Aku ke sana, ya?” “Nggak usah, aku lagi pengen sendiri. Ada hal yang ingin kutanyakan sama kamu. Kamu lihat ada yang mencurigakan nggak dari sikap Wida sebulan terakhir ini?” “Waduh, aku kurang ngerti. Tapi kayaknya biasa aja. Kenapa?” “Mungkin dia agak pendiam gitu?” “Iya juga, sih. Jarang keluar rumah dia. Ada masalah apa? Coba cerita? Dan gimana? Kamu curiga nggak sama Damar dan adikmu itu? Sesuai perkiraanku?” Wahda mengembuskan napas panjang. “Aku bingung, Han. Aku nggak tahu harus gimana, nggak tahu harus apa.” “Lah iya makanya cerita.” Wahda menggeleng. Ini aib keluarga yang belum bisa diumbar. Toh, semua juga belum jelas. “Ya udah jangan galau. Kamu di rumah berapa hari? Besok kita jalan-jalan sekalian mungkin kamu ada yang mau diceritain. Udah lama juga aku nggak ngajak bocil keluar.” “Oke. Besok aku kabari lagi.” “Siap. Ya udah sana tidur, jangan begadang, jangan mikir macem-macem. Besok kita cari solusinya bersama. “Thanks.” Panggilan dimatikan setelah mereka saling melempar salam. Hana adalah orang yang paling dipercaya Wahda. “Hah, ribet amat hidup gue,” gumam Wahda. Terbiasa hidup di ibu kota, ia terbawa kebiasaan cara berbicara orang sana. Namun, jika sudah di tanah kelahiran, ia juga tetap menggunakan aku kamu sebagai bahasa tempat tinggalnya. ** Semalam, Wahda tidak bisa tidur. Kepalanya terasa sakit. Namun, rasa itu sedikit reda saat ia membaca grup chat kantor pagi harinya. Tim editing memberi sedikit bocoran pengambilan gambarnya. Banyak yang memuji dengan menandainya. [Gue cantik banget yak.] Wahda membalas sambil terkikik. Terkesan lebay memang, tetapi niatnya memang hanya bercanda. Pintu rumah terdengar ada yang mengetuk disertai suara salam, membuyarkan sedikit senyum Wahda. Wanita itu lekas keluar kamar setelah menyambar hijab sembarangan. “Damar?” Mata Wahda membola saat melihat siapa tamunya. “Kita perlu bicara. Ganti bajumu. Kita ke suatu tempat.” “Tapi aku udah janjian sama Hana.” “Tolong dibatalin dulu. Masalah kita lebih penting.” Meskipun enggan, Wahda akhirnya menurut. Damar membawa Wahda ke sebuah taman kota. Kebetulan pengunjungnya tidak terlalu ramai. “Nggak ngajar?” tanya Wahda mengawali obrolan. “Habis ini. Wa, aku mau minta maaf sama kamu. Maaf karena nggak bisa menepati janjiku sama kamu. Aku ... sudah menikahi adikmu secara siri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD