When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Wahda dan Kenrich menoleh bersamaan. Wahda tergemap saat melihat siapa yang ada di sana. “Sejak kapan kamu menguping?” Seperti biasa, Kenrich tetap bersikap tenang. Selagi bukan orang tua Wahda, bukan masalah jika ada yang mendengarkan. “Sejak tadi,” jawab Damar. Ia mendekat dan duduk, mengamati Kenrich dan Wahda bergantian. “Wa, aku akan laporkan sama Bapak atas apa yang kudengar tadi.” Kenrich justru tertawa. “Atas dasar apa kamu mau melaporkan? Coba mana tunjukkan, ada tidak buktinya?” Wahda mendelik, menatap Kenrich. “Bung, kalaupun ada bukti dan kamu laporkan, saya tidak takut. Karena itu akan menguntungkan kami.” Kenrich malah menantang. “Apa maksudmu?” “Kamu akan terlihat menghalangi pernikahan kami dan sangat kentara kamu masih ada rasa sama Wahda. Kasihan istrimu.” “Kamu!